tebuireng.co – Dua pendekar mazhab Syafi’i yaitu Imam Ibnu Hajar dan Imam Romli memberikan sumbangsih cukup signifikan dalam perkembangan khazanah ilmu fikih.
Dalam khazanah fikih, mazhab Syafi’i mengalami masa perkembangan yang pesat, dimulai dari era Imam Syafi’i, seorang mujtahid mustaqil yang pertama meletakan dasar rumusan fikih dalam mazhab Syafi’i yang semua tertuang dalam kitab al-Um yang di tuliskan oleh murid-muridnya, di antaranya Imam Muzani.
Mazhab Syafi’i dilestarikan oleh murid-muridnya yang dikenal dengan ashab syafi’i sampai datang dua ulama tarjih yang menyeleksi pendapat-pendapat dalam mazhab yang kuat dan lemah.
Keduanya ialah al-Syaikhan Imam Nawawi (631-676 H) dan Imam Rafii (555-623 H). Jika Imam Nawawi dan Imam Rafii dikenal sebagai ulama tahrir mazhab Syafi’i fase pertama, maka Imam Ibnu Hajar dan Imam Romli adalah ulama tahrir fase kedua
Walaupun al-Syaikhan dikenal dengan jasa mereka dalam mentarjih pendapat-pendapat dalam mazhab Syafi’i, tapi masih terdapat celah yang belum disempurnakan.
Sehingga lebih dari tiga abad lamanya belum ada ulama mazhab Syafi’i yang dinilai mampu menyelesaikan pekerjaan al-Syaikhan sampai muncul dua pendekar mazhab Syafi’i yaitu Imam Ibnu Hajar al-Haitami dan Imam Syamsudin al-Romli.
Kedua tokoh ini mampu menyempurnakan celah yang ditinggal oleh Imam Nawawi dan Imam Rafii. Berikut ini biodata ringkas keduanya:
Imam Ibnu Hajar
Imam Ibnu Hajar bernama lengkap al-Imam al-Alamah Syihabudin Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Hajar al-Haitami al-Sa’di al-Anshori.
Ibnu Hajar lahir di Mesir pada akhir tahun 909 H, masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu di al-Azhar, di antara gurunya adalah al-Imam Abu Hasan Bakri, Zakaria al-Anshori, Syihab Al-Romli (ayah Imam Romli Shoghir) dan beberapa ulama lain di zamannya.
Dengan kecerdasan dan ketekunannya, saat umur Imam Ibnu Hajar belum menyampai 20 tahun, ia sudah diperbolehkan untuk memberikan fatwa, mengajar, menyusun kitab. Di antara kitab karangannya adalah Tuhfatul Muhtaj syarah Minhaj dan al-Imdad syarah al-Irsyad.
Pada umur 40 tahun, Imam Ibnu Hajar menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya, kemudian memutuskan untuk menetap di Mekkah serta mengajar dan memberi fatwa hingga wafat pada hari Senin 23 Rajab 946 H.
Imam al-Romli
Imam al- Romli bernama lengkap al-Imam al-Alamah Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Hamzah al-Romli al-Misri. Ia lahir di Mesir pada bulan Jumadil Ula tahun 919 H.
Dalam pengembaraan ilmu, ia langsung dididik oleh sang ayah yang memang dikenal alim ulama pada zamannya, juga belajar kepada Zakaria al-Anshori dan Imam Burhanudin. Karena kecerdasannya, ia dijuluki Syafi’i Shoghir (Syafii kecil).
Setelah wafat ayahnya, Imam Romli menggantikan posisi sang ayah mengajar di masjid al-Azhar dan halaqoh ilmu lainya. Salah satu karya Imam Romli adalah Nihayatul Muhtaj Syarah Minhaj.
Karya ini menjadikannya disejajarkan dengan Imam Hajar al-Haitami. Imam Romli meninggal pada hari Ahad tangal 13 Jumadil Ula tahun 1004 dan dimakamkan di Mesir.
Dua Pendekar Mazhab Syafi’i Rujukan ahlu balad
Ulama di daerah Hadhromaut, Syam, Hijaz dan beberapa ulama Yaman dan banyak negara lainya lebih mendahulukan pendapat Ibnu Hajar dari pendapatnya Imam ar-Romli.
Sedangkan ulama di Mesir dan sebagian ulama Yaman lain mendahulukan Imam ar-Romli, bahkan mashur ulama Mesir sepakat tidak akan berfatwa dengan menyalahi fatwa Imam ar-Romli.
Imam Sya’rani ketika menceritakan riwayat Imam Syihabuddin Ramli menerangkan “Allah taala menjadikan para Fuqoha` tetap pada pendapat beliau (Syihab Ramli) baik di Timur dan Barat, di Mesir, Syam dan Hijaz, mereka tidak menyalahi pendapat Imam Syihab Ramli”.
Imam Sulaiman Kurdi menyebutkan:
“Kemungkinan hal ini terjadi sebelum muncul Imam Ibnu Hajar al-Haitami, manakala muncul Imam Ibnu Hajar al-Haitami, para ulama Negeri Syam dan Hijaz tidak menyalahi pendapat Imam Ibnu Hajar”.
Diceritakan Syekh Ali Syabramalisi, ulama Mesir yang memberi hasyiah pada kitab Nihayah Muhtaj karangan Imam Ramli, pada mulanya ia lebih menekuni kitab Tuhfah Imam Ibnu Hajar al-Haitami.
Hingga pada satu malam ia bermimpi bertemu dengan Imam Ramli, beliau berkata:
“Hidupkanlah kalamku ya Ali, Allah akan menghidupkan hatimu“.
Semenjak mimpi itu, Imam Ali Syibramalisi menekuni kitab Nihayah Muhtaj sehingga sampai menulis hasyiah atas kitab Nihayah Muhtaj yang terkenal sampai saat ini.
Imam Qalyubi yang juga ulama Mesir (yang memberi hasyiah terhadap kitab Syarh al-Mahalli `ala Minhaj Thalibin) pada beberapa tempat juga lebih mengunggulkan pendapat Imam Ibnu Hajar al-Haitami.
Salah satu alasan lain ulama Mesir lebih mendahulukan kitab Nihayah dari Tuhfah karena kitab Nihayah ini dikarang oleh Imam ar-Romli selama kurang lebih sepuluh tahun dan hanya menulis pada hari Jumat saja.
Sedang kitab Tuhfah Ibnu Hajar selesai dikarang dalam kurun waktu sepuluh bulan. Mungkin dengan waktu yang panjang dalam menyusun kitab dan dibutuhkan kehati-hatian dan mengkaji secara terperinci membuat kitab Nihayah di kalangan Ulama Mesir lebih didahulukan.
Namun, dalam fikih mazhab Syafi’i kesepakatan Imam Ibnu Hajar dan Imam al-Romli menempati derajat kedudukan kuat, Syekh Said Sunbul al-Makki berkata:
“Tidak boleh bagi seorang mufti berfatwa dengan pendapat yang menyalahi pendapat Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli terutama kitab Tuhfah dan Nihayah walaupun sesuai dengan pendapat keduanya dalam kitab yang lain”.
Beliau mengatakan “sebagian para ulama dari daerah Zamazimah telah memeriksa kalam kitab Tuhfah dan Nihayah, maka beliau mendapati kedua kitab tersebut merupakan sandaran dan pilihan mazhab Syafi’i”.
Terlepas dari perbedaan tersebut, nyatanya pemikiran dua pendekar Mazhab Syafi’i ini dalam fikih berkembang baik dan selalu menjadi rujukan keilmuan fikih pesantren di Indonesia.
Di antara kitab yang dikaji di banyak pesantren dengan corak pemikiran Ibnu Hajar adalah kitab Fathul Muin karya Syekh al-Malibari juga kitab Hasyiah al-Bajuri yang banyak menuqil pendapat Imam al-Romli.
Oleh: Badar Alam Najib