tebuireng.co – Hadis Nabi mendapat posisi penting dalam agama Islam. Selain sebagai penjelas bagi Al-Quran, ia juga menjadi salah satu sumber hukum, acuan dan pedoman hidup bagi umat Islam.
Suatu masalah yang tidak ditemukan di dalam Al-Quran, terkadang dapat dijumpai di Hadis Nabi Muhammad SAW. Secara istilah, dalam penjelasan Mahmud Al-Thahan, hadis merupakan segala sesuatu yang datangnya dari Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh para sahabat, kemudian dilanjut oleh tabi’in dan seterusnya.
Kehidupan dan ajaran Nabi Muhammad merupakan sumber inspirasi, bimbingan, dan instruksi yang penting bagi umat Muslim si seluruh dunia saat ini. Sebab, selain sebagai mubayyin (penjelas), hadis juga berfungsi sebagai pelengkap dari pada Al-Quran.
Seorang muslim dapat mengambil bimbingan langsung tentang semua aspek kehidupan Rasulullah SAW, mulai dari cara melakukan transaksi bisnis di pasar internasional sampai rincian bagaimana cara meminum segelas air dari koleksi besar literatur hadis.
Menurut Dr Ubaydi Hasbillah, dalam suatu diskusi ilmiah yang diselenggarakan oleh Ma’had Aly Hasyim Asy’ari menyampaikan ada trilogi ilmu hadis sepanjang perjalanannya hingga saat ini. Hadis nabi dipelajari dengan trilogi ini.
Pertama ialah Al-sima’i. Al-sima’i merupakan proses menerima Hadis baik dengan cara mendengar langsung dari seorang guru, dan lain sebagainya sesuai yang telah ditetapkan oleh para ulama’ Hadis.
Kedua, Al-Wa’yu. Trilogi hadis yang kedua ini berfungsi untuk menjaga Hadis dengan cara menghafal, memahami dan juga dengan cara mengamalkannya.
Al-ada’ Kama Huwa Masmu’ adalah yang ketiga dari trilogi hadis. Maksudnya adalah, menyampaikan suatu kabar atau hadis sesuai dengan apa yang ia dengarkan dari gurunya.
Secara tidak langsung ini mengatakan bahwa hadis merupakan ilmu riwayah, dan bukanlah ilmu hasil berfikirnya ulama. Biarpun begitu, dalam penerapannya, hadis tetap perlu penafsiran dan pengkajian lebih lanjut supaya selaras dengan tempat dan waktu.
Melihat trilogi hadis di atas, dapat diambil kesimpulan jika mempelajari ilmu hadis baik riwayah maupun dirayah ternyata tidak mudah.
Apalagi untuk menjadi seorang rawi hadis (meskipun periwayatan telah dihentikan). Selain kemampuan intelektual dan menghafal, ketaatannya sebagai hamba Allah SWT. juga menjadi tolok ukur diterima atau tidaknya riwayat yang diriwayatkan.
Hal demikian dapat ditemui dalam hadis Nabi tentang syarat-syarat diterimanya suatu kabar (informasi) yang salah satunya mengharuskan seorang pembawa kabar berstatus adil.
Merujuk kitab Al-Madkhal fii Ulumil Hadis, adil mempunyai empat syarat, meliputi baligh, berakal, tidak munafik dan tidak melakukan perkara mubah yang dapat menurunkan muru’ah. Perkara mubah dimaksud, salah satunya adalah melepas imamah dan lain sebagainya.
Menurut Mausu’ah Fiqh al-Qulub, muru’ah adalah “Mengerjakan segenap akhlak baik dan menjauhi segenap akhlak buruk, menerapkan semua hal yang akan menghiasi dan memperindah kepribadian, serta meninggalkan semua yang akan mengotori dan menodainya.
Standarisasi ini dibuat sedemikian ketatnya ialah demi menjaga keautentikan hadis Nabi yang mulia. Karena hadis sebagai pedoman keberagamaan umat muslim. Sebagai upaya menjaga hadis, ulama membuat ilmu hadis bernama takhrijul hadis.
Ilmu takhrij melahirkan klasifikasi hadis, ada hadis sahih, hadis hasan dan hadis daif ditinjau dari para perawinya.
Teknisnya, untuk mengetahui sahih atau tidaknya suatu hadis, para ulama mengkajinya dengan menjadikan sanad dan matan sebagai objek utama kajian.
Bisa dengan mengacu pada sanad dan bisa pula melihat kualitas matan. Hal ini, menurut Mahmud Al-Thahan dinamai dengan ilmu hadis. Yakni, perangkat untuk mengetahui keadaan sanad dan matan Hadis untuk kemudian bisa diketahui apakah hadis ini tertolak atau diterima.
Kehatian ulama hadis juga terlihat dalam penerimaan dan periwayatan, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi baik oleh matan hadis itu sendiri dan juga bagi seorang rawi yang hendak menerima (al-tahammul) dan menyampaikan (al-ada’), supaya sebuah hadis bisa dikatakan layak diterima dan diamalkan.
Namun, ulama hadis menggariskan selama suatu hadis tidak bertentangan dengan nash Al-Quran, meskipun tidak ditemukan suatu topik yang dibahas oleh hadis di dalam Al-Quran bukan berarti hadis ini kemudian ditolak. Setidaknya harus melewati proses takhrij hadis.
Bila melihat perkembangan ilmu hadis dari sudut pandang pembukuan dan pengkodifikasiannya, maka yang dapat ditemukan adalah bahwa ilmu hadis mengalami lima masa perkembangan.
Periode pertama hadis nabi, ialah munculnya nash Al-Quran dan Sunah sebagai dasar untuk meneliti kebenarannya suatu kabar yang diterima.
Periode kedua, ialah ketika wafatnya nabi, yakni masa sahabat. Masa ini adalah masa di mana ilmu hadis diwacanakan dan disampaikan secara lisan.
Masih belum ada usaha pembukuan ilmu hadis pada masa ini, sebab para sahabat lebih fokus terhadap penjagaan atau pengkodifikasian Al-Quran.
Ilmu hadis mulai ditulis pada periode ketiga, yakni pada masa para tabi’in. Biarpun sudah ada penulisan ilmu hadis, akan tetapi ia masih belum terpisahkan dengan ilmu yang lain.
Berlanjut pada periode keempat, ialah pada masanya tabi’in tabi’in yang di masa ini selain ada upaya penulisan ilmu hadis, ada juga usaha untuk memisahkannya dengan ilmu selainnya.
Kendati demikian, ilmu hadis belum menyatu secara sempurna melainkan hanya hadir dalam bab perbab. Pada periode kelima, ilmu hadis terpisah dari ilmu yang lain juga telah mampu berdiri sendiri secara terstruktur.
Ilmu Hadis mulai diakui sebagai ilmu tersendiri setelah Ibn Shalah menulis kitab tentang ilmu musthalah hadis yang berjudul Muqaddimah.
Meskipun secara hakikat, ilmu hadis telah ada jauh sejak sebelum itu. Misalnya, dalam kitab Ar-Risalahnya Imam Syafi’ie. Dalam kitab itu juga memuat tentang kaidah-kaidah ilmu hadis.
Ilmu Hadis telah ada jauh pada abad sebelum pembukuan ini, dapat dibuktikan dengan fenomena para mujtahid yang telah melakukan kritik sanad dan matan hadis untuk menentukan hadis tersebut bisa dijadikan hujjah atau tidak.
Akan tetapi, pada saat itu ilmu hadis hanya sebatas penerapan, tanpa adanya pembukuan. Sehingga tidak popular.
Menurut Ubaydi Hasbillah mengatakan bahwa “Mempelajari hadis adalah mempelajari masa lalu. Kembali ke zaman yang sangat jauh dari zaman sekarang. Pada saat itu, manusia dewasa ini harus bisa menghadirkan perasaan bahwa saat mempelajari hadis sedang berada di zaman tersebut. Di sisi yang lain, pemerhati hadis juga dituntut untuk sadar akan ke-kinian dan ke-sinian zaman.”
Maksud dari kalimat “Dituntut untuk sadar akan ke-kinian dan ke-sinian zaman” adalah hadis yang diterima atau pelajari di masa ini harus disesuaikan dan aktualisasikan dengan zaman atau waktu yang manusia modern miliki. Artinya, hadis harus dipahami dan diamalkan secara kontekstual, bukan tekstual.
Ahmad Fikri/Abdurrahman