• Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik
Tebuireng Initiatives
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
Tebuireng Initiatives
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
Tebuireng Initiatives

Enggan Haji Padahal Mampu, Ini Pendapat Para Ulama

Syarif Abdurrahman by Syarif Abdurrahman
2025-05-11
in Fiqih, Keislaman
0
Enggan Haji Padahal Mampu, Ini Pendapat Para Ulama. (Ist)

Enggan Haji Padahal Mampu, Ini Pendapat Para Ulama. (Ist)

Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Haji merupakan rukun IsIam yang sangat dianjurkan dilakukan oleh umat Islam yang mampu. Kementerian Agama dalam buku Tuntunan Manasik Haji dan Umrah menjelaskan kemampuan haji (istitha’ah) juga berkaitan dengan kesehatan fisik dan juga mental. (Kementerian Agama RI, Tuntunan Manasik Haji dan Umrah, halaman 5).

Namun, terkadang kita tidak dapat menafikan boleh jadi ada individu-individu dari kalangan muslim yang tidak begitu menginginkan haji dengan beragam alasan meskipun dirinya mampu.

Ketiadaan kehendak ini bukan semata-mata karena tertahan oleh sesuatu, tetapi memang dirinya tidak menginginkan pergi menunaikan kewajiban haji.

Bahkan tak jarang, untuk mendorong agar mau haji, seseorang menyampaikan sebuah hadis yang menjelaskan apabila seorang muslim dinilai telah mencapai istitha’ah atau kemampuan haji, tapi dalam seumur hidupnya tidak ada keinginan untuk berhaji maka dirinya boleh jadi wafat dalam agama Yahudi atau Nasrani. Berikut hadisnya:

مَنْ لَمْ يَمْنَعْهُ عَنْ الْحَجِّ حَاجَةٌ ظَاهِرَةٌ أَوْ سُلْطَانٌ جَائِرٌ أَوْ مَرَضٌ حَابِسٌ فَمَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ فَلْيَمُتْ إِنْ شَاءَ يَهُودِيًّا وَإِنْ شَاءَ نَصْرَانِيًّا

Artinya, “Siapa pun tidak terhalang untuk melakukan haji oleh suatu hajat yang jelas atau oleh penguasa yang lalim atau penyakit yang menahannya, kemudian ia meninggal dan belum melakukan haji, bisa jadi ia meninggal dalam keadaan sebagai Yahudi atau sebagai Nasrani.” (HR Ad-Darimi dan Al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kabir).

Ketika seseorang yang tidak mau berhaji meskipun ada biaya dan mampu maka memiliki dampak hukum beberapa kategori. Karena haji memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an yaitu surat Ali Imran ayat 97.

Para fuqaha tetap memandang orang yang mampu melaksanakan haji, tapi enggan, maka terkena dosa karena tidak menunaikan rukun Islam yang kelima.

Selanjutnya, jika seseorang tidak haji karena mengingkari rukun Islam yang kelima, semisal tidak meyakini kewajiban haji, menganggap haji tidak memiliki status hukum apabila dilaksanakan atau ditinggalkan, maka dia bukanlah seorang muslim.

Namun, terkait hadis seseorang yang tidak haji padahal mampu, maka akan mati dalam keadaan Yahudi atau Nasroni masih diperdebatkan karena status hadits yang diragukan.

Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi menjelaskan bahwa ada dua orang perawi yang dinilai dha’if di kalangan kritikus hadis. Pertama, Laits merupakan perawi yang dha’if, sedangkan yang kedua adalah Syarik, dia merupakan perawi yang buruk hafalannya dan kerap menyelisihi Sufyan ats-Tsauri.

Di sisi lain, Asy-Syawkani dalam Naylul Awthar juga membahas hadis di atas dengan paparan yang cukup detail dalam bab “Melaksanakan Haji Tanpa Menunda-nunda”. Ia melampirkan hadis lain dengan lafaz yang berbeda dari Sunan at-Tirmidzi, yaitu:

عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَلَكَ زَادًا وَرَاحِلَةً تُبَلِّغُهُ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ وَلَمْ يَحُجَّ فَلَا عَلَيْهِ أَنْ يَمُوتَ يَهُودِيًّا أَوْ نَصْرَانِيًّا وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ فِي كِتَابِهِ { وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا }

Artinya, “Diriwayatkan dari ‘Ali, ia berkata, ‘Rasulullah saw bersabda, ‘Siapa pun yang memiliki bekal dan kendaraan yang cukup untuk dijadikan bekal ke Baitullah, tapi dia tidak pergi haji, aku tidak peduli jika dia mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani. Karena Allah berfirman dalam kitab-Nya: ‘Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah’.” (HR at-Tirmidzi).

Dalam riwayat lanjutan, At-Tirmidzi mengonfirmasi kualitas sanad hadis yang diriwayatkannya, “Hadis ini merupakan hadis gharib yang tidak kami ketahui kecuali melalui sanad ini, bahkan pada sanadnya terdapat cacat. Hilal bin Abdullah majhul dan Harits seorang yang didha’ifkan dalam haditsnya.” Demikianlah ungkap asy-Syaukani. (Asy-Syaukani, Naylul Awthar, [Mesir: Darul Hadits, 1993], jilid IV, hal. 337).

Al-Baihaqi sendiri mengomentari bahwa sanad hadis tersebut tidaklah kuat, hanya saja hadis tersebut memiliki riwayat pendukung dari perkataan ‘Umar. Artinya riwayat pendukung tersebut bukan berasal dari hadis nabi, tapi perkataan sahabat. (Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kabir, [Kairo, Markaz Hijr: 2011], jilid IX, halaman 227).

Terkait dengan perkataan ‘Umar yang dimaksud oleh al-Baihaqi, Ibnu Hajar al-‘Asqalani melampirkan perkataan ‘Umar yang memiliki sanad yang shahih dibandingkan hadis di atas, yaitu:

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنَّ أَبْعَثَ رِجَالًا إِلَى هَذِهِ الْأَمْصَارِ فَيَنْظُرُوا كُلَّ مَنْ كَانَ لَهُ جَدَّةٌ فَلَمْ يَحُجَّ، فَيَضْرِبُوا عَلَيْهِمُ الْجِزْيَةَ مَا هُمْ بمسلمين، ما هم بمسلمين

Artinya, “Saya bertekad untuk mengutus beberapa orang ke berbagai penjuru negeri ini, untuk memeriksa siapa diantara mereka yang memiliki harta, tapi dia tidak berhaji, kemudian mereka diwajibkan membayar fidyah. Mereka bukan bagian dari kaum muslimin! mereka bukan bagian dari kaum muslimin!” (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Talkhishul Habir, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989], jilid II, hal. 488).

Adapun terkait dengan substansi hadis tersebut, Al-Baihaqi mengomentari, boleh jadi yang dimaksud dari hadis di atas adalah seseorang yang tidak melaksanakan haji, seraya meyakini bahwa haji tidak memiliki implikasi apapun. Yakni, jika ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan jika dilaksanakan tidak mendapat pahala. (Al-Baihaqi, Syu’abul Iman, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1410], jilid III, hal. 430).

Dengan demikian, penjelasan Al-Baihaqi merujuk pada segelintir orang yang tidak meyakini kewajiban haji sebagai rukun Islam kelima. Sehingga penyerupaan dengan Yahudi maupun Nasrani merujuk kepada ketiadaan pengakuan terhadap pilar Islam yang kelima.

Syekh Sulaiman Bujairimi dalam kitab Bujairimi ‘alal Khatib, jilid III halaman 179-180 terbitan Beirut, percetakan Darul Kutub Al-Ilmiyyah tahun 1996 menjelaskan bahwa haji berhukum wajib bagi seorang muslim yang mampu melakukannya minimal sekali seumur hidup.

Berbeda kasus dengan orang yang mampu melaksanakan haji, kemudian bertekad melaksanakannya, tapi ternyata maut menjemputnya, maka harus ada orang yang menjadi badal haji baginya.

Namun, apakah ia wafat dalam keadaan berdosa atau tidak, maka para ulama terbagi kepada 3 pendapat sebagaimana dipaparkan dalam al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab, sebagaimana berikut:

Pendapat yang paling sahih yang dipegang oleh mayoritas ulama Irak, dan dikutip oleh al-Qadhi Abu Tayyib dan lainnya sebagai kesepakatan, adalah bahwa dia mati dalam keadaan berdosa.

Pendapat kedua menyatakan bahwa dia tidak berdosa karena ulama Syafi’iyyah telah memutuskan bahwa penundaan itu diperbolehkan.

Pendapat ketiga menyatakan bahwa apabila dia sudah tua, maka berdosa, sedangkan jika masih muda maka tidak. Alasannya, karena orang tua dianggap telah lalai padahal potensi mereka mendekati wafat lebih dekat.

Al-Muthi’i dalam kasus ini lebih condong kepada pendapat bahwa dirinya tetap terkena dosa karena menyia-nyiakan haji dengan sengaja, hingga akhirnya ajal menjemput.

Penulis: Syarif Abdurrahman

Editor: Thowiroh

Baca juga: Badal Haji bagi Orang yang Masih Hidup, Bolehkah?

Previous Post

Benarkah Emas Bertahan di Situasi Apapun?

Next Post

Masih Relevankah Mengikuti Organisasi?

Syarif Abdurrahman

Syarif Abdurrahman

Santri Pondok Pesantren Tebuireng.

Next Post
Masih relevankah mengikuti Organisasi ? (Ist)

Masih Relevankah Mengikuti Organisasi?

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Kemenhaj Resmi Rilis Desain Batik Baru untuk Penyelenggaraan Haji 2026
  • Berdakwah Ala Jek: Penuh Humor tapi Teguh Syariat
  • Hati-Hati Bahaya Maghrur, Tertipu Oleh Kebaikan Diri Sendiri
  • Manusia dalam Pancasila: Makhluk Monoplural yang Menyatu dalam Keberagaman
  • Menjadi Mandiri: Seni Berdiri di Atas Kaki Sendiri

Komentar Terbaru

  • Yayat.hendrayana pada Surat Yasin dan Amalan Segala Hajat
  • Universitas Islam Sultan Agung pada Pentingnya Bahtsul Masail sebagai Ruh Pesantren
  • Thowiroh pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Dodi Sobari pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Tri Setyowati pada Ijazah Wirid dari Kiai Abdul Wahab Hasbullah
  • About
  • Kontak
  • Privacy & Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Media

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng

No Result
View All Result
  • Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng