tebuireng.co – Demokrasi di mata Yusuf Qardhawi patut dijadikan referensi dalam memandang hidup bernegara. Yusuf Qardhawi merupakan ulama, cendekiawan, dan aktivis dakwah Islam yang sudah tidak diragukan lagi kemampuannya.
Dalam memandang Islam, demokrasi dan persoalan umat, Qardhawi dipandang sebagai orang yang memiliki kredibilitas yang tinggi dalam menilai permasalahan umat Islam kontemporer dewasa ini.
Ia juga dikenal sebagai pemikir moderat atau pertengahan dalam mengkaji permaslahan umat. Selain itu, ia juga diakui sebagai orang yang objektif dalam menilai sesuatu dan melihatnya dari berbagai sudut pandang yang berbeda, sehingga pendapat yang dihasilkan komprehensif dan kuat akan kebenarannya.
Sebelum bahas demokrasi terlalu jauh, kita perlu mundur sedikit melihat fakta setelah runtuhnya kekhalifahan Islam terakhir yaitu Turki Utsmani, poros kekuatan dunia berubah drastis.
Barat mulai menguasai dunia dengan hegemoninya yang mencakup berbagai bidang, baik bidang sosial, budaya, politik, ekonomi, teknologi, ideologi, dan ilmu pengetahuan.
Di bidang ilmu pengetahuan, banyak orang-orang dari berbagai penjuru dunia termasuk dari negara-negara Islam mulai berlomba-lomba untuk menuntut ilmu di universitas-universitas terkenal di Barat, khususnya di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.
Alhasil, banyak sarjana-sarjana Muslim muda yang merupakan lulusan dari universitas-universitas terkemuka di Barat.
Sejak itulah banyak cendikiawan-cendikiawan Muslim yang mempelajari ilmu pengetahuan dari Barat, salah satunya adalah ideologi demokrasi.
Demokrasi adalah sebuah sistem yang menjadikan kekuasaan tertinggi pada sebuah sistem pemerintahan berada di tangan rakyat, dalam definisi lain Abraham Lincoln menjelaskan bahwa demokrasi adalah sebuah pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, untuk rakyat.
Pada awal abad 19, banyak sekali negara-negara yang baru merdeka bermunculan di dunia. Negara yang baru merdeka ini kebanyakan mengadopsi konsep negara dari barat yaitu konsep nationstate atau konsep negara bangsa yang menganut paham demokrasi.
Konsep negara tersebut dinilai merupakan konsep negara yang paling tepat untuk digunakan di abad modern saat ini. Di dunia Islam muncul perdebatan apakah mlebih baik mendirikan negara demokrasi atau mendirikan negara Islam ?
Seperti yang kita tahu banyak negara dengan penduduk negara mayoritas Islam bermunculan seperti Irak, Iran, Suriah, Mesir dan lain lain termasuk Indonesia.
Banyak para ulama dan cendikiawan Muslim yang mempertanyakan tentang ideologi demokrasi dalam Islam.
Perdebatan tersebut terjadi terkait dengan konsep dari demokrasi itu sendiri. Pertanyaan pertanyaan yang sering dikemukakan para cendekiawan Muslim, antara lain, “adakah demokrasi dalam Islam?”
“Apakah Islam kompatibel dengan demokrasi?”
“Apakah demokrasi cocok dengan Islam” dan “Apakah Islam mendukung atau menentang prinsip-prinsip demokrasi?” Pertanyaan pertanyaan ini mendapat reaksi dan kalangan ulama dan cendekiawan Muslim.
Itu artinya, Islam dan demokrasi masih menjadi persoalan yang kontroversial di kalangan pemikir Muslim. Tenggapan yang berbeda-beda di dalam konteks negara Indonesia yang notabene merupakan negara dengan mayoritas penduduknya yang beragama Islam juga tak luput dari perdebatan tentang demokrasi dalam Islam, Islam memang agama mayoritas di Indonesia, tetapi di sisi lain penduduk Indonesia juga ada yang beragama Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Sampai saat ini, perdebatan tersebut masih terus terdengar, apalagi banyak kelompok-kelompok yang beranggapan bahwa demokrasi telah gagal diterapkan di Indonesia, sehingga harus digantikan dengan khilafah Islam.
Baik dikalangan ulama dan cendekiawan Muslim juga terjadi perdebatan seputar Islam Demokrasi. Ada yang berpendapat prinsip demokrasi sesuai dengan prinsip Islam dan ada juga yang menentang demokrasi ditegakkan di Indonesia karena merupakan produk barat dan beda konsep dengan Islam.
Melihat fakta di atas, kita perlu melihat pendapat Yusuf Al-Qardhawi menegenai Islam dan Demokrasi dalam kitab fatawa mu’ashirah yang ditulisnya adalah substansi (hakikat) demokrasi sejalan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam.
Hakikat demokrasi yang dimaksud adalah yang sesuai dengan Islam, seperti dijelaskan Yusuf Qardhawi adalah: “bahwa rakyat memilih orang yang akan memerintah dan menata persoalan mereka, tidak boleh dipaksa kan kepada mereka penguasa yang tidak mereka sukai atau rezim yang mereka benci.
Mereka diberi hak untuk mengoreksi penguasa bila ia keliru, diberi hak untuk mencabut dan menggantinya bila ia menyimpang, mereka tidak diboleh digiring dengan paksa untuk mengikuti berbagai sistem ekonomi, sosial, dan politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka sukai. Bila sebagian dari mereka menolak, maka mereka tidak boleh disiksa, dianiaya, dan dibunuh.
Menurut Al-Qardhawi, inilah demokrasi yang sebenarnya. Demokrasi semacam ini memberikan beberapa bentuk dan cara praktis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Misalnya, pemilihan umum dan referendum umum, mendukung pihak mayoritas, menerapkan sistem multipartai, memberikan hak kepada minoritas untuk beroposisi, menjamin kebebasan pers dan kemandirian peradilan.
Rakyat diberikan kebebasan untuk memilih pemimpinnya dan mengoreksi perilakunya, mereka juga boleh menolak perintah penguasa yang bertentangan dengan undang-undang dasar.
Demokrasi semacam ini, menurut Yusuf Al Qardhawi, sejalan dengan Islam. Di dalam Islam, rakyat boleh menolak perintah imam yang menyuruh atau memaksa melakukan maksiat, dan rakyat berhak memecat atau menurunkan pemimpinnya bila menyimpang dan berlaku zalim, serta tidak pula menanggapi nasihat dan peringatannya.
Al-Qardhawi juga membenarkan pandangan pendukung demokrasi, yang menyatakan bahwa demokrasi ditegakkan berdasarkan pendapat mayoritas.
Ada kekeliruan dan kesalahan persepsi di kalangan pemikir Muslim, yang mengatakan bahwa Islam tidak dapat menerima pendapat mayoritas seperti disebutkan dalam sistem demokrasi.
Pendapat mayoritas Ijma’ menurut Al-Qardhawi di sini adalah logika syariat dan kenyataan menunjukkan perlu adanya pertimbangan untuk memihak kepada satu pihak bila terjadi perselisihan pendapat.
Pihak yang harus didukung dalam hal ini adalah mayoritas. Sebab, pendapat dua orang lebih dekat kepada kebenaran ketimbang pendapat satu orang.
Oleh: Siddiqur Rozaq