Tulisan di bawah ini adalah tulisan seorang, yaitu Fathur Rahman Karyadi, yaitu seorang teman yang terkenal dengan sebutan Atunk. Dirinya memiliki sebuah kenangan manis dengan Gus Sholah yang sampai hari ini masih teringat betul ucapan tersebut. Sebuah ungkapan yang oleh almarhum KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah) yang sampai hari ini masih selalu terngiang. Beliau (Gus Sholah) berkata:
Ungkapan ini beliau ucapkan di depan para Mahasantri Ma’had Aly Tebuireng yang notabene menggeluti ilmu-ilmu keislaman kalasik terutama hadis. Beliau berani dan tegas. Tanpa kekhawatiran apa pun. Kejujuran seorang pemimpin seperti itu pula yang langka.
Menurut Mas Atunk sesuai dengan pengalaman yang pengamatannya yang ia dapatkan selama mondok di pesantren Tebuireng adalah Selama Gus Sholah menjadi Pengasuh Pesantren Tebuireng, beliau benar-benar menggerakkan segala lini. Tak hanya unit pendidikan, tapi unit usaha, unit kesehatan, jasa boga, kebersihan, penerbitan, kreativitas, organisasi, dan sebagainya. Beliau mendukung penuh segala potensi yang ada di dalam pesantren.
Pengalaman yang langsung Mas Atunk alami langsung adalah ketika hendak mengadakan acara pentas seni besar-besaran, kami kira beliau akan tidak setuju atau bahkan marah. Ternyata malah mendukung penuh. Bukan hanya dukungan semata yang beliau berikan, segala fasilitas untuk mengadakan acara tersebut beliau biayai mulai dari studi banding ke Pondok Modern Gontor sampai semua kebutuhan yang dibutuhkan untuk terselenggaranya acara festifal tersebut. Langkah yang luar biasa yang tak terpikirkan sama sekali sebelumnya.
“Fitrah manusia itu suka perayaan dan festival. Allah pun mensyariatkan ibadah haji sebagai momentum kaum muslimin kumpul dari segala penjuru belahan dunia,” tutur Gus Sholah.
Dari sini beliau menggunakan sebuah analogi bahwa santri perlu memerankan kefitrahannya sebagai manusia yang suka perayaan. Yakni berupa perkumpulan, ajang mengasah bakat dan kreativitas, meningkatkan daya nalar dan imajinasi, bahkan juga menyadari kenakalannya selagi tidak melewati batas kewajaran.
Gus Sholah dan Kedekatan dengan Santri
Ada keunikan yang luar biasa menurut saya pada pribadi beliau dalam mendidik mandiri santrinya. Beliau tak segan-segan “ngemong” santri seperti saya yang notebenenya santri belekan, nakal, kemproh tanpa pandang dia anak siapa, pernah melanggar aturan tidak, dan dari kota atau desa. Semua sama dan rata. Kini, mungkin kita jarang jumpai atasan memperhatikan bawahannya sedetail itu.
Beliau tidak pernah malu apalagi gengsi, memperkenalkan kami santri yang apalah gitu, terhadap tamu-tamu beliau ketika kita sedang sowan beliau, pas bertepatan dengan tamu-tamu beliau yang notabenenya orang-orang top. Justru bagi beliau hal ini menjadi kebanggan tersendiri untuk saling berkoneksi dan berinteraksi satu sama lain.
“Kalian beruntung punya kiai seperti beliau yang gede rumongso (besar merasa) bukan rumongso gede (merasa besar)”. Ungkap salah seorang tamu kepada kami ketika beliau (Gus Sholah ke belakang)
Pagi ini, air mata saya meleleh. Tepat satu tahun lalu beliau berpulang. Meninggalkan kita semua. Kami senantiasa mengingat keikhlasan, kejujuran, dan segala dedikasi beliau kepada kami. Hanya doa dan usaha-usaha kecil meneladani beliau yang mampu kami lanjutkan. Semoga!
Jakarta, 2 Februari 2021
Santri nakal : Atunk
Â