tebuireng.co – Hidup pada era digital saai ini pemikiran seseorang pasti tidak jauh dari seputar gadget, game, internet dan sosial media. Anak- anak yang tumbuh di era digital akan lebih mengenal internet.
Tak jarang, setelah lelah main game, generasi muda mencari hiburan lewat situs pornografi yang bisa diakses di mana saja.
Era ini keberadaan internet memberikan kontribusi yang besar karena membantu anak-anak mendapatkan sebuah informasi yang menunjang kebutuhan belajar, terlebih pada masa pandemi seperti saat ini yang mana proses belajar mengajarnya dilakukan secara daring.
Bisa dikatakan bahwa anak-anak saat ini lebih pandai menggunakan gadget dibanding orang tua, tetapi dengan usia yang masih tergolong muda dan memiliki pemikiran yang labil, anak-anak cenderung belum bisa memilih dengan baik informasi yang masuk dan mereka terima.
Sehingga memungkinkan jika anak-anak bisa terpapar informasi negatif yang mereka terima dari internet.
Keberadaan informasi negatif ini sangat beragam bentuknya sehingga dapat memengaruhi anak-anak seperti konten-konten yang mengandung pornografi yang biasa ditemui pada sebuah situs.
Informasi negatif yang terus menerus dikonsumsi oleh anak akan memberikan dampak buruk bagi perkembangan pikiran dan sifat anak itu sendiri.
Berdasarkan data dari ICT Watch terdapat klasifikasi resiko anak dari pengaruh negatif internet, di antaranya bisa mengalami gangguan mental, menjadi pelaku atau korban bullying, terbiasa dengan ujaran kebencian maupun kekerasan, dan terbiasa dengan konten pornografi.
Selain dampak tersebut masih ada dampak negative lainnya, yaitu menjadi pribadi yang individualis, kurang peka dengan keadaan sekitar dan kehilangan minat bersosialisasi dengan orang lain.
Beberapa waktu yang lalu media masa dihebohkan dengan ditemukannya grup chat anak sekolah dasar yang membahas konten dewasa, saling berbagi gambar yang tidak senonoh.
Di antaranya ada yang berhubungan sesama jenis, hal ini tentunya amat disayangkan terjadi pada usia yang semestinya mereka belajar dan bermain.
Perlu disadari bahwa tentang pendidikan terhadap anak, orang tua tidak bisa menyerahkan sepenuhnya kepada guru di sekolah. Era digital memberikan kesempatan kepada anak untuk membuka situs porno secara diam-diam.
Namun, perlu juga perhatian dan bimbingan langsung dari orang tua, kejadian tersebut terjadi diakibatkan kurangnya bimbingan dan pengawasan orang tua dan masih menganggap tabu mengenai sex education, sehingga anak jadi penasaran dan mencari sendiri melalui internet.
Sex education mestinya harus diberikan kepada anak sejak dini oleh orang tua, karena mereka memiliki peran yang sentral dalam memastikan anak memiliki pemahaman yang cukup tentang seksual dan kesehatan.
Baca Juga: Memanfaatkan Internet untuk belajar
Di Indonesia sendiri sex education terhadap anak masih merupakan hal yang tabu, meskipun demikian nyatanya perilaku seks anak di bawah umur sangat memprihatinkan.
Terlebih karena kemajuan teknologi dan kurangnya pengawasan dari orang tua membuat anak mengakses konten yang berbau seksual dari internet maupun sumber lainya.
Kondisi ini membuat anak rawan memperoleh informasi yang salah atau bahkan menyesatkan seputar topik seks. Selain itu, anak juga jadi rentan mengalami kekerasan dan pelecehan seksual apabila tidak dibekali dengan pengetahuan yang memadai.
Karena kurangnya kesadaran dalam sex education, kasus pornografi dan pelecehan seksual terhadap anak masih sering muncul dalam berita ataupun media masa.
Era digital memang membuat anak terinspirasi meniru apa yang dilihat melalui video yang ada di handphone.
Survey dari Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementrian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan bahwa sekitar 62,7% remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks di luar nikah.
Lebih miris, 20% dari 94.270 perempuan yang mengalami hamil di luar nikah masih berusia remaja, dan 21% di antaranya pernah melakukan aborsi.
Tidak hanya resiko kehamilan di luar nikah, survey tersebut juga mengungkap fakta kasus infeksi HIV yang dipantau dalam rentang 3 bulan terjadi sebanyak 10.203 kasus, dan 30% penderitanya berusia remaja.
Fenomena ini terjadi akibat kemudahan akses bagi para remaja untuk mendapatkan konten pornografi tanpa dibekali sex education pada anak sejak dini. Di sinilah peran orangtua dalam mendidik anak.
Karena dianggap tabu sebagian orang tua salah mengartikan mengenai pentingnya sex education dengan mengartikan bahwa sex education merupakan mengajarkan anak untuk berhubungan seksual.
Pemikiran ini adalah pemahaman yang salah. Konteksnya tentu bukan seperti itu, melainkan upaya pengajaran, penyadaran dan pemberian informasi tentang fungsi dari organ reproduksi dan tubuhnya serta bahaya dari penyakit menular seksual.
Sex education menanamkan nilai moral, etika, komitmen dan nilai agama maupun konsekuensi dari perbuatannya jika melakukan penyalahgunaan dari hal seksual tersebut.
Namun, orang tua terkadang masih ragu dalam memberikan sex education kepada anak, padahal masalah ini krusial dan sensitif.
Anak memiliki rasa keingintahuan yang sangat besar mengenai suatu hal, tanpa adanya sex education berakibal fatal dan anak mencari tahu, beresplorasi dengan seksualitasnya sendiri.
Tanpa pengetahuan dari orang tua, anak mengambil keputusan yang tidak bijaksana, apalagi dalam usia pubertas mengalami banyak sekali perubahan fisik maupun psikis akibat bergejolaknya homon.
Rasa keingintahuan yang sangat kuat terkadang membuat anak bertanya dari mana ia dilahirkan ataupun pertanyaan seputar seksual maupun tentang organ reproduksi lainnya.
Orang tua harus memberikan jawaban yang benar kemudian memberikan bimbingan yang tepat, ironisnya orang tua terkadang marah jika anak bertanya soal seks atau hal yang dianggap tabu, tindakan ini merupakan hal yang tidak tepat karena dapat menimbulkan kesalahan persepsi pemikiran anak mengenai seks.
Sex education harusnya sebagai bekal utama pendidikan kehidupan dalam keluarga, agar anak tidak terjerumus dalam perilaku seksual yang berbahaya.
Orang tua sangat berperan dalam membimbing anak untuk mengatahui organ reproduksi serta penanaman nilai agama norma sosial dan etika.
Untuk itu, orang tua perlu untuk berdiskusi kepada anak dengan pemikiran yang terbuka sehingga anak nyaman untuk mengutarakan pertanyaan dan pemikiran kepada orang tua, terutama ibu.
Baiq Solatiah (Departemen Logistik KOHATI HMI Cabang Mataram)