Penggunaan karmin yang berasal dari serangga Cochineal sebagai pewarna produk makanan ataupun produk lainnya sedang ramai diperbincangkan publik.
Hal tersebut terjadi setelah adanya pernyataan haram yang dikemukakan oleh Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama (LBMNU) atas penggunaan karmin dalam produk makanan atau lainnya karena dianggap najis dan tergolong sebagai bangkai yang menjijikkan.
Hal ini tentu membuat masyarakat khususnya masyarakat nahdliyin harus berhati-hati dan jeli dalam memilih produk agar terhindar dari produk yang mengandung bahan pewarna karmin.
Meski demikian, terdapat perbedaan fatwa yang dikemukakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai penggunaan bahan pewarna karmin yang sudah lama dianggap halal dan boleh dikonsumsi seperti yang disebutkan dalam Fatwa MUI No 33 Tahun 2011 tentang Hukum Pewarna Makanan dan Minuman dari Serangga Cochineal. Hal ini dikarenakan Serangga Cochineal memiliki nilai manfaat dan tidak membahayakan.
Ketua MUI Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Niam Sholeh menjelaskan bahwa pada hakikatnya MUI dan LBM NU memiliki kesamaan perspektif dan pandangan dalam penetapan fatwa keagamaan, khususnya masalah ibadah dan pangan, yakni dengan menggunakan pendekatan ihtiyath atau kehati-hatian, dan sedapat mungkin keluar dari perbedaan fiqih.
Hanya saja menurut KH Niam Sholeh, penetapan hukum menjadi berbeda akibat dari perbedaan tashawwur masalah. MUI menggunakan pendekatan tahqiqul manath (penelitian empirik) dengan memeriksa detil jenis hewan yang digunakan sebagai pewarna tersebut, mengingat jenis serangga itu sangat beragam. Bahkan, untuk mendapatkan keterangan yang lebih akurat, MUI juga mengundang khusus ahli entomologi dari Departemen Proteksi Tanaman dan ahli bioinsektisida yang disertasinya khusus meneliti permasalahan ini di Cardiff University Inggris.
Bahwa secara kajian Biologi, Cochineal ini digolongkan sebagai serangga karena termasuk kelas insecta, dengan genus Dactylopius, ordo Hemiptera dan species Dactylopius coccus. Serangga tersebut biasanya hidup di pohon kaktus sehingga selama hidupnya bisa memperoleh nutrisi dari tanaman, bukan dari bahan yang kotor. Jenis serangga tersebut mempunyai banyak persamaan dengan belalang, termasuk darahnya yang tidak mengalir.
KH. Niam Sholeh juga menegaskan bahwa dalam proses penetapan fatwa mengenai kehalalan karmin tersebut telah dilakukan lebih dari enam kali diskusi dalam forum yang menghadirkan tokoh-tokoh ahli di bidangnya untuk dijadikan pertimbangan penetapan hukum yang pada akhirnya memperoleh kesimpulan bahwa dalam sisi manfaatnya, Cochineal memiliki beberapa manfaat seperti memungkinkan penggunaan pewarna alami dengan kualitas yang baik.
Sedangkan dalam sisi hukumnya, Cochineal ini tergolong serangga yang memiliki kemiripan dengan belalang atau al-jarad. Yang mana dalam konteks fiqih Islam, belalang sekalipun masuk dalam hasyarat, tapi memiliki kekhususan tersendiri, karena ada hadis yang menyatakan kehalalan bangkainya.
Dengan berbagai proses dan pertimbangan tersebut, keluarlah fatwa halal dalam menggunakan karmin yang berasal dari serangga Cochineal. Meski begitu, Ketua MUI Bidang Fatwa tersebut juga mengatakan bahwa pihaknya tetap menghargai hasil pembahasan dari LBMNU dalam menetapkan keharaman hukum karmin yang biasa digunakan sebagai pewarna merah cerah dalam suatu produk.
Baca juga: LBMNU Jatim Tegaskan Karmin E-120 sebagai Pewarna Najis