tebuireng.co – Manusia dewasa kebanyakan human doing bukan human being. Cinta manusia dewasa cenderung egoistik, transaksional bukan transformasional. Cinta transformasional menurut Arvan Pradiansyah, merupakan kasih tak bersyarat yang diberikan cuma-cuma. Cinta yang membuat manusia ikhlas melepaskan orang-orang yang dicintai dari bayang-bayang yang mencintai. Cinta yang membuat orang-orang terkasih menjadi diri mereka sendiri. Dalam kata lain, tidak memaksa orang yang dicintai menuruti semua kemauan pecinta. Karena kemauan sepihak merupakan ego. Sedangkan “Ego” kependekan dari Edging God Out-mengesampingkan Tuhan.
Orang yang dicintai bisa jadi tidak mendatangkan keuntungan, mengecewakan dan tidak memberikan harapan. Kendati demikian, kita tidak berhenti mengasihi mereka. Cinta sejati yang tidak berdasarkan kalkulasi untung rugi. Cinta berdasarkan ketiadaan hasrat. Cinta yang tidak menguasai dan mengendalikan. Bukan cinta kekanak-kanakan. Cinta transformasional bukan cinta yang mementingkan diri sendiri, merasa ingin terus dibutuhkan, ingin dihormati dan senantiasa ingin diharapkan. Manusia gemar membangun sarang berlindung dalam kecongkakan yang dipicu oleh ego dan mengira itu adalah kekuatan cinta sejati. Pada kenyataannya, ego hanyalah sebuah kelemahan buat menyelubungi perasaan rendah diri yang bersarang dalam hati.
Arvan Pradiansyah, dengan panjang lebar menjelaskan tentang “Ego”. Menurutnya, ego tinggi menciptakan kesenjangan dalam hubungan antar manusia. Ego tinggi membuat seseorang mudah melukai manusia lainnya. Menampilkan ego, apalagi secara demonstratif, akan memancing dan mengusik ego orang lain. Ego mengobarkan semangat persaingan dan saling menjatuhkan. Ego juga melahirkan pribadi yang sombong terang-terangan maupun terselubung. Inilah sumber kehancuran yang sering kali tak segera disadari. Begitu pasangan hanya butuh pada keinginannya, disisi lain pasangan kita merasa tidak dihargai karena dipaksakan menuruti kemauan sepihak saja. Padahal, yang nama pasangan itu harus bisa saling melengkapi dan menghormati. Menghormati hobi yang dimiliki pasangan selama masih dalam batas wajar.
Salah satu cara melepas duri yang mengganjal dalam berhubungan dengan pasangan egois adalah memperlakukan mereka sebagai pelatih emosi pribadi (PEP). Cinta transformasional sesungguhnya sedang menyodorkan kepada kita sebatalyon lengkap pasukan PEP yang menyamar sebagai teman hidup supersulit. Mereka acap kali menyeret kita ke ambang batas kemampuan pengendalian emosi. PEP menggunakan segala situasi dan taktik apapun untuk menantang kita. Saat tantangan disodorkan, hindari sikap saling menyalahkan dengan spiral tuduh-menuduh yang semakin menanjak.
Ada PEP yang menantang kita untuk menghakimi mereka. Jangan mau terjebak, PEP lain mungkin memprovokasi kita agar mendendam, marah dan dengki. Berpalinglah dan jangan terperangkap pada perangkap-perangkap negatif karena itu bukan cinta. Dan PEP paling keraslah yang akan menempa kita menjadi personal hebat. Tapi jangan lupa, pada hakikatnya kita juga sebagai PEP bagi orang lain.
Ada dua karakter manusia berkaitan dengan kemampuan mengendalikan emosi. Pertama, tipe Climber (mampu), manusia model ini mampu mengendalikan emosi yang datang bertubi-tubi. Ia akan terus mengasah kecakapan sosial dalam berinteraksi seperti berkomunikasi, memahami sesama, dan bekerja sama. Secara keseluruhan, tipe ini akan berpikiran kreatif meliputi fleksibilitas, banyak ide, kemampuan beradabtasi pada lingkungan, kemampuan menghasilkan ide rumit dan detail dan menggabungkan berbagai komponen serta menghasilkan ide baru.
Baca Juga: Surat Cinta Tuhan untuk Makhluk
Kedua, tipe Quitter (gampang menyerah). Manusia model ini selalu gagal mengendalikan emosi dan suka cuci tangan dari setiap permasalahan. Parahnya, mereka juga sering mengulang kesalahan-kesalahan yang sama. Manusia model ini susah berdamai dengan lingkungannya, sehingga mereka sering merasa resah, tidak betah dan emosian.
Berbeda dengan anak kecil, mereka senantiasa takjub dengan segala hal yang dijumpainya. Memperhatikan kepompong ulat bulu yang sebentar lagi menjadi kupu-kupu, misalnya. Anak-anak selalu berada dalam kondisi sabar, santai, polos dan tidak tergopoh. Anak selalu menikmati momen kebahagiaan, larut, tenggelam dan menyatu dengan alam yang mempesona. Pikiran orang dewasa tidak menyatu disatu tempat. Orang dewasa cenderung sibuk, kemrungsung, tergopoh dan tidak sabaran. Orang dewasa disesaki rencana-rencana besar dan penting. Mereka lupa memperhatikan perkara yang tampak remeh, tapi sesungguhnya menakjubkan. Semisal, membelai dan menciumi rambut suami/istri meski berbau apek.
Agar bahagia, manusia harus bisa berdamai dengan diri sendiri, berdamai dengan sesama dan berdamai dengan sang Khalik. Artinya, manusia mesti mengasah kecerdasan personalnya, merawat kecerdasan sosialnya dan menjaga nyala kecerdasan spiritualnya. Supaya kecerdasan personal terasah manusia mesti sabar, syukur, dan bersahaja. Kecerdasan sosial dirawat dengan mengasihi, memberi, dan memaafkan. Api suci spiritual dikobarkan dengan minyak kepasrahan. Alhasil, manusia yang berhasil berdamai dengan diri sendiri, lingkungan dan Tuhan akan menjadi sosok yang menikmati hidup setiap hari. Kemana-mana ia akan menebarkan senyuman dan spirit perdamaian dan syukur. Manusia yang kayak ini akan memiliki teman disetiap tempat yang ia singgahi dan kedatangannya pun sangat ditunggu-tunggu. Ia layaknya magnet, dimana individu lain datang dengan sukarela mendekatinya dan mengambil hikmah dari perilaku hidupnya. Manusia seperti ini tampak dalam kepribadian nabi Muhammad SAW, Mahatma Gandhi dan Bunda Teresa.
Disarikan dari buku “Guru Gokil dan Guru Unyu”