“Umat Islam Indonesia bersikap positif terhadap modernitas dan menghadapi tantangannya secara kreatif, sementara kelompok garis keras bersikap reaksioner terhadap modernitas, mereka menolaknya karena dianggap produk Barat; mereka mengidealkan masa lalu dan ingin kembali ke masa lalu. Mereka menonjolkan dalam hal keyakinannya yang absolutisme, keras, dan tak kenal kompromi.” Abdurrahman Wahid, ed. “Ilusi Negara Islam. ”Hal 166.
Indonesia merupakan negara Muslim terbesar di dunia. Masyarakat muslim di Indonesia terkenal sangat moderat dan ramah. Kesemua itu tidak terlepas dari peran Wali Songo yang mendakwahkan Islam melalui akulturasi budaya sehingga islam dengan mudah berkembang pesat di Indonesia. Kini dakwah Islam di lanjutkan oleh para ulama, khususnya ulama pesantren. Lewat pengkaderannya di Pesantren, lahirlah kader-kader para juru dakwah Islam yang ramah, Pesan-pesannya penuh dengan kesejukan.
Ironisnya, kini banyak pendakwah Islam yang baru datang belakangan, justru memberikan pemahaman-pemahaman ajaran Islam yang ekstrem kepada masyarakat. Misalnya, memahami kata jihad. Seolah jihad hanya bermakna tunggal perang, mendirikan amar ma’ruf nahi mungkar dengan kekerasan, mengusung wacana Khilafah dengan tujuan akhirnya adalah merubah ideologi Indonesia (padahal Pancasila sudah harga mati), syariatisasi hukum Islam dalam semua lini (misalnya, dari hukuman, perbankan, berbusana), mendiskreditkan kaum perempuan dalam kehidupan sosial, dll.
Menurut KH. Abdurrahman Wahid, kelompok Islam garis keras di Indonesia berusaha keras merebut simpatik umat Islam Indonesia. Dengan dalil dakwah dan tarbiyah amar ma’ruf nahi mungkar.
Gerakan Islam, Transnasional dari Timur tengah berpaham Wahabi atau Ikhwanul Muslimin. Mereka mengusung politik yang berbeda dengan NU maupun Muhammadiyah, yang berhaluan moderat dan berkebangsaan. Sejak kemunculannya, gerakan-gerakan Islam garis keras telah “berhasil” mengubah wajah Indonesia mulai menjadi agresif, beringas, intoleran, dan penuh kebencian. Mereka kurang memahami subtansi ajaran Islam sebagaimana pemahaman para Wali, Ulama, dan Pendiri bangsa. Bertolak belakang dengan Islam Indonesia yang terkenal lembah lembut.
Islam Transnasional
Dalam konteks Indonesia, wacana Islam Transnasional di perkenalkan oleh KH. Hasyim Muzadi, dan As’ad Ali, sejak pertengahan 2007 silam (saat itu masih menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Istilah itu merujuk pada ideologi keagamaan lintas negara yang sengaja di impor dari luar dan di kembangkan di Indonesia. Menurut Hasyim Muzadi bukan hanya datang dari Timur Tengah, tapi juga dari Barat. Kelompok seperti Wahabi, Majelis Mujahidin, Ikhawanul Muslimin, Jaulah, Al-Qaida, disebut sebagai kelompok yang di kategorikan ideologi transnasional dari Timur (NU Online, 15/05/2007).
Persoalan adaptasi dan persenyawaan antara ajaran Islam dengan ekspresi budaya dan adat-istiadat yang hidup di Indonesia serta adaptasi dengan perkembangan zaman juga di gugat oleh gerakan trans-nasional ini. Seolah-olah dialog antara ajaran Islam dengan kultur Indonesia yang melahirkan warna ”Islam Indonesia” di anggap sebagai Islam yang tidak murni dan tidak otentik. Ia di anggap penuh dengan syirik, bid’ah dan khurafat. Sedangkan ijtihad-ijtihad baru dalam kerangka pembaharuan Islam juga menjadi tertuduh karena telah menyebabkan sekularisme, penyelewengan Islam dan kesesatan.
Awalnya ideologi ini menggugat kultur dalam perkembangannya, mereka juga menggugat pemahaman umat Islam lain di luar mereka. Pedang ajaran kalangan transnasional ini di arahkan kepada dua pihak sekaligus; Islam tradisionalis dan Islam modernis. Formula baru yang mereka tawarkan, baik politik maupun paham keagamaan, sematamata di adopsi dari organisasi-organisasi yang menjadi induk mereka. Organisasi-organisasi yang berasal dari Timur Tengah ini menjadi acuan dan rujukan gerakan Islam transnasional ini.
Sependapat maupun tidak, Islam Transnasional sekarang ini sudah mampu memberikan pengaruh kuat khususnya di kalangan anak-anak muda yang berada di kampus-kampus besar di kota besar. Terbukti, banyak mahasiswa yang tertarik mengikutinya.
NKRI Harga Mati
Cucu Hadrtaussyaikh KH. M. Hasyim Asya’ari dalam hal ini, mengajak dan mengilhami masyarakat untuk rendah hati, terus belajar, dan bersikap terbuka agar bisa memahami spiritualitas dan esensi ajaran Islam dan menjadi jiwa-jiwa tenang. Lebih dari itu, sebagai bangsa kita harus sadar bahwa apa yang dilakukan dan di perjuangkan para aktivis garis keras Islam, sebenarnya bertentangan dengan dan mengancam Pancasila dan UUD 1945, dan bisa menghancurkan NKRI. Mereka juga rajin beraksi anarkis, mengobral pengkafiran, pemurtadan, dan pembunuhan karakter lainnya guna memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
Pesantren sebagai basis kaum NU harus mampu menjaga dan mewaspadai dan membentengi diri dari pengaruh sesat ajaran ekstrim yang dibawakan oleh penebar dakwah dari kelompok Islam garis keras. Dalam konteks inilah, Aswaja menjadi penting untuk dipahami, dihayati, dan diamalkan. (MT/Fao)
Daftar Referensi
- KH. Abdurahman Wahid, ed. “Ilusi Negara Islam”, Jakarta 2009
- Yusuf Suharto, “Memahami Gerakan Islam Transnasional di Indonesia dan pengaruhnya”(sebuah makalah, tidak terbit)