tebuireng.co – Degradasi moral pejabat publik di Indonesia mendapat sorotan publik setelah maraknya makelar hukum dan korupsi. Aksi sewenang-wenang dari pejabat publik membuat masyarakat gerah dan muak.
Media massa dibanjiri informasi mengenai tingkah-tingkah aneh pejabat publik. Mulai dari adanya koboy jalanan di ruas jalan tol yang ternyata merupakan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), penyalahgunaan wewenang dengan perintah pembunuhan, hingga korupsi yang tiada henti.
Seluruh fenomana itu mengindikasikan adanya degradasi moral pejabat publik. Padahal, pemimpin yang memiliki integritas-lah yang mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat. Namun, bagaimana apabila tindakan kesewanang-wenangan semacam itu terus membudaya?
Lantas, bagaimana fenomena itu dipandang dalam kacamata Islam? Sudah barang tentu, Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin tidak mengamini bahkan mengecam tindakan penyalahgunaan wewenang semacam itu.
Sebab, salah satu bentuk perbuatan yang merusak bumi adalah penyalahgunaan wewenang yang diembankan kepada manusia. Oleh karena itu, amanat yang telah dipikulkan kepada seorang penjabat publik, sudah seharusnya memperhatikan kemaslahatan bersama. Allah menyukai orang penjaga amanah.
Seperti halnya kaidah Fiqih yang populer di kalangan masarakat pesantren, yakni tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyah manuthun bi al-mashlahah (Kebijakan dan tindakan pemimpin terhadap rakyat harus selalu didasarkan pada kepentingan dan kemaslahatan bersama).
Salah satu faktor yang mendasari adanya kemerosotan moral tersebut adalah hubbu addunya atau cinta dunia. Allah tidak suka hamba yang cinta dunia berlebihan. Seorang ulama sekaligus budayawan, KH Mustofa Bisri, menegaskan bahwa hidup serba dunia merupakan awal dari tindakan korup sembari mengutip ungkapan Arab yang populer.
Hubb al-dunya ra’su kulli khati’ah (cinta dunia merupakan pangkal dari segala petaka). Pasalnya, pola hidup hedonistic yang serba dunia inilah yang membuat manusia hanya berorientasi pada kepuasan duniawi.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita sebagai umat muslim, khususnya pejabat kembali bermuhasabah dan kembali kepada tuntunan Al-Quran dan Hadis agar tidak terjadi degradasi moral.
Good Governance dalam Kaca Mata Islam
Menggunungnya praktik-praktik kesewenang-wenangan oknum-oknum pejabat publik tersebut memerlukan i’tikad yang serius untuk memberantasnya. Salah satu caranya adalah dengan membenahi tata kelola pemerintahan.
Tata Kelola pemerintahan yang baik setidaknya didasarkan pada tiga prinsip utama, yakni transparasi, akuntabilitas, dan partisipasi. Transparasi sendiri merupakan keterbukaan dan kejujuran dari para pejabat publik.
Sebagaimana Firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 119:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah 9: Ayat 119)
Ayat tersebut mengajak kepada umat muslim agar senantiasa melaksanakan tanggung jawab dan menghindari larangan-Nya. Nantinya, orang-orang yang patuh dan jujur akan bersama-sama di dalam surga.
Nabi SAW pernah bersabda dalam riwayat Al-Baihaqi, “Kebenaran dan kejujuran menunjukkan pada kebaikan, dan kebaikan menunjukkan pada surga,. Sebaliknya, dusta menunjukkan pada durhaka dan durhaka menunjukkan pada neraka.”
Kedua, selain transparan dan jujur, pilar lainnya adalah akuntabel, yakni amanat, setia, dan tepat janji (al-amanah wa al-wafa bi al-‘ahdi). Sebagaimana diisyaratkan oleh Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 58.
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَ مٰنٰتِ اِلٰۤى اَهْلِهَا ۙ وَاِ ذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّا سِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِا لْعَدْلِ
“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. An-Nisa’ 4: Ayat 58)
Dalam konteks ini, hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim menjelaskan bahwa masing-masing tanggung jawab sesuai dengan peran yang dilakoninya. Rasulullah bersabda:
“Ingatlah, kalian adalah penggembala dan kaian bertanggung jawab terhadap gembalaannya. Maka pemimpin adalah penggembala dan ia bertanggungjawab pada gembalaannya. Sesorang adalah penggembala bagi keluarganya, makai a bertanggung jawab atas gembalaannya.
Ingatlah bahwa kalian adalah penggembala dan kalian diminta pertanggungjawabannya atas gembalaan kalian.”
Pilar ketiga adalah partisipasi. Artinya, partisipasi adalah kebersamaan para pelaku untuk secara gotong-royong membicarakan, merencanakan, dan membuat kebijakan serta mengevaluasi pelaksanaannya. Pilar ini dikenal dengan prinsip at-ta’awun (gotong royong).
Tentu saja, kerja sama tersebut harus ditujukan demi kemaslahatan bersama. Seperti halnya dalam Firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 2.
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَا لتَّقْوٰى ۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِ ثْمِ وَا لْعُدْوَا نِ ۖ وَا تَّقُوا اللّٰهَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَا بِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 2)
Prinsi-prinsip di atas, seharusnya ditopang dengan i’tikad pemerintah untuk menegakkan supremasi hukum dengan asas keadilan untuk sesama. Dengan begitu, kesewenang-wenangan dalam menjalankan peran tidak akan terjadi pada masing-masing individu. Takut kepada Allah.
Wallahua’lam.
Oleh: Dinna