Membela Tuhan atau kemanusiaan? Pertanyaan ini coba saya jelaskan melalui pendapat serupa dari KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Persoalan Tuhan memang tak pernah selesai untuk diperbincangkan. Sejak dulu hingga sekarang umat manusia berusaha untuk memahami Tuhan dengan berbagai cara. Ada yang memahami Tuhan sebagai manifestasi dari alam semesta ini (imanensi), ada yang memahami Tuhan berdiri sendiri dan tak terbaur dengan alam semesta ini (transendensi), dan bahkan ada juga yang memahami Tuhan layaknya manusia yang memiliki kepala, tangan dan kaki (antropomorfisme).
Pemahaman mengenai Tuhan yang majemuk tersebut merupakan konskuensi logis dari keserbaagungan dan kesempurnaan yang inheren dalam entitas Tuhan. Begitu sempurnanya Tuhan hingga manusia tak mampu menjelaskan atau merepresentasikan Tuhan secara sama. Karena itu, ada beberapa orang suci yang memilih jalan negatif yakni, memilih untuk tidak menjelaskan atau membicarakan Tuhan. Mereka adalah Ibnu Arabi dalam tradisi Islam, Santo Agustinus dalam tradisi Kristen, dan Siddharta Gautama dalam tradisi Buddha.
Dalam konteks demikian, saya kira, KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa dengan Gus Dur juga memiliki pemahaman yang lain sekaligus unik mengenai Tuhan. Untuk itu, saya akan mengulasnya dalam tulisan ini.
Tuhan Tidak Perlu Dibela?
Setahu saya, ada dua tulisan Gus Dur yang membahsa tentang Tuhan. Pertama, tulisan berjudul Tuhan Tidak Perlu Dibela yang dimuat dalam Majalah Tempo. Kedua, tulisan yang menjadi kata pengantar buku Menumbuhkan Religius Anak-anak yang ditulis oleh Romo Mangunwijaya.
Di dalam tulisan pertama, Gus Dur menceritakan tentang seorang Sarjana X yang baru saja pulang ke Indonesia setelah menamatkan studinya di luar negeri. Alih-alih merasa senang dan bahagia karena kembali ke tanah air tercinta, ia justru kaget sekaligus sedih melihat kemarahan dan kebencian umat islam yang terjadi di mana-mana.
Segala aspek kehidupan—tak peduli ruang publik atau privat—dilabeli dengan islam. “Fenomena apa ini?” begitu pikirnya. Ia memang bisa menjelaskan bagaimana gejala keberangan itu muncul, tapi tak mampu menjawab bagaimana umat muslim menyelesaikan sendiri keberangan itu bila menyangkut aspek ajaran Islam yang paling fundamental.
Karena itu, ia bertanya kepada pamannya yang diakui sebagai ahli fikih. Namun, ia tak mendapatkan jawaban yang melegakan. Kemudian dia bertanya kepada cendekiawan muslim yang moderat karena biasanya mampu menjembatani formalisme agama dan tantangan dunia modern. Namun, ia salah. Cendekiawan tersebut tetap tak mampu memberikan jawaban yang memuaskan.
Sehingga, ia sekarang berada pada kondisi kecemasan dan kegelisahan yang radikal. Namun, kondisi tersebut segera sirna ketika kawan seprofesinya mengajaknya mendatangi guru tarekat. Dari situ lah ia memperoleh ketenangan. Guru tarekat itu menasihatinya bahwa Allah tidak memerlukan pembuktian atas kebesaran-Nya karena Ia sudah Maha Besar. Segala apapun yang orang perbuat atas-Nya tak akan mempengaruhi wujud-Nya dan kekuasaan-Nya.
Gus Dur kemudian menyitir argumen sufi terkenal Al-Hujwiri: “Bila engkau menganggap Allah ada karena engkau merumuskannya, hakikatnya engkau menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ia “menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.”
Apa yang bisa ditarik menjadi kesimpulan ialah keadaan umat muslim yang saat itu begitu mengkhawatirkan tak perlu diambil pusing. Kita cukup mengimbanginya dengan mendemonstrasikan wajah Islam yang ramah dan harmonis. Jika keadaan sudah begitu gawat, kita hanya perlu membuka ruang dialog dan diskusi dengan mereka. Itu saja
Kita tak perlu marah-marah kepada mereka karena kebenaran Tuhan tak akan berkurang sedikitpun akibat perbuatan mereka. Tuhan sudah Maha Sempurna dan Agung. Sehingga, pembelaan atas-Nya tidak diperlukan.
Lantas, Siapakah yang Perlu Dibela? Membela Tuhan atau Kemanusiaan?
Di dalam tulisan kedua, Gus Dur menegaskan bahwa ekspresi keagamaan yang penuh amarah, kebencian dan keberangan seperti umat muslim yang telah diceritakan di atas merupakan konskuensi dari pemahaman akan Tuhan yang sempit. Tuhan dilihat seolah-olah sebagai sang Maha Pemarah yang siap menghukum siapapun yang berbuat kesalahan dan kelalaian.
Hukuman tersebut bahkan sudah dijatuhkan oleh Tuhan sebelum datangnya kiamat. Segala bencana alam, kemiskinan atau munculnya berbagai penyakit. Karenanya, dilihat sebagai manifestasi dari hukuman Tuhan. Tak heran bila mereka mengaktualisasikan prinsip Amar M’aruf Nahi Munkar dengan begitu eksklusif.
Dengan pemahaman demikian, hubungan antara Tuhan dan manusia menjadi mekanis. Tuhan akan menghadiahkan surga beserta isinya bagi mereka yang taat dan mengganjar siksaan dan kepedihan di neraka bagi mereka yang tidak taat. Hubungan ini menimbulkan model keberagamaan yang tertutup, sehingga gampang menyalahkan atau mendiskreditkan orang yang tak sepaham dengannya. Lebih jauh, hubungan ini mensyaratkan bahwa hanya orang-orang tertentu saja yang menuju jalan keselamatan.
Padahal, agama memiliki cita-cita untuk membawa seluruh umat manusia menuju jalan keselamatan karena wataknya yang universal. Watak ini mengedepankan cinta dan kasih sayang kepada seluruh makhluk di alam semesta ini. Segala bentuk keegoisan, kesombongan, dan perbedaan mesti dinihilkan demi melaksanakan cita-cita itu. “Bagaimana mungkin kau mencapai derajat kecintaan kepada Tuhan dalam ukuran paling tepat, kalau kau tidak mencintai manusia secara umum, karena Tuhan justru mencintai mereka?” Itulah pertanyaan Gus Dur.
Melalui pemahaman itu, Tuhan tidak dilihat sebagai Yang Maha Pemarah, melainkan Yang Maha Pengasih. Tidak dilihat sebagai Yang Maha Penghukum, melainkan Yang Maha Pemaaf. Bagi Gus Dur, jika Tuhan bersifat demikian, maka kita juga harus bersifat demikian. Sehingga, kita mesti berbuat baik kepada sesama, menghargai orang lain, membela mereka yang terzalimi, dan memaafkan kesalahan orang lain.
Karena itu, keimanan yang dimaksud Gus Dur bukanlah keimanan yang abstrak dan lepas dari kehidupan, melainkan keimanan yang konkret dan melekat dengan kehidupan. Keimanan yang senantiasa tergugah dan peka atas problem-problem manusia yang terjadi pada kehidupan ini. Pada titik ini, Gus Dur menghadirkan kisah menarik dari khazanah kaum sufi: Seorang wanita salehah yang masuk neraka karena tidak mau memberi minum pada kucing peliharaannya hingga membuatnya mati dan wanita pelacur yang masuk surga karena memberi minum anjing kehausan di tengah padang pasir.
Bagi Gus Dur, cerita itu mengandung pesan bahwa keimanan pada ajaran formal agama tak akan cukup bila tak disertai pada sikap untuk memuliakan kehidupan dan menghargai kemanusiaan. Maka, jangan heran bila Gus Dur begitu getol membela kemanusiaan tanpa pandang ras, suku, atau agama. Karena yang perlu dan penting untuk dibela bukan Tuhan—karena ia Maha Segala—, melainkan membela kemanusiaan.
*Tulisan ini telah dilombakan dalam sayembara menulis esai yang bertajuk “Meneladani Sang Guru Bangsa” yang diselenggarakan oleh Tebuireng.co pada Januari 2023.
Penulis: Muhammad Akbar Darojat Restu Putra
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan
Baca Juga: Bekal Gus Dur untuk Anak-anaknya