Tebuireng.co – Beliau kitab kesederhanaan. Beliau merupakan kiai yang tidak berada di baris depan atau pusat, beliau menepi dan bersila di sudut sunyi. Gus Hakam tak tampil di acara-acara besar, tak berdiri di atas mimbar masjid atau panggung pengajian, juga tak banyak muncul di semesta pemberitaan seputar Tebuireng.
Di seputaran Pesantren Tebuireng, terdapat warung kopi legendaris yang terpatri di ingatan dan bersemayam di hati para santri di sana. Warung kopi Mbak Mut atau BM, namanya. Kopinya nikmat, dan tempatnya aman. Bagi para santri, kata “aman” di sini tentu tak asing apa maknanya.
Setiap kali keluar gerbang Tebuireng, menyebrang jalan raya yang sibuk, dan berjalan menuju BM, pasti saya akan melewati sebuah rumah lawas sederhana dengan sepetak pondokan santri di sisi kanannya. Pondokan itu bernama Darul Hakam, dan pengasuhnya yang hidup dengan kesederhanaan bernama KH. Abdul Hakam (Gus Hakam), putra tunggal KH. Abdul Choliq Hasyim, dan cucu Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Baca Juga: KH Choliq Hasyim, Sang Kiai Waskita
Bagi saya pribadi, Darul Hakam dan khususnya Gus Hakam merupakan misteri. Mungkin, juga bagi anda sekalian. Cerita dan informasi tentang beliau terdengar sepotong-sepotong, tak banyak, dan tak utuh— katakanlah sangat minim.
Tulisan ini, semoga serupa ajakan untuk membuka selarik demi selarik kelambu misteri itu. Dan, izinkan saya memanggil sedikit ingatan ihwal beliau.
Pondok Darul Hakam bertetangga dengan KCP BRI Cukir. Hanya terpisah dua atau tiga toko. Saban malam, halaman kantor BRI itu menjadi tempat mangkal sekaligus istirahat para tukang becak. Mereka mengisi waktu menunggu datangnya penumpang dengan bermain kartu remi atau domino sampai larut malam.
Setiap kali “berkesempatan” ngopi malam ke BM, medio 2005-2008, saya selalu mendapati rutinitas abang-abang becak itu. Mungkin sampai sekarang. Dan tak jarang, kami melihat Gus Hakam ada di antara mereka. Beliau duduk tenang, menghisap kretek, dan menyaksikan para abang becak ini memainkan kartu tanpa rasa canggung.
Mula-mula, pemandangan itu terasa ganjil. Bagi anak yang baru pertama kali mondok dan belum akrab dengan khazanah kenylenehan-kenylenehan kekasih Allah, apa yang dilakukan Gus Hakam adalah ketidakpantasan. Bagaimana bisa seorang Kiai yang disegani berada di antara penjudi? Batin saya kala itu.
Namun, lambat laun saya menginsyafi. Bahwa abang-abang becak itu— orang-orang yang kerap dipandang sebelah mata dan paria di dalam struktur sosial kita— pasti bahagia ditunggui dan ditemani oleh seorang Kiai, cucu Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Toh, mereka hanya memainkan kartu sebagai hiburan, bukan dengan taruhan uang atau lainnya. Para abang becak hatinya marem. Dan Gus Hakam, tak sedikitpun berkurang marwahnya.
Pada medio itu pula beberapa kali saya berkesempatan sowan ke ndalem beliau. Ada satu momen tak mungkin luput dari ingatan. Waktu itu menjelang boyongan. Lazimnya, seorang santri akan pamitan: Memohon maaf, minta doa restu, dan tentu saja berharap mendapat sangu berupa amalan, doa, atau mantra.
Setelah kami mengutarakan tujuan bersilaturahmi, justru Gus Hakam dengan penuh kesungguhan meminta maaf, berkali-kali. Beliau meminta maaf kepada kami karena merasa tidak pernah menemani kami belajar dan malu kepada KH. Hasyim Asy’ari. Saya pikir, itu pelajaran ketawadhuan yang luar biasa.
Lalu, sebelum pamit kami memohon barokah do’a dari Gus Hakam. Itu semacam protokol tak tertulis dalam bersilaturahmi kepada piyantun sepuh.
“Ya semoga barokah. Dan niat yang baik menurut Allah semoga dimudahkan,” kurang lebih begitu jawaban Gus Hakam kepada kami dengan bahasa Jawa alus logat Jombang.
Kami tak langsung pamit. Kami sedikit bertanya ini itu, dan mengulang meminta barokah doa. Dan Gus Hakam mengulang jawaban yang sama. Mungkin, itu berlangsung sampai tiga kali. Kami baru sadar ketika Gus Hakam mengutarakan kalimat:
“Lha apa kalian pikir itu tadi bukan doa? Itu tadi juga doa.”
Jujur, saya tersentak, malu. Di bayangan saya, doa dari Gus Hakam akan berupa doa-doa berbahasa Arab yang panjang dan menggetarkan. Ternyata tidak. Gus Hakam benar belaka. Bahwa apa yang beliau ucapkan tersebut juga adalah doa. Dan sangat mungkin lebih menggetarkan langit karena diutarakan dengan keyakinan yang kokoh. Baru belakangan saya mengetahui kalau beliau termasuk Kiai yang memegang prinsip “al yakiinu la yuzalu bi syak”, keyakinan tak akan dapat dihilangkan oleh keraguan.
“Perbanyak istighfar dan sholawat,” ini oleh-oleh dari beliau sebelum kami pamit.
Muktamar PBNU dilangsungkan di Jombang, 2015. Di Muktamar itu, Tebuireng dipilih sebagai salah satu lokasi. Dan kebetulan, pengasuh Tebuireng kala itu, KH. Salahuddin Wahid, dicalonkan kembali untuk mengimbangi calon incumbent, KH. Said Aqil Siradj. Saat itulah momen sowan Gus Hakam yang juga masih saya ingat kuat.
Waktu itu puncak Muktamar, pemilihan Ketua Umum PBNU, tinggal sehari lagi. Kami telah berada di Tebuireng, berhari-hari, dan menyaksikan betapa Muktamar “kebangkitan ulama” tak ubahnya perebutan kursi ketua umum sebuah partai politik. Semoga penilaian saya ini salah, dan Muktamar PBNU di Lampung yang akan berlangsung akhir 2021 ini tidak mengulang kebanalan Muktamar Jombang 2015 itu.
Di tengah keriuhan Muktamar itulah, ternyata ada Kiai yang sedih dan menepi. Kepada kami, Gus Hakam bercerita tentang isyaroh yang beliau dapat. Beliau melihat Tebuireng peteng dedet (gelap gulita). Hal itu membuat beliau menepi: Beberapa hari beliau tak memasuki gerbang Tebuireng dan memilih berada di Darul Hakam.
Kami tak sepenuhnya faham apa makna di balik isyaroh beliau. Dan rasanya, tak pantas santri banyak tanya. Mungkin anda pernah mendapat cerita serupa lengkap dengan takwilnya. Yang jelas, waktu itu beliau berpesan kepada kami untuk memperbanyak sholawat.
Kepada kami beliau menyitir surat Ar-Rum ayat 32: “Mina alladziina farraquu diinahum wakaanuu syiya’an kullu hizbin bimaa ladayhim farihuuna.” Dengan menyitir ayat itu, beliau menunjukkan bahwa apapun pilihan beliau selalu punya landasan, punya dasar. Termasuk menepi dari keriuhan Muktamar, berarti pula menyingkir dari golongan-golongan yang adu benar. Saya pikir setiap Kiai kita selalu punya dasar, dan perbedaan antar mereka adalah rahmat bagi kita, para santri.
Begitulah Gus Hakam hidup di benak saya: Beliau kitab kesederhanaan. Beliau merupakan kiai yang tidak berada di baris depan atau pusat, beliau menepi dan bersila di sudut sunyi. Gus Hakam tak tampil di acara-acara besar, tak berdiri di atas mimbar masjid atau panggung pengajian, juga tak banyak muncul di semesta pemberitaan seputar Tebuireng.
Di antara yang tak banyak itu adalah berita kedekatan Gus Dur dan Gus Hakam. Keduanya dekat, sangat akrab. Setiap ke Tebuireng, Gus Dur pasti menemui Gus Hakam. Gus Hakam selalu diminta untuk memimpin tahlil setiap kali Gus Dur berziarah ke maqbaroh Tebuireng. Dan tradisi itu berlanjut selepas Gus Dur wafat. Setiap Bu Nyai Sinta dan dzurriyah Gus Dur ke Tebuireng, Gus Hakam pula yang memimpin tahlil.
Baca Juga: Gus Hakam dan Gus Dur
Seminggu sebelum wafat, 25 Desember 2009, di RSUD Jombang, Gus Dur berbicara kepada Gus Hakam:
“Dik, minggu depan aku balik ke Tebuireng. Tolong sampeyan yang doakan ya.“
Benar saja, seminggu kemudian Tebuireng dan Indonesia berduka— Gus Dur kembali ke Tebuireng, bukan untuk berziarah, melainkan untuk dimakamkan.
Seminggu lalu, Gus Dur gantian menjemput Gus Hakam. KH. Abdul Hakam Kholiq (Gus Hakam) akhirnya pulang selamanya— meninggalkan banyak pertanyaan yang belum terjawab dan kenangan di benak para santri dekatnya yang menunggu dituliskan.
Dua tahun belakangan, Tebuireng banyak sekali kehilangan: mulai dari KH. Sholahudin Wahid, KH. Agus Muhammad Zaki Hadzik (Gus Zaki), KH. Hasyim Wahid (Gus Im), H. Mochamad Abdul Wachid Mahfudz, sampai terakhir Gus Hakam. Saya harap, penjemputan jeda dulu, karena kami masih ingin melihat Kiai-kiai kami hidup seratus tiga tahun lagi.
Wallahu a’lam bisshowab.
Oleh: Hayyik Ali M.M (Alumni Komplek K Al-Huda Tebuireng)