KH Ahmad Bahauddin Nur Salim atau Gus Baha mengatakan bahwa tirakatnya seorang santri itu adalah hidup jauh dari orang tua, tidak hidup mewah, makan seadanya, susah air atau listrik, selalu sholat berjamaah dan terus belajar.
Dalam dunia pesantren, sebuah tradisi yang melekat dan tidak dapat dipisahkan dari diri seorang santri adalah ‘tirakat’. Tirakat, merupakan sebuah lakon khusus yang bertujuan untuk mendapat kesuksesan dalam mencari ilmu. Dasar kata tirakat diambil dari bahasa Arab thariqoh yaitu sebuah jalan, yang biasa dimaknai dengan jalan menuju Allah. Pendapat yang lain mengatakan bahwa ia berasal dari bahasa Arab taroka yang berarti meninggalkan. Ini bermakna meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi, dengan menahan diri (agar tidak berlebihan) terhadap hal-hal yang mubah.
Umumnya semua kiai berpesan kepada santri-santrinya untuk tirakat. Seperti halnya dawuh kiai Abdullah Faqih Langitan, Santri iku kudu tirakat. Sebab, santri nek gelem tirakat, ilmune bakal mencorong, iso dialap manfaat karo wong akeh, tur nek ajak-ajak wong liyo, yo bakal digugu lan dipercoyo. Artinya, santri itu harus tirakat. Sebab, kalau santri mau tirakat, ilmunya akan terpancar, bisa diambil manfaat oleh banyak orang, dan jika mengajak orang lain juga akan diperhatikan dan dipercaya.
Bagi Gus Baha, inti dari sebuah tirakat atau riyadloh adalah menahan hawa nafsu untuk mempertajam kualitas spiritual. Hal ini diwujudkan dengan perilaku yang baik dan tidak menyimpang. Menjalankan perintah Allah, Rasulullah dan mengikuti tuntunan agama Islam.
Baca Juga: Tasawuf Abad 21 dalam Kacamata Gus Baha
Hematnya, seseorang yang mengaku santri bila bersungguh-sungguh mengikuti setiap kegiatan pesantren dan ikhlas maka keberhasilan akan datang. Karena terkadang tak butuh usaha aneh-aneh, asal ikut setiap aturan yang ada maka bisa berhasil.
Gus Baha juga meminta santri tidak bolos dalam belajar. Apalagi bolos karena alasan puasa sunah, wiridan dan acara bukan wajib lainnya. Lebih hinanya lagi, sampai meninggalkan kewajiban belajar untuk hal mubah atau mendekati haram. Secara kaidah, apabila ada perkara wajib dan sunah saling bertabrakan maka dahulukan perkara wajib.
Zaman dulu itu ada wali mulamatiyah, zaman sebelum Imam Asy Sya’roni. Thoriqahnya cukup melaksanakan shalat yang fardhu-fardhu saja, shalat-shalat sunnah tidak dikerjakan, pokoknya yang penting tidak melakukan maksiat” tambahnya
“Ternyata juga bisa jadi wali. Itu dilakukan karena beliau hidup di komunitas pekerja, jadi yang didakwahkan adalah syariat ‘tholabul halal fardhun ala kulli muslimin‘, yang penting orang-orang itu bekerja mencari rizki yang halal.” Ujar Gus Baha’
Semoga Allah memberikan ilmu manfaat