Sejarah panjang NU sejak sebelum lahir dan berdiri, sampai berdiri di tahun 1926, sebelum dan sesudah kemerdekaan 1945. Tidak pernah lepas dari Politik. Politik Indonesia, Politik Kebangsaan dan Politik Nahdlatul Ulama. Apa bedanya NU Berpolitik dan Politik NU?
Sebelum kemerdekaan, posisi NU begitu sangat penting berkontribusi langsung terhadap kemerdekaan Indonesia. Lewat putera Mahkota Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, yaitu KH. A Wahid Hasyim, menjadi salah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Bukti bahwa dalam sejarah nya, representasi Kiai Wahid Hasyim sebagai putera Pendiri NU, sekaligus sebagai representasi NU tampil dalam kancah politik Indonesia.
Saya punya Buku setebal 975 halaman, judulnya: 𝑆𝑒𝑗𝑎𝑟𝑎ℎ 𝐻𝑖𝑑𝑢𝑝 𝐾𝐻. 𝐴 𝑊𝑎ℎ𝑖𝑑 𝐻𝑎𝑠𝑦𝑖𝑚 𝑑𝑎𝑛 𝐾𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑇𝑒𝑟𝑠𝑖𝑎𝑟. Buku ini disusun oleh H. Aboebakar, menurut keputusan Menteri Agama tanggal 23 Maret 1954 No. 4/1954. Buku ini disusun pada masa KH. Muhammad Ilyas, saat menjadi J. M. Menteri Agama, yang saat itu dijabat oleh H. Masykur, setelah masa KH A Wahid Hasyim pernah menjabat Menteri Agama RI.
Bahkan ada kalimat yang sangat dahsyat yang ditulis oleh KH. Muhammad Ilyas dalam kata sambutan dalam buku tersebut, kalimat tersebut berbahasa Arab:
ومن لم يمت بالسيف مات بغيره
تعددت الأسباب والموت واحد
“𝐽𝑖𝑘𝑎 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑘𝑎𝑟𝑒𝑛𝑎 𝑝𝑒𝑑𝑎𝑛𝑔, 𝐸𝑛𝑔𝑘𝑎𝑢 𝐺𝑢𝑔𝑢𝑟 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑛𝑔𝑎ℎ 𝑃𝑎𝑑𝑎𝑛𝑔. 𝑆𝑒𝑏𝑎𝑏 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑎𝑖𝑛 𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑎𝑑𝑎𝑛𝑔, 𝑘𝑎𝑟𝑒𝑛𝑎 𝑀𝑎𝑡𝑖 𝑝𝑎𝑠𝑡𝑖 𝑀𝑒𝑟𝑎𝑑𝑎𝑛𝑔”.
Dr. KH. Idham Chalid, yang saat itu menjadi Wakil Perdana Meteri RI II, sekaligus sebagai Ketua Panitia penyusunan Buku tebal dengan 975 halaman.
Buku ini diterbitkan oleh Panitia Buku Peringatan Almarhum KH. A Wahid Hasyim. Ada 22 Orang, yang diangkat langsung oleh Menteri Agama saat itu, untuk terlibat langsung dalam penyusunan Buku ini. Ditandatangani langsung oleh Menteri Agama RI, H. Masjkur, tertanggal Jakarta, 23 Maret 1954.
Kalau kita baca lebih detail isi Buku ini, saya yakin seyakin-yakin nya para Nahdliyin, kaum NU dan juga para Pengurus NU disemua level mulai ranting NU, MWC, PC, PW sampai PB setidaknya akan menambah wawasan dan pengetahuan, bagaimana peran NU setidaknya semasa KH. A Wahid Hasyim, yang umur nya tidak panjang, di usia yang sangat muda, produktif, hebat, wafat karena “kecelakaan”, yang hingga detik ini belum jelas apa motif nya. Apa murni karena kecelakaan, atau ada motif lainnya, misalnya apa karena sabotase? Sebagaimana yang pernah dituturkan oleh KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah) semasa hidupnya.
Kalau saya menulis posisi NU semasa Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dan para kiai tatkala mendirikan NU, rasanya agak panjang dan meluas. Semua tau dan paham, bahwa peran Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dalam pentas politik Indonesia, khususnya ketika sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia begitu sangat luar biasa dan sangat penting, hingga wafatnya beliau, di Tahun 1947, beberapa tahun setelah Indonesia merdeka.
NU sebelum bergabung dengan Masyumi, sampai keluar dari Masyumi dan pernah menjadi Partai Politik sendiri, Partai NU. Bukti bahwa NU, tidak bisa lepas dari Politik Indonesia. Babak belur NU masuk dalam Politik dan di luar gelanggang Politik, gelanggang kekuasaan juga banyak dilalui.
Inilah resiko NU sebagai pemilik saham terbesar berdirinya Republik ini. Sebagai pemilik saham terbesar berdirinya Negara ini, lewat Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy’ari lalu dilanjutkan putera mahkota, KH. A Wahid Hasyim, tidak bisa dihapus begitu saja dalam jejak perjalanan NU dari waktu ke waktu, dari masa ke masa, dari zaman ke zaman serta dari satu generasi ke generasi berikutnya..
Coba dibaca lagi beberapa diktum penting dalam 𝑀𝑢𝑞𝑎𝑑𝑑𝑖𝑚𝑎ℎ 𝐴𝑙 𝑄𝑜𝑛𝑢𝑛 𝐴𝑠𝑎𝑠𝑦 𝐿𝑖 𝐽𝑎𝑚’𝑖𝑦𝑦𝑎ℎ 𝑁𝑎ℎ𝑑𝑙𝑎𝑡𝑖𝑙 𝑈𝑙𝑎𝑚𝑎, yang ditulis Hadlratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, Pendiri Utama NU. Yang termaktub dalam Kitab At-Tibyan. Berikut ini Teks asli dalam Kitab yang di tulis langsung oleh Hadlratussyaikh:
فان الإجتماع والتعاون والإتحاد والتٱلف هو الأمر الذي لا يجهل أحد منفعته، كيف وقد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : يد الله مع الجماعة, فإذا شذ الشاذ منهم إختطفته الشيطان كما يختطف الذئب من الغنم، ذكره الحافظ السيوطي
Dalam teks diatas, betapa luar biasa nya Hadlratussyaikh, sebagai Pendiri Utama NU sekaligus Roisul Akbar PBNU pertama dan terakhir, menekankan pentingnya berkumpul, bersatu, saling tolong menolong, saling mengasihi satu sama lain. Tidak saling mencela, mengumbar aib dan tidak saling bertikai sehingga menimbulkan potensi perpecahan, baik di internal NU, maupun dalam konteks kebangsaan, keindonesiaan dan keislaman.
Lalu, kalau ditanya NU berada dimana dalam pentas politik nasional, termasuk dalam Pilpres?
Ini pertanyaan, yang jawabannya butuh narasi yang berimbang. Antara yang setuju dengan NU Berpolitik, maupun yang tidak setuju NU masuk pusaran politik “kekuasaan”.
Oke, saya narasikan begini. Bagaimana kalau NU itu berpolitik? Kalau politiknya politik kebangsaan, No Problem. Hampir semua Nahdliyin sepakat. Lalu kalau NU berpolitik, dalam artian masuk dalam politik kekuasaan, kira-kira untung ruginya dimana?
Sejarah panjang NU seperti yang saya tulis di atas, sejak masa Hadlratussyaikh, lalu digantikan putera mahkotanya, KH. A Wahid Hasyim. Hampir tidak pernah lepas dari politik “kekuasaan”. Zaman Kemerdekaan, NU begitu sangat dekat dengan kekuasaan, bahwa penentu Kemerdekaan Indonesia itu adalah Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Karena, masyhur diceritakan sebelum Ir. Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sebelumnya 𝐒𝐨𝐰𝐚𝐧 𝐭𝐞𝐫𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮 𝐝𝐚𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐤𝐞 𝐓𝐞𝐛𝐮𝐢𝐫𝐞𝐧𝐠, 𝑚𝑒𝑚𝑜ℎ𝑜𝑛 𝐷𝑜’𝑎 𝑟𝑒𝑠𝑡𝑢 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝐻𝑎𝑑𝑙𝑟𝑎𝑡𝑢𝑠𝑠𝑦𝑎𝑖𝑘ℎ 𝐾𝐻 𝑀𝑢ℎ𝑎𝑚𝑚𝑎𝑑 𝐻𝑎𝑠𝑦𝑖𝑚 𝐴𝑠𝑦’𝑎𝑟𝑖.
Artinya, bahwa peran Hadlratussyaikh, lalu dilanjutkan Kiai Wahid Hasyim, sangat dekat dengan kekuasaan, dekat dengan Soekarno, dekat dengan simpul Pemerintahan yang saat itu masih awal berdiri menjadi sebuah Negara.
Tatkala Orde Baru, zaman Soeharto. NU babak belur. Dihabisi, di marginal-kan, dipinggir-kan. Sejak awal Orde Baru, posisi NU sudah di marginal-kan oleh Rezim yang saat itu berkuasa, Soeharto. Sekian puluh tahun, keberadaan NU menjadi penyeimbang kekuasaan. Bahkan menjadi Oposisi Orde Baru. Dalam tradisi kepartaian saat itu, hampir semua Kiai-Kiai NU, dan Warga NU memberikan hak suara politik nya kepada Partai Persatuan Pembangunan, hanya beberapa persen saja yang saat itu masuk Golkar, apalagi PDI. Zaman Orde Baru berkuasa, jangan tanya para Ustadz, Kiai dan Nahdliyin bisa bersuara dan bergandengan tangan dengan kekuasaan di semua tingkatan. Mencari Santri atau Kiai yang jadi Bupati atau Walikota, lebih sulit dibandingkan mencari jarum yang jatuh dalam sekam.
Semua pasti masih ingat, bagaimana saat itu Rezim Orde Baru mengobok-obok NU luar dalam, saat itu NU tidak hanya terjadi Turbulensi, tapi terkoyak-koyak habis bahkan berdarah-darah. Muktamar Cipasung, dengan dimunculkan Abu Hasan Cs, bukti betapa kuat cengkraman Rezim Orde Baru saat itu. Tapi NU tetap tegak kokoh kuat berdiri. Gus Dur sebagai representasi melawan kekuasaan Orde Baru yang arogan dan otoriter, bersama para kiai ia tetap kuat, teguh dan mampu melewati masa-masa genting tersebut.
Zaman Orde Baru, Muhammadiyah menjadi anak emas Pemerintah. Hampir semua kepala KUA, kepala Depag berasal dari Muhammadiyah. Sehingga, semua urusan kemasyarakatan, termasuk di dalamnya keperluan keseharian para warga NU, sering mengalami kesulitan-kesulitan karena kepala Depag dan KUA-nya bukan berasal dari kalangan NU. Padahal, betapa besar kontribusi KH. A Wahid Hasyim, putera mahkota Hadlratussyaikh, ikut andil mendirikan Departemen Agama (Depag), sebagaimana dalam 𝐵𝑢𝑘𝑢 𝑛𝑦𝑎 𝑆𝑒𝑗𝑎𝑟𝑎ℎ 𝐻𝑖𝑑𝑢𝑝 𝐾𝐻. 𝐴 𝑊𝑎ℎ𝑖𝑑 𝐻𝑎𝑠𝑦𝑖𝑚 𝑑𝑎𝑛 𝐾𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑇𝑒𝑟𝑠𝑖𝑎𝑟.
Kalau NU dekat dengan simpul kekuasaan, itu sejatinya bukan hal baru, hanya sejarah yang terulang. Kalau NU jauh dari simpul kekuasaan, juga bukan hal baru, karena zaman Orde Baru, juga telah mengalami itu. Tinggal pertanyaannya, 𝒎𝒂𝒖 𝒑𝒊𝒍𝒊𝒉 𝒑𝒐𝒔𝒊𝒔𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒂𝒏𝒂? S𝒆𝒄𝒂𝒓𝒂 𝒍𝒂𝒏𝒈𝒔𝒖𝒏𝒈 𝒅𝒂𝒏 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒍𝒂𝒏𝒈𝒔𝒖𝒏𝒈 𝒍𝒆𝒃𝒊𝒉 𝒃𝒆𝒓𝒎𝒂𝒏𝒇𝒂𝒂𝒕 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒑𝒐𝒔𝒊𝒔𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒂𝒏𝒂, 𝒅𝒆𝒌𝒂𝒕 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒌𝒖𝒂𝒔𝒂𝒂𝒏 𝒂𝒕𝒂𝒖𝒌𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒖𝒉 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒅𝒊𝒋𝒂𝒖𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒔𝒊𝒎𝒑𝒖𝒍 𝒌𝒆𝒌𝒖𝒂𝒔𝒂𝒂𝒏?
Pertanyaan ini tidak perlu saya jawab, silahkan oleh kita semua dipikirkan lebih mendalam lagi. Termasuk oleh warga NU, para Nahdliyin, NU Kultural, NU Struktural, NU garis apa, garis apa yang merasa dalam garis-garis. Apalagi jumlah warga NU hasil survei terbaru oleh salah satu lembaga survei ternama, bahwa separuh lebih dari jumlah penduduk Indonesia adalah NU atau setidaknya ber-amaliyah NU. Trennya malah naik secara kuantitas, berbanding terbalik dengan ormas Muhammadiyah yang justeru menurun secara kuantitas. Begitu menurut hasil survei tersebut.
Kalau ada kiai-kiai yang secara pribadi masuk dalam pusaran politik praktis, bahkan menjadi Timses, tidak masalah, silahkan saja, malah bagus partai diisi oleh orang-orang baik, partai politik diisi orang-orang shalih termasuk para kiai. Itu baik-baik saja. Ketimbang diisi oleh para “bajingan tengik politik”, kan lebih baik diisi Kiai Politik.
Tapi, jangan semua kiai masuk dalam pusaran politik kekuasaan, politik praktis. Harus tetap ada, kiai-kiai yang posisi di tengah, tidak masuk dalam pusaran politik kekuasaan. Harus tetap ada, kiai-kiai yang tetap istiqomah mulang ngaji di Pesantren masing-masing, yang tidak cawe-cawe hiruk pikuk Pilpres. Harus ada, kiai-kiai yang tetap menjadi pengayom di atas semua golongan, di atas semua kepentingan partai, di atas semua kepentingan Pilpres, dan berdiri di atas semua kepentingan Capres Cawapres dalam kontestasi Pilpres.
Dalam konteks ini, secara Jam’iyyah seharusnya NU memang tetap berdiri di atas semua kepentingan politik kekuasaan. Menjadi payung dan rumah besar dari semua kepentingan politik praktis dan partai politik. Mengambil jarak yang sama kepada semua Paslon Capres Cawapres. Walaupun secara pribadi, lebih dekat kemana, kesiapa, tentu tidak akan bisa terhindarkan. Urusan hati, sreg dan tidak sreg, apalagi terkait keyakinan, keinginan dan kesenangan memilih yang mana, tentu tidak bisa dihindari, tidak akan sama satu dengan yang lainnya.
Harus dipikirkan lebih mendalam, untung ruginya?, kalau memang NU beserta banomnya mau terlibat secara langsung dengan salah satu paslon Capres cawapres, sekalian saja diputuskan secara terbuka dalam Keputusan resmi NU, dengan mekanisme organisasi yang tidak melanggar AD/ART.
Kita pernah mengalami sejarah berbeda-beda dengan sekian implikasinya. Zaman Kiai Hasyim Muzadi menjadi Ketua Umum PBNU, menjadi Cawapresnya Bu Mega. Bersaing dengan Gus Sholah yang saat itu juga menjadi Cawapres. Pro kontra di internal NU saat itu juga luar biasa gerah bahkan memanas. Saling klaim yang “paling NU”, itu hal yang sering terjadi di internal NU. Toh semua sama-sama memiliki akar sejarah panjang dan sesuai kapasitasnya masing-masing.
Sejarah tidak akan hilang begitu saja, yang penting ditulis dan terdokumentasikan melalui rekam jejak digital, saat itu bagaimana NU dan PKB beriringan, bahkan hampir tidak jelas, mana pengurus NU dan mana pengurus PKB. Bahkan sampai ada anggapan kalau PKB lebih “tinggi dan kuat” daripada NU-nya. Itu perjalanan sejarah yang tidak terbantahkan. Semua merasakan aroma tersebut.
Saat ini, muncul pro kontra kembali, dalam versi yang berbeda. Semakin menarik saja kalau diamati, nanti muaranya kemana, dimana, dapat posisi apa, semuanya pasti akan ada “𝑘𝑒𝑗𝑒𝑙𝑎𝑠𝑎𝑛-𝑘𝑒𝑗𝑒𝑙𝑎𝑠𝑎𝑛”. Yang menjadi pertanyaan besar adalah: 𝐾𝑎𝑙𝑎𝑢 𝑁𝑈 𝑚𝑎𝑠𝑢𝑘 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑝𝑢𝑠𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑃𝑜𝑙𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑃𝑟𝑎𝑘𝑡𝑖𝑠, 𝑃𝑜𝑙𝑖𝑡𝑖𝑘 𝐾𝑒𝑘𝑢𝑎𝑠𝑎𝑎𝑛, 𝑃𝑜𝑙𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑃𝑖𝑙𝑝𝑟𝑒𝑠, 𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑛𝑔 𝑟𝑢𝑔𝑖𝑛𝑦𝑎 𝑑𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎? 𝐾ℎ𝑢𝑠𝑢𝑠𝑛𝑦𝑎 𝑘𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎 𝐽𝑎𝑚’𝑖𝑦𝑦𝑎ℎ 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑂𝑟𝑔𝑎𝑛𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖, 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑛𝑔𝑛𝑦𝑎 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟 𝑎𝑝𝑎 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙? Silahkan sama-sama ditimbang-timbang sendiri. Saya tidak bisa menjawabnya, karena saya bukan sebagai pelaku. Saya hanya sebagai penggemar dan pengamat dari luar gelanggang yang banyak melihat gerak gerik perjalanan NU dari masa ke masa, dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. Akrobat yang sedang berjalan dan menyeruak kepermukaan, sejatinya hanya sekedar bumbu-bumbu pemanis dan pelezat hingar bingar kontestasi Pilpres. 𝑵𝒂𝒏𝒕𝒊 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑 𝒂𝒅𝒂 𝒎𝒖𝒂𝒓𝒂𝒏𝒚𝒂.
Oleh: Lora Fawaid Abdullah, Pendiri & Ketua Umum Gerakan Nasional Generasi Indonesia Bersarung-GIB, Pengurus LKPH2K Presnas Ikapete Tebuireng, dan Khadim PP. Al Aula Kombangan Bangkalan Madura.
Baca juga: Hiruk Pikuk Pilpres 2024