Chairil Anwar merupakan lambang kebebasan. Ia adalah sejarah. Hari ini, 73 tahun silam, dia meninggal. Namun, Chairil tak pernah meninggalkan kita. Setiap tahun, dalam perayaan tujuh belas agustusan kita selalu membutuhkan Chairil yang urakan, kurang ajar, tapi melahirkan karya-karya yang cemerlang dan segar. Dari Meulaboh sampai Merauke, sajak-sajak Chairil dibacakan. Chairil seperti bagian dari bangsa Indonesia yang pernah ada, dan terus dirindukan.
Chairil Anwar hidup dan berkarya tatkala nasionalisme bangsa ini bergolak, dan harapan akan kemerdekaan yang dijanjikan oleh Jepang kemudian berlanjut dengan perjuangan bersenjata melawan Agresi Militer Belanda I dan II. Dalam suasana revolusioner ini, di antara perang dan gagasan-gagasan besar dan bebas, Chairil yang memberontak terhadap segalanya yang mapan itu tampak seperti alternatif dalam setiap perjalanan bangsa di kemudian hari.
Di masa Orde Baru yang mengidealkan keseragaman, ia adalah lambang kebebasan yang tak terjinakkan. Sedangkan di masa reformasi, manakala kebebasan berpendapat tidak lagi disertai landasan ideologi mendominasi politik partai-partai, “kedalaman” (antonim dari kedangkalan, ketidakbermaknaan) yang dirindukan oleh Chairil tetap menjadi harapan bersama.
Dalam tulisannya “Hoopla!” Chairil bercerita tentang para seniman yang perlu menjunjung tinggi kebebasan, siap menghadapi resiko dengan sepenuh hati, serta mencela kehidupan yang anteng tak bermakna. Ia yakin, kebebasan dan resiko itulah yang memberikan makna bagi sang seniman dan sumbangan bagi kemanusiaan. Melihat ketegaran dan kesetiaan ini, penyair Abdul Hadi WM dalam majalah sastra “Horison” menggarisbawahi, “Yang menarik dari Chairil Anwar adalah vitalitasnya sebagai penyair, semangat kepenyairannya yang tak mengenal politik ‘dagang sapi’. Ia mau berkorban dan menderita demi cita-cita kepenyairannya yang menyatu dalam dirinya.”
Chairil mati muda, di usia 27 tahun, dan sejarah pun akan terus mencatat bahwa ia seorang pemberontak yang tak beranjak tua. Ia meninggal karena komplikasi infeksi paru, tipus, luka usus –dan raja singa menurut sebagian orang– mengeremus kehidupan bohemian-nya yang liar. Tapi mati muda telah mengekalkan imaji dirinya selaku pemberontak terhadap adat-istiadat, nilai dan kemapanan Pujangga Baru. Ya, seperti halnya Beethoven dalam musik, Chairil Anwar telah menjadi lambang pemberontakan-pembaharuan tidak saja di dunia syair, tapi juga bahasa.
Jika Ludwig van Beethoven seorang diri mengantarkan musik meninggalkan Zaman Klasik untuk memasuki Zaman Romantik, Chairil memimpin para penyair dan sastrawan membuang warisan Angkatan Pujangga Baru, untuk mengadopsi nilai-nilai baru Angkatan 45. Berbeda dengan angkatan Pujangga Baru yang seakan-akan masih terpesona pada lukisan “mooi Indie” yang rupawan, Chairil menghadirkan kata-kata “mampus” dan “hambus” yang dipinjamnya dari bahasa daerah; kata-kata kasar, umpatan yang biasa diteriakkan di pasar atau di kompleks pelacuran, dalam sajak-sajaknya yang menggelegar.
Ia “binatang jalang” yang tak akan menjadi jinak. Chairil pemberontak sejati dan lengkap yang menyatukan kata-kata puitisnya dengan kelakuan sehari-hari. Ia individualistis di antara bangsanya yang kolektif; ia urakan di antara masyarakat yang masih mengindahkan sopan-santun dan pemberontak terhadap nilai yang berlaku. Chairil mencuri buku dari toko buku dan menjiplak karya orang lain seakan-akan tanpa merasa bersalah. Sajak “Krawang-Bekasi” yang senantiasa dibacakan dengan haru itu dianggap meniru “The Young Dead Soldiers” karya penyair Amerika Archibald MacLeish. Kritikus sastra yang juga kawan baiknya, HB Jassin mengakui bahwa Chairil mencuri sajak penyair Tiongkok Xu Zhimo, yang diterjemahkan menjadi “Datang Dara Hilang Dara.”
Diakui atau tidak, puisi-puisi anak muda yang keranjingan melahap buku sastra dunia ini merupakan buah kontemplasi yang intens, hasil perjuangan panjang dalam mencari kata, diksi, bentuk dan isi terbaik dalam lirik-liriknya. Manuskrip tulisan-tulisan tangan Chairil yang belum dipublikasi dan tersimpan di Pusat Data HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, sedikit banyak menunjukan proses kreatif sang penyair. Penuh coretan serta koreksi kata-kata, ditulis dengan pena atau pensil, dan semua ini menunjukkan jejak pergulatan yang tak mudah. Sebuah keteladanan yang tentu saja susah dicari padanannya, di era digital yang serba instan ini.
Chairil plagiat, tidak membayar utang kepada kawannya, binal, gemar keluar-masuk kompleks pelacuran. Namun, tujuh dasa warsa lebih setelah kematiannya, kebesaran karya-karyanya tidak juga pudar. Chairil dihujani banyak kritik, tapi semua orang seperti menyediakan ruang maaf yang besar kepadanya. Karena Chairil seperti bagian dari bangsa Indonesia yang pernah ada, dan terus dirindukan.
Oleh: HABIB IDRUS SHAHAB
Baca Juga: Sebelum dan Setelah WS Rendra