tebuireng.co- Ungkapan haji backpacker telah marak terdengar di telinga masyarakat. Sejak selesainya pandemi covid-19, Haji backpacker menjadi semakin banyak digandrungi oleh masyarakat. Hal ini karena haji backpacker merupakan sebuah mekanisme cepat dalam pemberangkatan jamaah haji ke tanah suci.
Haji backpacker yang dipahami sebagian orang adalah berangkat ke tanah suci dengan modal nekat tanpa harus antri kuota haji pemerintah Indonesia. Mereka datang ke tanah suci dengan berbagai cara: ada yang menggunakan visa umrah, lalu bertahan sampai bulan haji, ada yang menggunakan visa turis atau ziarah lalu menunggu datangnya bulan haji, bahkan ada pula yang menggunakan visa kerja, setelah kedaluwarsa, paspor dibuang sampai datangnya bulan haji.
Tentu saja haji backpacker seperti ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Dari sisi kelebihannya, selain tidak perlu mengantri jadwal pemberangkatan haji dari pemerintah, haji backpacker seperti ini sangat irit biaya karena tidak menggunakan perusahaan resmi pemerintah sehingga biaya hotel dan fasilitas mewah lainnya bisa dipangkas, mereka rela tidur di teras luar masjid dengan selimut seadanya. Koper atau ransel yang berisi perlengkapan selalu mereka bawa ke mana-mana. Saat tidur koper itu berada di samping mereka. Bahkan saat wukuf di Arofah pun mereka bisa istirahat di tenda dari terpal seperti yang baru-baru ini viral.
Dari sisi kekurangannya, haji backpacker seperti ini memiliki resiko yang tinggi terutama dalam hal keamanan, sebab orang yang berhaji dengan menggunakan visa yang bukan visa haji atau visa undangan haji bisa ditangkap, ditahan, dan disanksi pemerintah Arab Saudi. Selain itu, haji backpacker seperti ini bisa mempengaruhi kondisi kesehatan sebab tidak adanya fasilitas dari persahaan haji sehingga membuat meraka tidur di sembarang tempat dan di ruang terbuka apalagi cuaca di tanah suci sangat ekstrem, hal ini dapat menyebabkan mereka sakit.
Namun istilah haji backpacker tidak hanya digunakan bagi mereka yang berangkat dengan modal nekat seperti di atas. Haji backpacker juga merujuk pada istilah haji non-kuota, haji furoda, dan haji undangan. Namun istilah resmi yang termuat dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019, pemberangkatan haji jenis ini disebut dengan “haji mujamalah”. Haji backpacker atau haji mujamalah seperti ini resmi dari pemerintah. Tidak ada resiko ditangkap keamanan Arab Saudi.
Tidak seperti konsep pemberangkatan jamaah haji seperti biasanya yang harus menunggu antrian hingga bertahun-tahun, haji backpacker atau haji mujamalah ini memiliki konsep “daftar langsung berangkat” sehingga jamaah haji yang memiliki kemampuan baik dalam segi fisik maupun finansial bisa langsung mendaftar dan berangkat di tahun yang sama.
Tingginya minat jamaah haji dalam mendaftarkan diri dengan menggunakan haji mujamalah ini membuat pihak penyelenggara mekanisme haji mujamalah juga meningkat. Pihak penyelenggara haji mujamalah juga sudah mendapat izin operasional dari Kementrian Agama dan memiliki istilah Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
Baca juga: Tanda Haji Mabrur Menurut Hadis Nabi
Menurut data dari Kementrian Agama, tercatat bahwa sepanjang 2021 jumlah PIHK tumbuh 10%. Sebanyak 40 izin operasional baru sebagai PIHK telah diterbitkan. Hingga di bulan oktober tahun 2022 kemarin, secara keseluruhan jumlah PIHK di Indonesia sebanyak 422 . Jumlah tersebut hampir 50% di antaranya berdomisili di wilayah Jakarta.
UU menyebutkan bahwa terdapat dua jenis kuota dalam pemberangkatan jamaah haji di Indonesia. Pertama adalah visa haji kuota Indonesia atau yang biasa disebut sebagai visa negara. Dan yang kedua adalah visa haji mujamalah yang merupakan visa undangan pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Sehingga, warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi berhak untuk melaksanakan ibadah haji sebagaimana haji kuota negara karena secara resmi telah masuk dalam UU.
Hadirnya sistem haji mujamalah oleh PIHK membuat tawaran melaksanakan ibadah haji dengan keberangkatan yang cepat menjadi lebih meningkat. Bahkan setelah diresmikannya haji mujamalah dalam UU, seluruh tanggung jawab dalam penyelenggaraan haji mujamalah dimandatkan kepada PIHK. Hal tersebut berarti, PIHK secara resmi dapat membuat paket, memasarkan, membuka pendaftaran dan memberangkatkan jamaah haji mujamalah.
Dengan demikian PIHK yang menyelenggarakan haji mujamalah wajib memberikan pelayanan secara penuh kepada jamaah minimal mencakup tiga hal utama, yakni pembinaan, pelayanan dan pelindungan.
Namun, beberapa hal perlu diperhatikan oleh masyarakat mengenai sistem Haji Mujamalah. Pertama bahwa penyelenggaraan haji mujamalah hanya diberikan kepada PIHK bukan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) atau lainnya. Sehingga haji mujamalah diselenggarakan oleh PPIU, majelis taklim atau oknum lainnya sangat jelas melanggar UU.
Kedua, risiko sepenuhnya dalam pelaksanaan haji mujamalah ditanggung oleh PIHK dan jamaah. Tidak seperti haji reguler dan haji khusus yang mana pelindungan jamaah sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, dalam haji mujamalah, setiap kejadian atau apapun yang menimpa kepada jamaah baik dalam persiapan, perjalanan maupun pelaksanaan haji, sepenuhnya tanggung jawab PIHK dan jamaah.
Ketiga, visa undangan yang ditawarkan ke calon jamaah bisa saja mengalami pasang surut. Hal tersebut karena ketersediaan kuota visa undangan bersifat relatif tergantung kebijakan pemerintah Arab Saudi dan ekosistem relasi bisnis yang dibangun antara PIHK dengan pihak di Arab Saudi.
Perkembangan pelaksanaan haji mujamalah menyajikan cerita sukses dari beberapa jamaah dalam melaksanakan rukun islam yang kelima. Namun juga tidak dapat dipungkiri bahwa melaksanakan ibadah haji melalui sistem haji mujamalah tersebut juga memiliki resiko yang tinggi.Â
Baca juga: Tasyakuran Pulang Haji, Ini Pendapat Ulama