tebuireng.co- Jika mengamati perkembangan Islam pada saat ini terutama di Nusantara, bisa dikatakan sangat maju. Entah itu berkembang melampaui batas-batasnya atau berkembang dengan mempertahankan batas-batasnya. Umat Islam saat ini pun semakin kreatif, mereka bisa mengambil kesimpulan hukum atau penyelesaian suatu perkara berdasarkan pemikiran mereka sendiri atau bahkan membuat dalil sendiri. Lalu, yang mana kontribusi yang telah dilakukan dalam perkembangan Islam tersebut?
Berbagai macam politik identitas dipropagandakan oleh sebagian masyarakat. Membawa-bawa nama NU, Muhammadiyah, Wahabi, Salafi atau yang lainnya untuk kepentingan politik. Tidak hanya itu mereka juga mengklaim simbolisasi-simbolisasi agama sebagai milik mereka.
Mereka membangga-banggakan simbol-simbol agama yang jika diteliti secara seksama masih akan menghasilkan banyak makna yang berbeda dalam setiap simbol tersebut. Tetapi karena kita beragama Islam, tidak serta merta dapat mengatakan bahwa simbol-simbol agama tersebut berasal dari negara kelahiran Islam yaitu Arab.
Islam di Indonesia bukanlah Islam Arab, melainkan Islam kultural. Islam yang sesuai dengan budaya lokal karena Islam tersebut telah diterjemahkan menjadi Islam kultural melalui naskah-naskah Islam yang kita temui, misalnya karya Hamzah Fansuri, KH. M. Hasyim Asy’ari, dll. Simbol-simbol agama seperti sarung, bukanlah berasal dari Arab melainkan produk dari agama Hindu yang sudah disesuaikan dengan ajaran Islam di Nusantara. Itulah kiranya beda Islam kultur Indonesia dengan Islam kultur Arab.
Karya-karya Mbah Hasyim sangat berpengaruh terhadap pengajaran Islam di Indonesia. Karena beliau adalah Pendiri Nahdlatul Ulama. Karya beliau dipelajari, terutama oleh para pelajar di madrasah. Sebagai seorang yang terpelajar, terutama sebagai pemuda NU tanpa memandang perbedaan gender, kita harus bisa mengamalkan nilai-nilai yang ada di dalam karya-karya tersebut yang dapat menjadi pedoman kita setelah Al-Quran dan Hadits.
Kita adalah generasi Nahdlatul Ulama yang kreatif, beraliran Aswaja ala Mbah Hasyim. Selain belajar tentang Islam dalam konteks kitab di pesantren, seharusnya kita juga berkontribusi untuk menemukan karya-karya ulama NU lainnya yang selama ini masih belum ditemukan.
Bisa jadi, di dalam kitab-kitab atau karya-karya kuno yang masih misterius keberadaannya tersebut terdapat berjuta rahasia kejayaan Islam. Tidak hanya dengan mempelajari kitab-kitab yang sekarang diajarkan di pesantren, melainkan juga berusaha mendalami karya-karya klasik atau naskah Islam di Nusantara. Salah satu caranya adalah dengan mempelajari ilmu Filologi. Ilmu tentang naskah-naskah lama.
Dengan ilmu tersebut, kita dapat mempelajari lebih dalam lagi naskah-naskah lama yang penting, terutama yang berkaitan dengan naskah Islam di Nusantara. Melihat urgensi naskah Islam di Indonesia, kita akan bisa memetakan saling silang hubungan dunia pernaskahan perkembangan Islam dengan proses Islamisasi di Asia Tenggara dan di Nusantara. Dengan demikian kita dapat mengetahui sejarah masuknya Islam di Indonesia dengan lebih kuat.
Tentunya kita tidak mau disebut sebagai generasi yang asing dengan budaya sendiri. Budaya kita dipelajari oleh orang luar negeri sedangkan kita juga mempelajari budaya mereka dan meninggalkan budaya kita sendiri. Islam yang meninggalkan kebudayaannya terutama kebudayaan lokal akan mendapat pengikut yang sedikit dibandingkan dengan Islam yang tetap mempertahankan budaya lokal dan menyatukannya dengan nilai-nilai Islam seperti yang dilakukan oleh para wali.
Kita sebagai pemuda NU harus bisa memahami keberadaan kita dan harus kreatif. Di mana kita sedang berdiri dan seperti apa lingkungan kita. Di lingkungan kota yang terpengaruh budaya urban atau di lingkungan desa yang masih terpengaruh budaya kejawen/ budaya nenek moyang. Jawaban atas berbagai persoalan di atas adalah ada pada diri kita masing-masing. Mau dibawa ke manakah arah perkembangan Islam terutama di Indonesia. Arus manakah yang akan dilewatinya, atau akankah perkembangan Islam mengalami arus balik?
Indonesia, negara dengan bermacam-macam bahasa, budaya, suku, dan ras yang bersatu dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. “ … Mangkang Jinatwa kalawan Shiwatatwa Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa..” ~Kakawin Sutasoma~
Oleh: Wirdatun Nafi’ah, mahasiswi Universitas Airlangga Jurusan Sastra Indonesia
Baca juga: Meramal Masa Depan Media Islam
Baca juga: Generasi Muda Punya Peran Merubah Politik