KH Bahauddin Nur Salim (Gus Baha) memberikan salah satu contoh perihal akar perilaku kekerasan. Di Haul Masyayikh Pondok Damaran Kudus, Rabu (26/03/2024) Gus Baha dalam mengkaji Kitab Musnad Ahmad memaparkan ulasan yang menarik.
وعن أبي أمامة الباهلي رضي الله عنه قال لما كنا في حجة الوداع قام رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو يومئذ مردف الفضل بن عباس على جمل آدم فقال يا أيها الناس خذوا من العلم قبل أن يقبض العلم وقبل أن يرفع العلم، وقد كان أنزل الله عز وجل (يا أيها الذين آمنوا لا تسألوا عن أشياء إن تبد لكم تسوءكم وإن تسألوا عنها حين ينزل القرآن تبد لكم عفا الله عنها والله غفور حليم) (المائدة: 101) قال فكنا نذكرها كثيرا من مسألته واتقينا ذاك حين أنزل الله على نبيه صلى الله عليه وسلم قال فأتينا أعرابياً فرشوناه بردائنا قال فاعتم به حتى رأيت حاشية البرد خارجة من حاجبه الأيمن قال ثم قلنا له سل النبي صلى الله عليه وسلم قال فقال له يا نبي الله كيف يرفع العلم منا وبين أظهرنا المصاحف وقد تعلمنا ما فيها وعلمناها نساءنا وذرارينا؟ وخدمنا قال فرفع النبي صلى الله عليه وسلم رأسه وقد علت وجهه حمرة من الغضب، قال فقال أي ثكلتك أمك، وهذه اليهود والنصارى بين أظهرهم المصاحف لم يصبحوا يتعلقوا بحرف مما جاءتهم به أنبياؤهم، ألا وإن من ذهاب العلم أن يذهب حملته ثلاث مرار.
Dari Umamah al-Bahili radiyallahu’anhu, berkata: ketika Nabi berdiri di hajjatil wada’ dan saat beliau menggonceng Sayyid Fadl bin Abbas di atas unta yang kemerah-merahan. Nabi bersabda: “Wahai manusia, ambillah ilmu sebelum ilmu diambil dan sebelum ilmu diangkat’. Dan Allah Swt telah menurunkan ayat : ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al-Qur’an itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun’.” (Q.S. Al-Maidah: 101).
Perawi berkata: kita sungguh sungkan dari bertanya pada Nabi dan kita khawatir pada pertanyaan itu ketika Allah menurunkan ayat pada nabi-Nya. Perawi berkata: maka kita mendatangi orang Badui maka kita menyuapnya dengan sorban. Perawi berkata: maka orang Badui memakai sorban ini. Sehingga saya melihat bagian luar selimut yang keluar dari alis kanannya. Kemudian kita berkata pada Badui, tanyalah kepada Nabi ‘Wahai Nabiyullah, bagaimana ilmu diangkat dari kita. Sedangkan di sekeliling kita ada mushaf/tulisan. Dan sungguh kami telah belajar apa yang ada di dalamnya dan mengajarkannya pada istri, anak-anak, dan pembantu-pembantu kita’?.
Maka Nabi mengangkat kepalanya dan sungguh warna merah kemerahan telah merasuki wajahnya. Maka beliau bersabda: “Benar, celakalah ibumu, orang Yahudi dan Nasrani di sekelilingnya ada mushaf-mushaf, tetapi orang Yahudi dan Nasrani tidak menjadikan mereka berhubungan dengan satu huruf dari sesuatu yang datang dari nab-nabi mereka. Ingatlah, sesungguhnya salah satu sebab hilangnya ilmu ialah sebab perginya orang-orang yang membawa ilmu.”
Sudah berkali-kali Gus Baha mengkaji hadis ini. Menurutnya, Al-Qur’an itu mempunyai tiga aspek. Pertama, sebagai “tulisan” disebut kitab, dari kata kataba yaktubu kitaban, memang ditulis. Kedua, disebut “wal-Quran” karena dibaca, dari kata qara’a yaqra’u qur’anan. Ketiga, sebagai aturan. Hadza hukmullah yahkumu bainakum bahwa Al-Qur’an ada ketentuan Allah untuk menentukan sikap hidup kita.
Gus Baha mengingatkan, ketika kita membaca Al-Qur’an, sebenarnya hanya mewakili satu aspek Al-Qur’an yaitu quran (dibaca). Ketika Al-Qur’an itu hanya dibaca, ternyata Nabi itu masih marah besar. Saking marahnya, Nabi menyamakan kita dengan orang Yahudi. Orang Yahudi dan Nasrani punya kitab suci tetapi itu tidak memandu mereka, kitab suci hanya seperti mantra.
Beliau mengajak kita untuk menyelamatkan Al-Qur’an. Kalau ingin menyelamatkan Al-Qur’an itu tirulah Nabi Muhammad, Al-Qur’an menjadi perilaku sosial. Pengalaman Gus Baha bertemu orang-orang pintar di berbagai kesempatan menyimpulkan bahwa Al-Qur’an juga menyelamatkan peradaban.
“Seseorang itu kalau marah bisa saja menembak seperti beberapa kasus di Indonesia. Ia bisa membacok, bisa berkata kotor, di daerah tertentu bisa menyantet. Dan ketika Anda kecewa sama teman, istri, komunitas, Al-Qur’an menyuruh untuk wal kadzimin al-ghoido (Q.S. Ali-Imran ayat ke-134) dan kamu harus bisa mengelola emosi,” jelas putra KH Nur Salim al-Hafiz ini.
Gus Baha memberi contoh dalam kasus kekerasan, coba kalau kita setiap marah memukul orang lain, menembak orang lain, habislah orang Indonesia. Sebab kecewa pada seseorang, ingin mengebom, maka habislah Indonesia.
Ketika kita kecewa dengan orang sekeliling kita, wal ‘afina ‘ani nas, kita mudah memaafkan. Ada perilaku sosial yang salah, kita bina.
“Tapi kita sudah tidak bangga dengan pemahaman Quran seperti ini,” pungkasnya.
Apakah Perilaku Kekerasan Dibenarkan?
Kalau boleh meng-qiyas-kan, ‘illat akar (alasan) terjadinya perilaku kekerasan maupun penganiayaan antar individu dipicu oleh ketidakmampuan dalam mengontrol atau mengelola emosi. Padahal dalam kajian Gus Baha di atas, bahwa mengelola emosi itu tugas tiap individu. Perintah itu ada di dalam Al-Qur’an dan diperkuat oleh sabda Nabi Muhammad Saw.
Peran apa pun yang kita emban; dalam konteks rumah tangga, lembaga pendidikan terutama pesantren, dan kehidupan masyarakat, maka yang paling awal harus dibenahi ialah perilaku sosial kita. Bagaimana perilaku sosial sudah sesuai nilai dalam Al-Qur’an atau tidak. Kalau Al-Qur’an hanya dibaca, maka mohon maaf, ratusan abad yang lalu Nabi Muhammad Saw sudah mengingatkan bahwa ilmu dalam Al-Qur’an akan hilang jika tidak dijadikan perilaku sosial oleh umat Islam.
Kalau saja kita diberi amanah menjadi pimpinan lembaga, maka buatlah aturan yang sesuai nilai dalam Al-Qur’an. Kalau pun ada pemberian sanksi, berilah sanksi yang mendidik dan berefek jera. Ini juga yang dicontohkan Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, menurut santri beliau KH Masduqi asal Mojokerto bahwa dulu ketika ada santri keluar tanpa izin, maka hukuman bagi santri tersebut ialah mencium dubur sapi di hadapan seluruh santri sepondok.
Begitu juga poin kedua dari Gus Baha, ketika ada yang berbuat salah kita harus memaafkan tetapi, harus tetap dibina dengan baik. Maka memberi pendidikan pada santri banyak sekali caranya. Kekerasan bukanlah bentuk pendidikan yang dimaklumi, tetapi itu ialah emosi yang tidak terkendali.
Ini sedikit contoh bagaimana aplikasi nilai Al-Qur’an diterapkan menjadi perilaku sosial tentu dengan ukuran yang proporsional, sesuai pendekatan keilmuannya. Ibarat penyakit, kalau belum terkena maka harus tahu cara mencegahnya. Jika sudah terkena harus tahu mengobatinya bahkan membasmi sampai ke akar-akarnya. Tiap permasalahan mempunyai pendekatan penyelesaian masing-masing.
Maka ini semua menjadi tantangan dan tugas kita semua untuk mengamalkan nilai Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, melakukan introspeksi diri dan segera berbenah lebih baik lagi. Wallahu a’lam.
Penulis: M Sutan Alambudi
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan
Baca Juga: Ijazah Pelancar Rezeki dari Gus Baha