Hubungan dagang antara dua raksasa ekonomi dunia, China dan Amerika Serikat, semakin memanas dalam beberapa tahun terakhir. Keduanya berambisi dalam perebutan pengaruh global, dominasi teknologi, dan kepemimpinan ekonomi abad ke-21.
Bermula dari pemerintah Amerika Serikat yang memberikan tarif impor terhadap negara China hingga sebesar 245% lantaran beberapa konflik dagang antara negara tersebut. Ketidakadilan pemberian tarif dagang yang diberikan Presiden trump yang umumnya hanya sebesar 10%. Kepada seluruh negara. namun berbeda dengan negara China.
Dampak dari perang tarif ini mengubah sistem manufaktur, biaya logistik dan distribusi akan menjadi lebih mahal. Dorongan ini juga terdapat biaya tambahan dan ketidakpastian pelaku bisnis dan minat konsumen.
Menurut Dubes China, keputusan yang diambil pemerintah Donald Trump menjadi salah satu pelanggaran besar terhadap prinsip organisasi perdagangan dunia (WTO) dan Presiden Trump dianggap menjatuhkan kepercayaan terhadap sistem perdagangan multilateral terhadap sistem perdagangan multilateral berbasis peraturan yang disepakati komunitas internasional.
Di tengah gejolak perekonomian negara tersebut, sebuah produsen asal China melalui akun TikTok @wangsen9998 mengungkapkan betapa murahnya biaya untuk membuat barang mewah salah satunya merk Hermes.
Ia mengungkapkan lebih 80% tas tas branded dunia diproduksi di China dengan kelengkapan 90%. Kemudian tas tas tersebut dikembalikan ke negara asalnya dengan pemberian logo di dalam tas tersebut.
Hal ini tak hanya brand tas, tetapi brand kosmetik high end and luxury juga bekerja sama untuk memproduksi make up dan skincare di China.
Bukan menjadi rahasia umum, faktanya negara china memang menjadi manufaktur terbesar, apalagi dengan biaya tenaga kerja termurah, dan sistem yang sudah bagus untuk membuat produsen di negara tersebut. Pihak brand hanya memberikan sentuhan terakhir dan seolah produk tersebut diproduksi di negaranya.
Selain barang mewah yang banyak diproduksi di China, Pemerintah Amerika juga membuat kebijakan pembatasan ekspor chip kecerdasan buatan (artificial intelligence) AI ke China. Penerapan ini juga upaya dari memperketat aturan ekspor semikonduktor ke luar negeri.
Adanya kebijakan ini perusahaan Nvidia mencatat potensi kerugian dari stok chip sedangkan untuk negara China dengan pembatasan chip tersebut memperlambat kemajuan China di bidang Artificial Intelligence.
Upaya China akan independen teknologi sepertinya tak mendapat dukungan dari Amerika, salah satu kekhawatiran Amerika ialah Made in China 2025 yang dianggap ancaman industri teknologi dengan Amerika Serikat.
Di mulai pada sejak 1980 an China mulai melakukan inisiatif Riset & Development skala besar, kemudian dilanjutkan tahun 2010 dan puncaknya pada Made in China 2025. Tak hanya pemerintah saja yang melakukan riset, hal ini juga ada dukungan dengan peran swasta seperti perusahaan Huawei dan BYD yang fokus di bidang teknologi tinggi mulai dari otomotif, elektronik, dan energi terbarukan.
Meski demikian, China tak mau dianggap sebagai negara maju. China lebih mengakui bahwa negaranya ialah negara berkembang terbesar dengan komitmennya untuk memperjuangkan keadilan dan saling mendukung dengan negara berkembang lainya.
Penulis: Maulida Fadhilah Firdaus
Editor: Thowiroh
Baca juga:China Menuju Puncak Industri Dunia: Revolusi Manufaktur, AI, dan Pabrik Tanpa Manusia