Memasuki gereja atau rumah ibadah agama lain acap kali menjadi bahan diskusi hangat dalam kajian hukum Islam, apakah ia masuk dalam ranah riddah sehingga pelakunya dinyatakan keluar dari agama islam atau tidak, dalam artian pelakunya tetaplah muslim. Sebuah kajian.
Yang sedang hangat di negeri ini adalah adanya golongan yang membawa ibarot/teks Risalah Ahl al Sunnah wa al Jama’ah karya Hadratussyaikh sebagai justifikasi bahwa setiap orang yang memasuki gereja adalah murtad; keluar dari agama Islam.
Berikut adalah teks tersebut:
قال في الأنوار: و يقطع بتكفير كل قائل قولا يتوصل به إلى تضليل الأمة وتكفير الصحابة وكل فاعل فعلا لايصدر إلا من كافر كالسجود للصليب أو النار أو المشي إلى الكنائس مع أهلها بزيهم من الزنانير وغيرها وكذا من أنكر مكة أو الكعبة أو المسجد الحرام إن كان ممن يظن به علم ذلك وممن خالط المسلمين (ص. ١٤)
Dalam kitab al Anwar dijelaskan bahwa status kafir itu disematkan bagi:
- Setiap orang yang perkataannya bisa mengarah kepada penyesatan umat islam dan mengafirkan shohabat,
- Setiap orang yang perbuatannya merupakan perbuatan yang hanya dilakukan oleh orang kafir. Hal ini diperjelas dengan contoh, yaitu:
a. Sujud kepada salib,
b. Sujud kepada api,
c. Pergi ke gereja beserta umat nasrani dengan menggunakan atribut keagamaan mereka seperti sabuk dan lain-lain. - Setiap orang yang mengingkari Makkah atau Ka’bah atau Masjidil Harom.
Status kafir ini jatuh jika pelaku hal-hal di atas mengetahui keharaman ucapan dan perbuatannya dan ia termasuk orang-orang yang memiliki pergaulan dengan umat muslim.
Ketika teks di atas, tepatnya poin ke 2 bagian c, difahami secara umum dan mutlak bahwa setiap orang yang pergi ke gereja adalah murtad, benarkah pemahamannya?
Berikut pandangan kami dalam memahami teks di atas:
“Bagian c dalam poin ke 2, tidak boleh dilepaskan dari alasan utama pengafiran, yaitu melakukan perbuatan yang hanya dilakukan oleh orang kafir. Ini poin utamanya. Sehingga jika kedatangan muslim di gereja tidak melakukan sesuatu yang dipandang bisa menggugurkan keislamannya maka ia tetaplah muslim.”
Hal tersebut menjadi lebih gamblang manakala kita merujuk kepada kitab yang disebutkan oleh Hadratussyaikh, yaitu Al Anwar. Yang dimaksud dengan kitab ini adalah Al Anwar li A’mal al Abror; sebuah kitab fiqh bermadzhab Imam Syafi’i yang tersusun dalam 3 jilid. Kitab ini ditulis oleh Al Alim Al Fadhil Al Imam Al Kamil Yusuf bin Ibrohim Al Ardabili.
Sang Mushonnif menuliskan ibarot di atas ketika membahas Kitab al Riddah di Jilid ke 3 halaman 273-286 di cetakan pertama Dar al Dhiya Tahun 2006. Sebelum beliau masuk pada ibarot yang dikutip Hadratussyaikh, beliau juga menulis:
ولو دخل بيعة أو كنيسة وأقام فيهما لم يكفر ولم يعص
Jika seseorang memasuki gereja dan menetap di sana maka ia tidaklah kafir dan juga tidak dinilai berma’shiyat.
Dari sini, tentu salah fatal jika ibarot setelahnya yang dikutip oleh Hadhrotusy Syeikh difahami dengan justifikasi kafir bagi setiap orang yang memasuki gereja. Pemahaman yang benar menurut kami adalah penyematan status kafir tidaklah hanya karena memasuki gereja melainkan karena ia melakukan sesuatu yang hanya dilakukan oleh orang kafir sebagaimana yang telah dijelaskan dalam gambaran-gambaran contoh di atas.
Baca Juga: Hadits Tentang Orang Fakir dan Kekafiran
Jika kita tarik di masa Kekholifahan Sayyidina Umar bin Khottob, kita dapati beliau pun juga pernah memasuki Gereja di Baitul Maqdis, bahkan beliau menuliskan al Uhdah al Umariyyah sebagai simbol toleransi Umat Muslim kepada Non Muslim. Hal ini bisa kita lihat diantanya dalam al Tasamuh fi al Islam yang ditulis oleh Dr. Syauqi Abdul Kholil.
Beranikah kita mengatakan beliau telah keluar dari Islam?
Na’udzu billah min dzalik.