Tebuireng.co – Ra’is Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia dan Selandia Baru Prof. Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) menjelaskan musik Islami adalah setiap musik yang membawa pesan Islam.
“Slank pernah tanya kepada saya, musik Islami itu bagaimana gus. Apakah harus ada ayat Al-Qur’an dan shalawat? Saya jawab tidak, Slank bicara cinta, menghormati orang itu juga Islami. Lagu Ebiet sangat Islami,” jelasnya saat live di akun instagram @yennywahid, Senin (20/9).
Gus Nadir menjelaskan, masyarakat harus bisa membedakan antara kultur musik Timur Tengah dan musik Islami. Karena musik Islami lebih berhubungan terkait pesan islam yang dibawa. Pilihan musik adalah hak pribadi setiap individu.
Dari sini bisa diketahui, tidak setiap jenis musik yang datang dari Timur Tengah bisa dikatakan musik Islami. Tergantung isinya bagaimana.
“Beda musik Timur Tengah dengan Islami. Gambus adalah model Timur Tengah. Orang mau dengarkan musik atau tidak itu adalah pilihan. Terpenting seseorang tidak boleh memaksa orang lain untuk mengikutinya. Apalagi menggunakan kekerasan untuk pilihannya,” ujarnya.
Terkait adanya kelompok yang mengharamkan musik, bahkan mengharamkan lagu kebangsaan Indonesia raya, Gus Nadir punya pendapat sendiri. Baginya, pengharaman lagu Indonesia raya lebih banyak dilatar belakangi motif politik.
Dalam kacamata Gus Nadir, lagu Indonesia raya adalah lagu kebangsaan dan diperdengarkan pada momen-momen kebangsaan, jika seorang menjadi peserta upacara maka ia harus ikut menyanyi. Jika dia di rumah itu terserah seseorang tersebut mau mendengarkan.
Berdasarkan pengamatan Gus Nadir, yang jadi persoalan utamanya bukan mendengarkan lagunya melainkan ada sikap politik di balik itu. Ada pikiran bahwa lagu Indonesia raya bagian dari nasionalisme dan ini tidak ada dalilnya sehingga haram dan bid’ah. Ada juga anggapan bahwa lagu Indonesia raya bagian dari pemerintahan Thoghut dan kufur.
“Akhirnya bukan sampai tidak mau mendengarkan lagu Indoensia saja tapi melebar kemana-mana seperti himbauan untuk tidak menyanyikan lagu Indonesia di pengajian-pengajian. Tidak ada larangan di agama jika kita memiliki bendera dan lagu kebangsaan. Ukhwah wathoniyah, ukhwah Islamiyah itu bisa dilakukan jika kita bisa mengelola perbedaan,” ujarnya.
Di sisi lain Gus Nadir juga mengingatkan dalam melihat bab musik Islami atau tidak, bahkan keharaman musik harus jernih dan tanpa motif politik. Sehingga tidak dijadikan senjata untuk menyerang lawan politik.
Ia juga mengapresiasi sikap putri Gus Dur, Yenny Wahid yang berani meminta seseorang tidak mengecap radikal pada santri yang menutup kuping saat mendengarkan musik saat mengantri vaksin. Ini tidak tepat, apalagi dilabeli kampungan dan lain sebagainya.
“Jangan menari-nari di atas isu radikalisme untuk kepentingan politik, kita tidak setuju dengan politisasi agama dan ayat Al-Quran itu jelas. Namun, jangan juga menyasar lembaga lain seperti KPK dan lainnya dengan isu radikal. Yang tidak jelas diradikalkan. Akhirnya ada polarisasi kadrun dan cebong,” tandas Gus Nadir.