Setelah dari makam KH Salahuddin Wahid, sayapun beralih lagi ke rumah induk di Pondok Tebuireng itu. Yang hanya tiga rumah di sebelah rumah Gus Sholah. Saya masih juga terus bersama Gus Irfan. Di rumah induk inilah saya ditemui Gus Kikin. Yang nama lengkapnya adalah Abdul Hakim Mahfudz.
Suguhan tamu di situ banyak sekali. Saya pilih makan duku saja. Yang sangat manis dan lezat itu.
Gus Kikin itulah yang telah ditunjuk menggantikan Gus Sholah menjadi pimpinan tertinggi Pesantren Tebuireng.
Kami duduk bersila di ruang depan rumah induk itu. Ngobrol banyak hal. Tapi saya yang memulai bicara.
“Jadi, Gus Kikin ini ternyata mondok di mana-mana ya?” kata saya. Ada semacam permintaan maaf di balik pertanyaan itu.
“Awalnya di Pondok Pesantren Sunan Ampel, lalu ke Pondok Pesantren Seblak,” ujar Gus Kikin. “Setelah itu lebih banyak ngaji ke ayah,” tambahnya.
Pondok Sunan Ampel adalah pondok kecil di dalam kota Jombang. Sedang lokasi Pondok Seblak hanya selemparan batu dari Tebuireng.
Ayah beliau sendiri seorang kiai. Ibunya adalah sepupu Gus Dur. Kakek dari ayahnya juga kiai besar, KH Maksum. Yang karya beliau menjadi buku pegangan di pesantren: Kitab Amsilatus Tashrifiyah.
Itulah kitab etimologi yang sampai sekarang masih diajarkan di Pondok Tebuireng.
Kini Gus Kikin sendiri yang mengajarkan kitab kuning itu kepada para santrinya.
Gus Kikin juga masih mengajarkan kitab kuning populer lainnya: Durusul Falaqiyah.
Dari pesantren itu Gus Kikin masuk akademi yang tidak akan Anda sangka: Akademi Pelayaran di Jakarta. Sampai selesai. Sampai memiliki kemampuan mengemudikan kapal.
Baca Juga: Santri Mandiri
Setamat akademi itu, Gus Kikin berkarir di Badan Usaha Milik Negara (BUMN): menjadi pegawai Djakarta Lloyd. Dengan karir yang moncer pula: umur 30 tahun sudah menjadi kepala cabang di Cilegon.
Itulah masa jaya Djakarta Lloyd. Dengan grup band terkemukanya: D’Lloyd.
Setelah lebih 10 tahun di Djakarta Lloyd –dan pindah-pindah ke beberapa cabang– Gus Kikin pun keluar. “Saya melihat ada yang tidak sehat di situ. Suatu saat akan bahaya,” ujar beliau.
Saat kelak Djakarta Lloyd benar-benar di bibir kebangkrutannya Gus Kikin sudah lama jadi pengusaha. “Saya jadi eksportir,” ujarnya.
Yang diekspor adalah komoditi seperti pinang, minyak atsiri, dan banyak lagi. Tujuan utamanya Korea Selatan.
Belakangan Gus Kikin punya usaha minyak dan gas bumi. Sumur pertama gasnya ada di Madura. Tepatnya di Sumenep. “Sebentar lagi gasnya sudah mengalir,” kata Gus Kikin.
Luar biasa.
Kini Gus Kikin menjadi kiai utama di Pesantren Tebuireng. Waktunya pun akan terbagi di tiga lokasi: Surabaya, Jakarta, dan Tebuireng.
Inilah babak baru dunia perkiaian Indonesia.
Dahlan Iskan
Tulisan ini sudah pernah terbit di DI’s Way