Haji dan umrah menjadi wisata religi yang populer di Indonesia. Pada 2019, Kuota Haji Indonesia sebanyak 221.000 jamaah. Menurut Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy menyebut, jumlah jamaah umrah sempat tembus 1,5 juta orang pada 2017-2018.
Pada 2014-2015, jumlah jamaah umrah Indonesia mencapai 649.000 orang. Sementara pada 2018-2019, jumlahnya mencapai 974.650 jamaah. Jumlah ini terus mengalami kenaikan signifikan setiap tahunnya.
Menurut tokoh pemikir Islam Nurcholish Madjid dalam bukunya Perjalanan Religius ‘Umrah & Haji, tokoh yang akrab disapa Cak Nur mengajak semua bersyukur menyaksikan jumlah kaum muslim Indonesia yang berziarah ke Tanah Suci dewasa ini semakin meningkat. Meskipun Indonesia sangat jauh dari tanah suci.
Peningkatan yang menggembirakan itu tentunya harus diiringi dengan suatu upaya penggalian untuk menangkap makna dan relevansi ziarah tersebut secara lebih substansial. Bagi Cak Nur, ziarah religius haji dan umrah itu tidak hanya berupa ritual ibadah yang semata-mata hanya untuk menjalankan perintah dan memperoleh ridla Allah, melainkan lebih dari itu. Yaitu, napak tilas perjalanan hamba-hamba Allah yang suci.
Nabi Ibrahim, Hajar, dan Nabi Ismail, yang peristiwanya sangat historis, dan karenanya banyak memberi pelajaran bagi kaum yang mengetahui dan memperhatikannya. Karena itu sangat wajar bila ibadah umrah dan haji dikategorikan jenis ibadah yang paling sempurna. Sebab, ia tidak hanya bisa dilakukan dengan hati tulus-ikhlas, melainkan dengan menyertakan pula pikiran, kekuatan fisik, dan kekayaan material.
Lebih dari itu, Cak nur menjelaskan bahwa ziarah umrah dan haji itu bisa dikatakan mabrur bila secara sosial bermanfaat bagi sesama manusia. Dalam konteks inilah kemudian Cak Nur menjelaskan kenapa Haji dikatakan oleh Rasulullah sebagai (wuquf) di Arafah, yang isi pidatonya di depan para Jemaahnya yang berkumpul di Arafah, yang isi pidatonya, menurut Cak Nur adalah tentang hak-hak asasi manusia (HAM).
Pada kesempatan itulah Rasulullah menegaskan bahwa darah, jiwa, harta dan kekayaan setiap individu, adalah suci. Karena itu, haram bagi orang lain untuk menggangunya.
Dalam bukunya tersebut, Nurcholish Madjid mengupas masalah haji dan umrah dengan pembahasan yang sangat menarik. Dia mulai menjawabnya dari segi semantis, yakni dengan memahami kata mabrur itu sendiri. Kata ”mabrur” berasal dari bahasa Arab yang artinya mendapatkan kebaikan atau menjadi baik.
Ditijau dari akar katanya, ”mabrur” berasal dari kata ‘‘barra’‘ yang artinya berbuat baik atau patuh. Dari kata barra ini kita bisa mendapatkan kata birrun, al-birru yang artinya kebaikan.
Jadi al-hajj al-mabrur (haji mabrur) artinya haji yang mendapatkan birrun atau kebaikan. Sering juga diartikan sebagai ibadah haji dan umrah yang diterima oleh Allah SWT. Dengan kata lain, haji mabrur adalah haji yang mendapatkan kebaikan atau haji yang (pelakunya) menjadi baik.
Jadi haji mabrur itu erat sekali kaitannya dengan kemanusiaan. Dan yang penting dipahami berkenaan haji mabrur dan kaitannya dengan kemanusiaan adalah firman Allah SWT dalam QS Ali Imran 92 yakni:
لَن تَنَالُوا۟ ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ
”Kamu tidak akan mendapatkan kebaikan yang sempurna, sebelum kamu mendermakan sebagian hartamu yang kamu cintai.”
Bagi Cak Nur, kalau kita berhenti pada ayat ini maka seluruh perbuatan kita yang tidak mengacu pada pengorbanan harta untuk orang lain atau untuk orang miskin atau kepentingan sosial itu menjadi bukan al-birr-u, bukan kebaikan.
Nah, dengan demikian, haji mabrur itu adalah haji yang menjadikan orang yang setelah melakukannya, atau sepulangnya ke kampung, dia memiliki komitmen sosial yang lebih kuat. Seharusnya seseorang yang sudah melaksanakan haji dan umrah maka memiliki sifat kepedulian yang tinggi kepada masyarakatnya
Jadi, meningkatnya komitmen sosial itulah sebetulnya yang menjadi indikasi dari kemabruran. Yaitu, sepulangnya melakukan haji, ia menjadi manusia baik, jangkauan amal ibadahnya jauh ke depan dan berdimensi sosial.
Dalam Alquran ditegaskan bahwa ketika bersedekah kita tidak boleh memilih-milih harta kita yang buruk yang kita sendiri tidak mau memakaianya.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَنفِقُوا۟ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا۟ ٱلْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِـَٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغْمِضُوا۟ فِيهِ ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ حَمِيدٌ
”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah di jalan Allah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya lagi Mahaterpuji.” (QS 2:267)
Memang dalam beramal dan beribadah ini kita dituntut untuk menjadi yang terbaik (sesuai dengan kemampuan kita). Nabi bersabda, ”Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama manusia.” Jadi, kita melakukan haji/umroh untuk menjadi orang yang terbaik, dengan cara menjadi orang paling bermanfaat untuk sesama manusia. Itulah haji dan umrah yang mabrur.
Baca Juga: