tebuireng.co – Diskriminasi perempuan masih terjadi di beberapa belahan dunia, termasuk negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ini sangat kontras dengan ajaran Islam yang memuliakan perempuan.
Pertanyaan mendasar yang sering diajukan terkait dengan isu diskriminasi perempuan yaitu apakah agama mengafirmasi relasi laki-laki dan perempuan sebagai relasi yang setara dan sejajar menyangkut hak-hak sosial, ekonomi, budaya, politik, dan sebagainya?
Dalam versi lain, pertanyaan ini dapat dikembangkan menjadi, apakah kaum perempuan, dalam pandangan agama, khususnya Islam, memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan dan kedudukan yang sama dan adil dengan kaum laki-laki?
Kesetaraan itu, baik dalam domain privat (domestik) maupun publik, misalnya menentukan pilihan pasangan hidup, menjadi kepala keluarga atau menjadi kepala negara/pemerintahan dan pengambil kebijakan publik lainnya, mendapatkan akses pendidikan dan upah yang sama dengan laki-laki, dan seterusnya?
Pertanyaan paling sentral barangkali ialah mengapa harus perempuan yang menjadi sasaran kekerasan?
Literasi Islam yang begitu luas merekam, diskriminasi dalam jenis apapun tidak dapat dibenarkan, terkhusus untuk perempuan. Kekerasan, penganiayaan, penghinaan, pelecehan, dan sejenisnya yang dilakukan manusia terhadap manusia lain, apapun jenis kelamin, agama, etnis, warna kulit, atau lainnya, merupakan tindakan-tindakan yang tidak dapat dibenarkan oleh agama.
Bahkan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Mengenai penghinaan, hal yang barangkali dipandang lebih ringan daripada kekerasan, juga sangat dilarang oleh Islam.
Islam menentang keras perlakuan diskriminatif terhadap perempuan ini dapat dilihat di Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 11 yang berbunyi, ”Laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama (sederajat). Kemuliaan laki-laki dan perempuan tidak dinilai dari kekuasaan atau tinggi rendahnya jabatan yang disandang, melainkan karena kemuliaannya. Inna akramakum ‘indallahi Atqakum.”
Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, Islam menempatkan perempuan pada posisi yang sangat terhormat. Laki-laki atau perempuan memiliki kedudukan yang sama dihadapan Allah. Dan dalam hal tertentu, perempuan memiliki kelebihan yang tidak didapatkan seorang pria.
Dalam berbagai sabdanya, Rasulullah SAW menyatakan, orang yang paling berhak untuk dihormati adalah ibu, ibu dan ibu. Selanjutnya barulah bapak. Penegasan Rasullah SAW terhadap ibu sampai tiga kali tersebut, menunjukkan bahwa seorang wanita (ibu) memiliki kemuliaan yang lebih. Sebab, perempuan mengandung (hamil), melahirkan, menyusui dan mengasuh anaknya.
Penghormatan Nabi Muhammad kepada perempuan juga bisa dilihat dari cara Nabi memperlakukan putrinya Fatimah dengan istimewa. Nabi berdiri saat Fatimah datang dan berpamitan ketika hendak keluar daerah.
Penghormatan Nabi Muhammad kepada perempuan diberbagai hadis seakan hilang karena Nabi berpoligami. Banyak yang lupa bahwa selama menikah dengan Khadijah, Nabi tidak melakukan poligami.
Nabi Muhammad juga memerintahkan para sahabatnya untuk memperlakukan perempuan dengan baik. Perintah ini terekam dalam hadis-hadis yang berjumlah cukup banyak. Cara Nabi Muhammad menghilangkan diskriminasi perempuan juga terlihat dari cara memperlakukan Aisyah. Perempuan cerdas dan perawi hadis dari perempuan yang paling banyak.
Cara Nabi Muhammad memperlakukan perempuan selayaknya ditiru oleh umat Islam untuk mengakhiri diskriminasi perempuan. Jika tokoh utamanya memperlakukan perempuan dengan terhormat, bukan kah umatnya harus mengikuti dan mengakhiri diskriminasi perempuan?
Salah satu tokoh agama yang mengikuti cara Nabi Muhammad memperlakukan perempuan dengan terhormat adalah KH Husein Muhammad. Tokoh asal Cirebon ini begitu getol mengajak masyarakat mengakhiri diskriminasi perempuan.
KH Husein Muhammad adalah salah satu dari sedikit ulama laki-laki yang banyak mencetuskan pemikiran-pemikiran kritis berbasis teks agama dan kitab-kitab kuning sebagai upayanya membela hak-hak perempuan dan membedah pemapanan relasi timpang. Buya Husein menentang keras diskriminasi perempuan.
Sebagai bentuk totalitas membela perempuan, Kiai Husein menulis buku membela hak perempuan dengan judul “Fiqh Perempuan.” Buku ini sempat pernah diterbitkan oleh penerbit LKiS pada tahun 2001.
Dalam pengantarnya, Kiai Husein menulis, “Saya tidak pernah menduga bahwa buku ini mendapatkan respons yang menggembirakan dari masyarakat, terutama dari orang-orang yang aktif dalam kajian kajian feminisme. Buku ini juga, sesuai dengan informasi yang saya terima, menjadi sumber belajar di sejumlah perguruan tinggi dan Universitas Islam. Sampai hari ini, masih banyak orang yang konon memerlukannya. Atas dasar informasi ini, saya mencoba menawarkan penerbitan ulang buku ini melalui penerbit lain.”
Dari sini kita bisa menilai betapa urgennya pembahasan yang dibawakan oleh Kiai Husein, terhadap masalah-masalah sosial perempuan yang ada di permukaan bumi terlebih lebih dalam urusan gender.
Ada sedikit penambahan dalam edisi cetakan kedua, Kiai Husein menambah tulisan tentang “Perempuan di Pesantren”. Artikel tersebut ditulis berdasarkan pengalaman Kiai Husein saat mengaji di pesantren. Ia menulis artikel tersebut, sejak keterlibatannya yang secara aktif bergerak di gerakan advokasi hak-hak perempuan di Indonesia.
Dalam beberapa tahun belakangan, perbincangan di sekitar hak-hak perempuan terus bergulir di berbagai forum nasional maupun internasional. Perbincangan tersebut mengarah pada soal keadilan relasi laki-laki dengan perempuan dalam berbagai dimensi kehidupan.
Hal ini karena perempuan sering kali diperlakukan secara diskriminatif dengan dalih perbedaan gender. Bahkan, yang lebih mencengangkan sekaligus menarik ialah manakala diketahui bahwa “agama” ternyata ikut terlibat dalam diskursus diskriminatif berbasis gender tersebut.
Dari permasalahan di atas, tokoh masyarakat harus bisa menjawab permasalahan diskriminasi perempuan, dengan adanya jawaban tersebut maka bisa mengatasi keresahan masyarakat, khususnya bagi kaum perempuan di Indonesia.
Dengan mengangkat dari berbagai perspektif atau sudut pandang, Kiai Husein memiliki penjelasan yang sangat luwes, kompleks, dan sangat bisa diterima untuk berbagai kalangan terhadap permasalahan di atas.
Kiranya buku ini bisa menjadi perluasan khazanah Islam dalam perspektifnya terhadap perempuan, terutama bagi mereka yang masih memandang sebelah mata.
Dalil-dalil Islam yang disalahgunakan untuk menyudutkan perempuan perlu dimaknai kembali sehingga taraf kehidupan perempuan lebih baik dari segi hak maupun kewajiban. Lebih lagi, buku ini tidak dapat dilewatkan oleh aktivis gender, feminis, maupun pendukung kesetaran hak.
Farhan Ali Ishaqi/Hilmi/Abdurrahman