tebuireng.co – Gus Sholah dan Gus Dur adalah dua mutiara dari Tebuireng. Gus Dur bernama lengkap KH Abdurrahman Wahid adalah anak tertua dari enam bersaudara putra-putri Kiai Wahid Hasyim dan Nyai Solichah.
Gus Dur lebih tua 2-3 tahun dari Gus Sholah, putra dari Kiai Wahid Hasyim. Ayahnya wafat pada tahun 1953 pada usia 39 tahun, karena kecelakaan lalu lintas.
Gus Dur saat ikut dalam peristiwa kecelakaan tersebut. Enam bulan pasca peristiwa nahas itu, anak bungsu Kiai Wahid Hasyim dengan Nyai Solichah lahir, Gus Hasyim Wahid.
Selanjutnya, Nyai Solichah jadi kepala keluarga dan membesarkan putra-putinya. Usianya saat itu baru berusia 30 tahun saat Kiai Wahid Hasyim wafat.
Nyai Solichah mampu menerjemahkan keinginan suaminya dalam mendidik putra-putrinya. Putri dari KH Bisri Syansuri itu pernah bercerita kepada anak-anaknya bahwa sang suaminya pernah menyatakan keinginan untuk mempunyai putra yang menjadi seorang kiai, seorang dokter dan seorang insinyur.
Dewasa kemudian, putra-putri Kiai Hasyim ada yang pernah kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), dan seorang lagi kuliah di ITB lalu pindah ke Fakultas Ekonomi UI, tetapi keduanya tidak menyelesaikan kuliah.
Putra-putri Kiai Wahid Hasyim bersekolah di SD Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dan SD Perwari di Jakarta, termasuk Gus Dur dan Gus Sholah.
Gus Dur melanjutkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Jakarta lalu pindah ke Yogyakarta pada 1954. Di Yogya Gus Dur tinggal di rumah kenalan sang ibu dan bersekolah di SMEA (seperti SMK) sambil ngaji di Krapyak.
Setelah itu Gus Dur dikirim oleh Nyai Solichah mondok di Pesantren Tegalrejo Magelang yang dipimpin oleh Kiai Chudhori, seorang alumni Pesantren Tebuireng.
Setelah itu Gus Dur melanjutkan mondok di Tambakberas selama sekitar 3 tahun. Gus Dur mengaji kepada Kiai Fattah Hasyim, suami dari Nyai Musyarrafah (adik Nyai Solichah).
Gus Dur sangat mengagumi Kiai Fattah. Di Tambakberas Gus Dur juga mengajar Bahasa Inggris. Saat itulah Gus Dur berkenalan dengan Ibu Shinta Nuriyah.
Pada 1963 Gus Dur berangkat ke Kairo Mesir untuk kuliah di Al Azhar. Menurut Gus Mus, selama di Al-Azhar Gus Dur hampir tidak pemah kuliah karena mata kuliah di tahun pertama sudah dikuasai saat menjadi santri Kiai Fattah.
Waktu Gus Dur dihabiskan untuk membaca banyak buku dan menonton film di Bioskop. Gus Dur merasa bahwa Al-Azhar bukan tempat yang tepat bagi dirinya untuk kuliah.
Setelah itu Gus Dur pindah ke Baghdad Irak untuk belajar sastra Arab. Di Baghdad Gus Dur mempunyai teman dekat seorang Yahudi yang membentuk pandangan dan sikap Gus Dur terhadap Israel.
Baghdad adalah tempat bertemunya Barat dan Islam. Bisa dibilang bahwa kehidupan Gus Dur di Baghdad banyak membentuk pandangan dan sikap Gus Dur terhadap agama lain.
Setelah selesai kuliah, Gus Dur tinggal di Belanda selama sekitar satu tahun. Tampaknya kehidupan Gus Dur di Baghdad dan Eropa banyak membentuk pandangan dan sikap Gus Dur terhadap agama lain.
Di Eropa Gus Dur juga sempat belajar bahasa Perancis yang dikuasainya secara pasif. Gus Dur dan adik bungsunya, Hasyim Wahid memang punya bakat untuk belajar bahasa dengan cepat.
Sebagai kakak tertua, Gus Dur tidak lama hidup bersama adik-adiknya. Apalagi adik-adiknya, hanya beberapa tahun serumah dengan Gus Dur.
Saat kecil, Gus Dur tidak beda dengan anak-anak lainnya, main layang-layang dan mainan anak-anak lainnya.
Sejak remaja Gus Dur sudah senang membaca buku-buku serius. Gus Dur juga suka buku-buku seperti Winnetou dan cerita silat karangan Chin Yung, penulis yang amat terkenal di Hongkong. Di keluarga Wahid Hasyim, sosok Gus Sholah dan Gus Dur merupakan kepribadian yang suka membaca dan menulis.
Gus Sholah juga mengaku membaca buku-buku di atas. Daya ingat Gus Dur amat kuat. Spektrum bacaannya amat luas. Ini membuat ia istimewa. Kegemarannya membaca turun dari Kiai Wahid Hasyim.
Pada 1971 awal, Gus Dur kembali ke Indonesia dan tinggal di Jombang sampai akhir 1970-an. Selama di Jombang Gus Dur mengajar di Tambakberas dan di Institut KH Hasyim Asy’ari Tebuireng.
Pada Oktober 1971 Gus Dur menikah dengan Nyai Shinta Nuriyah. Sebenarnya Gus Dur telah menikah dengan Shinta Nuriyah pada awal 1968 yang diwakili oleh Kiai Bisri Syansuri (ayah Pendiri Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar), karena tidak ingin dilangkahi oleh Gus Sholah yang menikah pada Februari 1968.
Setelah menikah, Gus Dur dan keluarga tinggal di Pesantren Denanyar. Gus Dur merintis kehidupan keluarga dibantu oleh Hj Shinta Nuriyah yang berjualan es mambo dan berbagai dagangan lain.
Pada tahun 1974, ia menjabat sebagai Sekretaris Umum Pesantren Tebuireng hingga tahun 1980. Ia juga pernah menjadi guru kitab di Al Hikam.
Mahasiswa yang pernah mengkuti kuliah yang diberikan oleh Gus Dur bercerita bahwa kuliah Gus Dur menarik dan berbobot.
Pendeta Wismoadhy pimpinan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) yang tinggal di Malang bercerita bahwa pada 1974 kedatangan tamu yang memperkenalkan diri sebagai keluarga Pesantren Tebuireng bernama Abdurrahman Wahid.
Gus Dur ingin diperkenalkan dengan para pendeta GKJW. Menurut Gus Sholah, itu adalah dialog pertama Islam dan Kristen di Indonesia.
Gus Dur berharap akan kembali ke luar negeri untuk belajar di Universitas McGill di Kanada, tapi hal ini urung dilakukan.
Pada 1973 atau 1974 Gus membantu Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), perintis LSM di Indonesia dalam menjalankan program pengembangan pesantren.
Pesantren yang dibina adalah Pabelan Magelang, Guluk-Guluk Sumenep, Cipasung Tasikmalaya, Tebuireng dan lain-lain.
Beberapa pesantren mendapat Kalpataru, sebuah penghargaan prestasi bidang lingkungan hidup.
Nasihin Hasan yang bekerja di LP3ES selama beberapa tahun pada sekitar pertengahan 1970-an bercerita bahwa Gus Dur sering ke Kantor LP3ES dan meminta kertas dan meminjam mesin ketik lalu memulai menulis.
Tidak terlalu lama tulisan itu selesai dan dikirim ke Redaksi Majalah Tempo dan minggu depannya sudah dimuat. Gus Dur memang punya bakat dalam menulis. Saat sekolah di SD Gus Dur pernah menang lomba menulis se-Jakarta.
Selama tinggal di Jombang Gus Dur aktif memberi pengajian di berbagai tempat di Jawa Timur. Selain mempunyai kemampuan menulis Gus Dur juga punya kemampuan tinggi sebagai pembicara.
Bisa bicara di depan rakyat banyak maupun di depan kalangan akademisi. Ceramah atau pengajian Gus Dur berisi pemikiran yang bernas tapi diselingi humor yang cerdas.
Setelah dikenal oleh para aktivis di Jakarta, Gus Dur juga sering diundang menjadi pembicara di Jakarta atau bahkan di luar negeri.
Baca Juga: Ucapan Gus Dur Benar, Dikira Gila
Tahun 1978 Gus Dur mengalami musibah berupa kecelakaan yang mengharuskannya melakukan operasi mata, dan secara teratur Gus Dur memeriksanya ke Jakarta. Gus Dur pun berfikir ada baiknya kalau ia berpindah ke ibukota.
Karena belum punya rumah di Jakarta, maka Gus Dur harus mengontrak rumah dan karena itu harus berpindah-pindah rumah.
Gus Dur harus merintis kembali kehidupan keluarga di Jakarta. Beberapa tawaran untuk mengurus NU menghampirinya. Namun, Gus Dur menolak karena ia ingin menjadi intelektual politik.
Sampai akhirnya sang kakek, ayah dari Nyai Solichah (Kiai Bisri) menawarkan posisi itu untuk ketiga kalinya dan Gus Dur pun mengiyakan. Hal tersebut membuat Gus Dur kembali menetap di ibukota.
Pada tahun 1980 Gus Dur menjabat sebagai Katib Awwal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) hingga tahun 1984.
Ia juga mendapat pengalaman politik pertamanya karena berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada pemilihan umum legislatif 1982.
PPP sebuah partai Islam yang dibentuk dari gabungan 4 himpunan Islam termasuk NU. Kariernya bisa dibilang gemilang, setahun kemudian Gus Dur sukses menduduki kursi Ketua PBNU dan pada tahun 1989 akhirnya ia sukses duduk di kursi MPR-RI.
Untuk lebih menghidupkan kembali NU, Wahid juga mengundurkan diri dari PPP dan partai politik. Hal ini dilakukan sehingga NU dapat fokus dalam masalah sosial daripada terhambat dengan terlibat dalam politik.
Pada tahun 1984 Gus Dur terpilih sebagai ketua PBNU pada Muktamar ke-27 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.
Gus Dur bahkan terpilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahlul halli wal aqdi, yang diketuai oleh KH R Asad Syamsul Arifin.
Setelah terpilih menjadi Ketua Umum PBNU, kegiatan Gus Dur makin meningkat, harus sering ke luar kota. Peran Nyai Shinta dalam mendidik putri-putrinya amat penting.
Gus Dur adalah orang yang kurang memperhatikan kesehatan. Kurang menjaga makanan yang tidak baik bagi kesehatan. Kalau sakit, tidak segera ke dokter untuk bisa mengetahui sejauh mana tingkat keseriusan penyakit yang diderita.
Pada awal 1990-an, Gus Dur menjalani operasi usus, dan pada I998 harus menjalani operasi otak karena terserang stroke.
Gus Dur adalah orang yang tidak peduli terhadap uang. Kalau menerima hadiah uang dari seorang atau menerima honor ceramah lalu ada orang yang datang minta bantuan, maka uang yang ada di tangannya langsung diserahkan kepada orang yang meminta.
Gus Dur mudah ditemui oleh siapapun. Gus Dur tidak pilih-pilih tamu. Dalam istilah bahasa asing, Gus Dur adalah seorang egaliter.
Orang yang ingin mengundang Gus Dur untuk ceramah atau memberi pengajian, siapapun orangnya, diterima dengan baik.
Gus Dur juga orang yang berani bersikap, bahkan ada kalanya terlalu berani. Keberanian itu menurun dari kakek-kakeknya, dari kedua orang tuanya.
Keberanian itu juga sebagai hasil dari pendidikan sang ibu yang mendorong putra-putrinya untuk berani mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan yang mengandung risiko.
Di bawah asuhan Nyai Solichah putra-putri keluarga Wahid Hasyim tumbuh menjadi pribadi yang berani mengambil sikap dalam situasi apapun. Mereka tumbuh menjadi pribadi yang memegang prinsip, tidak oportunis, asal cari selamat.
Semoga tulisan amat singkat ini bisa memberi tambahan informasi tentang Gus Dur. Juga bisa memberi ilham serta memberi contoh keteladanan yang bisa kita tiru.
Tulisan ini disarikan dari Majalah “Kharisma 2019” Madrasah Muallimin Muallimat (MMA) 6 Tahun Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Hasil wawancara Kuni Samsahayah dan Iffah Azizah kepada KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), adik kandung Gus Dur.