Fenomena makan dalam jumlah besar atau lebih dikenal dengan istilah mukbang telah menjadi tren global yang menarik banyak perhatian. Fenomena ini bermula dari negara Korea Selatan dan kini populer di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Tren ini sering kali dipraktikan individu dengan mengonsumsi makanan dalam porsi besar dan bahkan sudah sangat lumrah menjadi konten di media sosial. Lalu, bagaimana fenomena ini jika dilihat dari sudut pandang hadis?
Islam mengajarkan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal makan dan minum. Jika dilihat dari porsi mukbang yang cenderung menyajikan makanan yang banyak untuk dikonsumsi dalam satu kali makan, hal ini termasuk pada israf atau berlebih-lebihan.
Larangan tentang israf utamanya dalam makan dan minum tidak hanya disebutkan dalam hadis tapi juga dalam Al-Quran:
يٰبَنِىۡۤ اٰدَمَ خُذُوۡا زِيۡنَتَكُمۡ عِنۡدَ كُلِّ مَسۡجِدٍ وَّكُلُوۡا وَاشۡرَبُوۡا وَلَا تُسۡرِفُوۡا ۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الۡمُسۡرِفِيۡنَ
Artinya: Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan! Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (QS.Al-A’raf:31)
Maksud dari tidak berlebihan dari ayat ini dijelaskan dalam hadis riwayat Imam Ibnu Majah
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ الْحِمْصِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَتْنِي أُمِّي عَنْ أُمِّهَا أَنَّهَا سَمِعَتْ الْمِقْدَامَ بْنَ مَعْدِ يكَرِبَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ حَسْبُ الْآدَمِيِّ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ غَلَبَتْ الْآدَمِيَّ نَفْسُهُ فَثُلُثٌ لِلطَّعَامِ وَثُلُثٌ لِلشَّرَابِ وَثُلُثٌ لِلنَّفَسِ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Abdul Malik Al Himshi, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Harb, telah menceritakan kepadaku Ibuku dari Ibunya bahwa dia berkata, saya mendengar Al Miqdam bin Ma’dikarib berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah anak Adam memenuhi tempat yang lebih buruk daripada perutnya, ukuran bagi (perut) anak Adam adalah beberapa suapan yang hanya dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika jiwanya menguasai dirinya, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minum dan sepertiga untuk bernafas.” (HR Ibnu Majah)
Imam Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa tingkatan makanan ada tiga: yang pertama adalah tingkatan kebutuhan, yang kedua adalah tingkatan kecukupan, dan yang ketiga adalah tingkatan keutamaan. Rasulullah ﷺ memberitahukan bahwa cukup baginya beberapa suapan yang dapat menegakkan tulang punggungnya, sehingga kekuatannya tidak hilang dan tidak melemah. Jika melebihi itu, maka hendaknya ia makan sepertiga dari perutnya. Ini adalah hal yang paling bermanfaat bagi tubuh dan hati, karena apabila perut penuh dengan makanan, maka akan menyempit untuk minuman. Jika kemudian diberi minuman, maka akan menyempit untuk pernapasan, sehingga ia akan merasakan kesulitan dan kelelahan.
Mukbang, yang identik dengan konsumsi makanan dalam jumlah besar sekaligus, bisa bertentangan dengan prinsip ini jika dilakukan secara berlebihan dan tanpa mempertimbangkan kesehatan.
Selain israf, praktik mukbang juga mengandung sifat keserakahan yang mana hal ini juga dilarang. Dalam Riwayat Imam Ahmad dijelaskan
حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ وَالْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Ubaidullah, telah mengabarkan kepadaku Nafi’ dari Ibnu Umar dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, “Seorang mukmin itu makan dengan satu usus, sedangkan orang kafir makan dengan tujuh usus.”
Menurut Ja’far bin Imran, Hadis ini bermakna metaforik dan mengandung peribahasa yang menunjuk pada karakter sejati seorang mukmin yang tidak rakus terhadap harta dunia dan orang kafir yang suka menumpuk harta dunia. Digambarkan bahwa orang mukmin senantiasa makan hanya untuk memenuhi satu usus, sementara orang kafir yang haus dan serakah akan harta benda digambarkan makan untuk memenuhi tujuh ususnya. Artinya, kata usus dan makan di sini tidak merujuk pada makna hakikatnya.
Dari sisi praktik mukbang yang disajikan sebagai konten media sosial, tak jarang konten mukbang tersebut dilakukan dengan durasi waktu yang singkat. Sehingga membuat pelaku mukbang harus tergesa-gesa dalam menghabiskan makanan dengan porsi yang banyak.
Dalam hadis, Rasulullah menganjurkan untuk menikmati setiap makanan tidak melakukannya dengan tergesa-gesa.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلَاةَ الْمَغْرِبِ وَلَا تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ
Artinya: “Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah ﷺ, “Apabila makan malam sudah dihidangkan, maka makanlah terlebih dahulu sebelum kalian melaksankan salat Magrib. Dan janganlah kalian tergesa-gesa dalam menyelesaikan makan kalian.”(HR. Imam Bukhari)
Tergesa-gesa dalam praktik mukbang juga terlihat ketika pelaku mukbang sering meniup makanan yang masih panas demi menyelesaikan makanannya sesuai durasi waktu yang telah ditentukan.
Dalam hadis, meniup makanan yang masih panas dengan mulut termasuk praktik yang dilarang. Menurut Imam Nawawi, adanya larangan meniup makanan atau minuman yang panas menggunakan mulut yang disebutkan dalam hadis karena dikhawatirkan akan mencemari atau mengotori air minum atau makanan yang jatuh dari mulut atau hidung atau semacamnya.
Dari keterangan-keterangan tersebut, secara singkat, bisa disimpulkan bahwa fenomena mukbang ini bertentangan dengan prinsip keseimbangan dan tata cara yang baik dalam makan dan minum sebaagaimana yang dijelaskan dalam hadis.
Fenomena mukbang ini mencerminkan keserakahan dan dilakukan secara tergesa-gesa sehingga bertentangan dengan sunnah Nabi dalam menikmati makanan dengan tenang. Bahkan, praktik meniup makanan panas yang sering terjadi dalam mukbang juga dilarang dalam Islam karena alasan kebersihan dan kesehatan.
Baca juga: Fenomena Homesick dalam Perspektif Hadis