tebuireng.co – Gus Miek adalah seorang yang sangat terkenal di kalangan guru sufi, seniman, birokrat, preman, bandar judi, kiai-kiai NU, dan para aktivis.
Dialah yang membangun tradisi pengajian sema’an Al-Qur’an Jantiko Mantab dan pembacaan wirid dzikrul ghofilin bersama beberapa koleganya.
“Chamim Tohari”, adalah nama aslinya. Ia dilahirkan pada 17 Agustus 1940 di Kediri dari pasangan KH Djazuli Usman dan Nyai Rodliyah (Mbah Roro Marsyinah).
Nyai Rodliyah adalah putri dari seorang Pejuang dan Ulama asal Trenggalek yang bernama KH Imam Mahyin, beliau memiliki jalur keturunan sampai kepada Nabi Muhammad, sebagai keturunan ke-31 dari Sayyid Hasan, anak dari Ali bin Abi Thalib dengan Siti Fathimah.
Ayah Gus Miek, KH Dazuli Usman adalah pendiri pondok pesantren Ploso Kediri. Ia pernah nyantri kepada banyak guru, di antaranya kepada:
- Hadrotussyaikh KH Hasyim Asy`ari (Tebuireng-Jombang),
- KH Muhammad Ma’roef (Mbah Ma’ruf Kedunglo-Kediri),
- KH Ahmad Sholeh (Gondanglegi-Nganjuk),
- KH Abdurrahman Sekarputih,
- KH Zainuddin (Mojosari-Nganjuk),
- KH Khozin (Langitan-Tuban),
- KH Dimyati (Termas-Pacitan),
- Syaikh Al-Allamah Al-Aidrus (Makkah Al Mukaromah).
KH Djazuli Usman nama kecilnya adalah “Mas Mas’ud”. Dia telah sekolah di STOVIA yang ada di Batavia, tatkala anak-anak seangkatannya belum sekolah.
Mas Mas’ud ini anak dari Raden Mas Usman, kepala KUA Kecamatan Mojo Kediri. Pada saat itu jabatan sebagai kepala KUA sangat bergengsi.
Mas Usman adalah anak dari Kiai Muhammad Sahal, seorang ulama kharismatik dari Ploso Mojo. Akan tetapi ayah Gus Miek lebih memilih hidup dan mendirikan pesantren.
[Tweet “Gus Miek sering dakwah di diskotik dan tempat kelam”]
Sejak kecil, Gus Miek sudah tampak unik terlihat nyentrik. Dia tidak suka banyak bicara, suka menyendiri, dan bila berjalan selalu menundukkan kepala.
Akan tetapi Gus Miek juga sering masuk ke pasar, melihat-lihat penjual di pasar, sering melihat orang mancing di sungai. Bila keluarganya berkumpul, Gus Miek selalu mengambil tempat paling jauh.
Pada awalnya Gus Miek disekolahkan oleh KH Djazuli Usman di Sekolah Rakyat, tetapi tidak selesai karena dia sering membolos.
Setelah itu Gus Miek belajar Al-Qur’an kepada ibunya, kepada Hamzah, Khoirudin, dan Hafidz. Ketika pelajaran belum selesai Gus Miek sudah minta khataman. Para gurunya jadi geleng-geleng kepala.
Ketika usia Gus Miek masih 9 tahun, dia sudah sering tabarrukan ke berbagai ulama sufi. Beberapa kiai yang dikunjunginya adalah KH Mubasyir Mundzir Kediri, Gus Ud (KH Mas’ud) Pagerwojo-Sidoarjo, dan KH Abdul Hamid Pasuruan.
Di tempat Gus Ud Pagerwojo Sidoarjo, Gus Miek bertemu dengan KH Achmad Shidiq yang usianya lebih tua. KH Achmad Shidiq ini di kemudian hari sering menentang tradisi sufi Gus Miek, tetapi akhirnya menjadi kawan karibnya di dzikrul ghofilin.
Kebiasaan Gus Miek pergi ke luar rumah menggelisahkan orang tuanya. Akhirnya ayahnya memintnya ngaji ke Lirboyo, Kediri di bawah asuhan KH Machrus Ali, yang kelak juga menentang tradisi sufinya.
Di Lirboyo Gus Miek bertahan hanya 16 hari dan kemudian pulang ke Ploso. Ketika sadar orang tuanya resah akibat kepulangannya, Gus Miek justru akan menggantikan seluruh pengajaran ngaji ayahnya, termasuk mengajarkan kitab Ihya Ulumuddin.
Namun, beberapa bulan kemudian, Gus Miek kembali ke Lirboyo. Ketika masih di pesantren Lirboyo, pada usia 14 tahun Gus Miek pergi ke Magelang dengan tujuan:
1. Nyantri di tempatnya KH Dalhar Watucongol,
2. Mengunjungi Mbah Kiai Jogorekso Gunungpring,
3. KH Arwani Amin Kudus,
4. mengunjungi KH Ashari Lempuyangan,
5. Mengunjungi KH Abdul Hamid Kajoran,
6. Mengunjungi Mbah Benu Yogyakarta.
Gus Miek juga pernah berguru kepada seorang habaib yang juga terkenal nyentrik, yaitu Al-Habib Sholeh bin Muksin Al-Hamid. Setelah itu Gus Miek pulang lagi ke Ploso.
Di Ploso, di tempat pesantren ayahnya, Gus Miek minta dinikahkan, dan akhirya ia menikah dengan Zaenab, putri KH Muhammad Karangkates, yang masih berusia 9 tahun.
Pernikahan ini berakhir dengan perceraian, ketika istrinya masih berusia sekitar 12 tahun. Pada masa ini Gus Miek sudah sering pergi untuk melakukan dakwah kulturalnya di berbagai daerah, tabarrukan ke berbagai guru sufi dan mendapatkan ijazah wirid-wirid.
Pada tahun 1960 Gus Miek menikah dengan Lilik Suyati dari Setonogedong kota Kediri. Pernikahan ini atas saran dari KH Dalhar dan disetujui KH Mubasyir Mundzir, guru Gus Miek.
Gadis itulah yang menurut gurunya akan sanggup mendampingi hidupnya, dengan melihat tradisi dan kebiasaan Gus Miek untuk berdakwah keluar rumah.
Pada awalnya pernikahannya dengan gadis Setonogedong ditentang KH Djazuli Utsman dan Nyai Rodliyah. Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pernikahan itu disetujui. Saat itu Gus Miek sudah berdakwah ke diskotek-diskotek, ke tempat perjudian, dan lain-lain.
Dari berbagai perjalanan, riyadloh, dan tabarrukan, Gus Miek akhirnya menyusun kembali wirid-wirid secara tersendiri yang didapatkan dari para gurunya. Pada awanya Gus Miek mendirikan jama’ah mujahadah lailiyah tahun 1962. Sampai tahun 1971 jama’ah yang dirintis ini sudah cukup luas.
Pada tahun 1971, para jama`ah Gus Miek dan masyarakat Nahdlatul Ulama (NU) menghadapi dilema pemilu. Saat itu semua pegawai negeri diminta memilih Golkar oleh penguasa.
Gus Miek sendiri tidak mencegah bila para pengikutnya yang Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk memilih Golkar, karena situasi sosial saat itu di bawah rezim Soeharto.
Metamorfosis dari komunitas yang dibangun Gus Miek, semakin menampakkan bahwa ia mengembangkan tradisi wirid di luar kelompok tarekat yang sudah mapan di kalangan NU. Jama`ah mujahadah lailiyah yang dibangunnya berkembang menjadi dzikrul ghofilin.
Pada tahun 1971-1973, susunan wirid-wirid dzikrul ghafilin diusahakan untuk dicetak, terutama setelah jangkauan dakwah Gus Miek telah menjangkau ke Kabupaten Jember.
Bersama-sama KH Achmad Shidiq yang awalnya sangat menentang, tetapi akhirnya menjadi sahabatnya, naskah wirid dzikrul ghofilin berhasil dicetak. Naskah-naskah yang tercetak dibagikan kepada jaringan jama`ah Gus Miek antara lain:
1. Di Jember di bawah payung KH Achmad Shidiq,
2. Di Tulungagung di bawah payung KH Anis Ibrohim,
3. Di Klaten di bawah payung KH Rahmat Zuber,
4. Di Yogyakarta di bawah payung KH Daldiri Lempuyangan,
5. Dan seluruh Jawa Tengah di bawah payung KH Abdul Hamid Kajoran Magelang.
Di samping meng-organisir dzikrul ghofilin, Gus Miek pada tahun 1986 juga meng-organisir sema’an Al-Qur’an. Beberapa bulan kemudian sema’an ini dinamakan Jantiko.
Tahun 1987 sema’an Al-Qur’an Jantiko mulai dilakukan di Jember. Saat itu KH. Achmad Shidiq sudah menjadi Rais Aam Syuriah PBNU saat Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984.
Dibandingkan dzikrul ghofilin, jama`ah Jantiko ini lebih cepat berkembang. Pada tahun 1989, Jantiko kemudian diubah namanya menjadi Jantiko Mantab atau Jantiko man taba.
Ada juga yang mengartikan Mantab sebagai Majlis Nawaitu Tapa Brata. Dikatakan juga man taba itu berarti siapa bertaubat. Jantiko Mantab ini kemudian berkembang ke berbagi daerah.
Perjuangan Gus Miek dengan dzikrul ghofilin, sema’an Al-Qur’an dan tradisi sufinya ke diskotok, tempat perjudian dan lain-lainnya.
NU yang telah membakukan tarekat mu’tabaroh, tradisi sufi Gus Miek mendapatkan perlawanan. Dzikrul ghofilin dianggap berada di luar kelaiman, tidak mu’tabaroh. Penentangan datang dari orang yang sangat terkenal, sekaligus pernah menjadi gurunya di Lirboyo, yaitu KH Machrus Ali.
Hanya saja, semua itu bisa dilewati Gus Miek dengan sabar. Yang paling menggembirakan karena KH Achmad Shidiq sebagai orang yang sangat dihormati di NU, yang pada awalnya menentang tradisi sufinya, kemudian bersama-sama mengembangkan dzikrul ghofilin di kabupaten Jember dan sekitarnya.
Gus Miek wafat pada 5 Juni 1993. Ia dimakamkan di Pemakaman Auliyya’ Tambak Kediri, diiringi ratusan ribu kaum muslimin.
Di pemakaman ini pula KH Anis Ibrahim dari Tulungagung dimakamkan di sebelah barat makam Gus Miek, dan juga KH Achmad Shidiq dimakamkan di sebelah selatan.
Di pemakaman ini pula terdapat tidak kurang dari 22 orang yang kebanyakan adalah guru dan juga murid Gus Miek. Gus Dur pernah ditawari untuk dimakamkan di sini, tapi ia menolak.
Lahumul Fatihah