Judul kitab: Dhou’ul Misbah fi Bayani Ahkam An-Nikah (Sinar Lentera yang menjelaskan hukum pernikahan).
Penulis: KH Muhammad Hasyim Asy’ari
Halaman: 34 hal
Penerbit: Pustaka Tebuireng Jombang
Tahun terbit: Februari 2021 (edisi terbaru)
ISBN: 9786028805964
Tidak seperti umumnya kitab karya Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari yang bicara akidah, akhlak Rasulullah dan terdiri dari beberapa bab, kitab Dhou’ul Misbah hanya memuat dua bab dan sebuah bagian ikhtitam. Kiai Hasyim Asy’ari seorang ulama hadis ini lahir pada 14 Februari 1871 di Jombang dari pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Pahlawan nasional ini menulis kitab yang menarik bagi generasi muda, terutama yang ingin membangun biduk rumah tangga.
Pada bab pertama kitab Dhou’ul Misbah berisi hal-hal yang berkaitan dengan hukum dalam pernikahan, mulai dari hukum menikah hingga anjuran-anjuran sebelum menikah. Bab kedua langsung menjelaskan rukun pernikahan beserta syaratnya. Sedangkan ikhtitam berisi ulasan hal dan kewajiban suami istri.
Dalam bahasa Indonesia, kitab ini bernama “Sinar Lentera yang menjelaskan hukum pernikahan”. Ditulis ringkas dan padat, versi Pustaka Tebuireng berisi 34 halaman. Dikarang sederhana sebagai bekal generasi muda Indonesia yang ingin menikah atau pasangan yang sudah lama menikah, tapi malas membaca kitab-kitab kuning yang tebal berkaitan dengan nikah. Ibarat buku saku, kitab ini hadir sebagai solusi atas kesulitan mencari hadis berkaitan dengan pernikahan. Hal ini terlihat dari pendahuluan yang ditulis KH Hasyim Asy’ari berbunyi “Ini adalah karya singkat tentang hukum-hukum nikah. Adapun yang mendorong saya menyusun kitab ini karena banyaknya orang awam di kota saya yang ingin menikah tetapi tidak mengetahui rukun dan syaratnya. Saya lantas mencari tahu, ternyata pembahasan tentang nikah hanya ada di kitab-kitab besar”.
Di awal bab satu (versi terjemahan Pustaka Tebuireng halaman 4), Kiai Hasyim menuliskan bahwa tujuan menikah adalah melanggengkan keturunan. Ia mengutip perkataan An-Nawawi, jika tujuan menikah itu mengikuti sunnah, menghasilkan keturunan, menjaga kemaluan, menjaga pandangan maka itu termasuk amal akhirat dan mendapatkan pahala.
Rais akbar Nahdlatul Ulama (NU) ini juga mencantumkan pendapat ulama-ulama besar dari kitab mereka. Seperti kitab Al-Muhadzab karya Abu Ishaq As-Syirazi dan Hasyiah At-Tahrir milik Imam As-Syarqawi. Bahasa yang dipilih Kiai Hasyim juga mudah dipahami dan sistematis. Ini terlihat pada saat Kiai Hasyim menjelaskan perempuan yang dianjurkan untuk dinikahi. Kiai Hasyim membuat urutan angka (hal 7 versi terjemahan Pustaka Tebuireng). Urutan tersebut yaitu seorang gadis, nasab bagus, setara, subur, keibuan, baligh, maharnya murah, bukan janda talak tiga dan bukan kerabat dekat.
Secara umum, kitab ini lebih terlihat seperti resuman dari kitab-kitab hadis dan ulama terdahulu serta cuplikan ayat-ayat Al-Qur’an. Kiai Hasyim juga memberikan saran untuk tidak menikahi perempuan yang suka mengeluh, perempuan yang suka mengungkit jasa, perempuan hananah (menginginkan anak dari suami lain), perempuan yang suka berhias setiapnhari serta mencaci makanan dan perempuan yang matanya melihat kemana-mana lalu memaksa suaminya untuk membeli.
Pada pertengahan kitab (hal 11) KH Hasyim Asy’ari mengingat kan bahwa disunnahkan niat menikah mengikuti sunah Rasulullah, menjaga agama dan mendapatkan keturunan. Untuk waktu menikah, Kiai Hasyim menganjurkan dilakukan di bulan Syawal dan Shafar. Hal ini mengikuti tradisi Rasulullah yang menikahkan Fatimah dengan Ali pada bulan Shafar tahun kedua hijriah.
Di bab dua, kitab ini lebih membahas pada rukun nikah dengan merujuk kitab Al-Umm karya Imam Syafi’i dan kitab Imam Ghozali yaitu Ihya’ Ulumuddin. Bab dua didominasi terkait fikih. Meliputi shigat, kedua mempelai, wali dan saksi, pembahasannya habis pada hal tersebut.
Selanjutnya, Kiai Hasyim Asy’ari memberikan bab penutup dalam kitabnya ini. Ia mengawali dengan kewajiban suami atas dirinya, pertama mempergaulinya dengan baik, menuntun ke arah kebaikan dan ibadah, terakhir mengajar ilmu agama. Pesan ini dimuatnya pada halaman 25. Namun, kritikan pada kitab ini terletak pada begitu banyaknya penjelasan hak istri kepada sang suami yang dimulai dari halaman 27 hingga halaman 33 versi terjemahan Pustaka Tebuireng. Ini berbalik dengan penjelasan pada hak suami kepada istri yang hanya dua lembar kurang.
Terlepas dari itu semuanya, kitab ini sangat layak dijadikan pegangan wajib bagi calon-calon pengantin sebagai bekal membina rumah tangga. Persiapan dalam ranah keilmuan sebagai pondasi awal dalam membina rumah tangga. Setelah mengetahui hak dan kewajiban masing-masing, diharapkan semua berjalan sesuai jalur dan terwujud keluarga sakinah mawadah warahmah.
Di akhir pembahasan, Hadratussyaikh M Hasyim Asy’ari menuliskan tiga kriteria perempuan nakal. Yakni (pertama) yang keluar rumah dengan memamerkan diri di siang hari, (kedua) melemparkan pandangan ke kaum lelaki, dan (ketiga) mengeraskan suara hingga orang lain mendengarnya. Lalu ditutup dengan obrolan Nabi Muhammad Saw dengan Fatimah.
“Hal apa yang baik bagi seorang perempuan?, tanya Nabi. Lalu Fatimah menjawab, tidak melihat laki-laki dan laki-laki tidak melihatnya. Kemudian nabi memuji bagus ucapan Fatimah.”
Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.
Al-Faqir Abdurrah