tebuireng.co– Berbicara Nahdhatul Ulama (NU), tentu harus berbicara mengenai semangat kebangsaan. Organisasi Islam terbesar di Indonesia ini memasuki usia yang cukup tua dalam perjalanan sebuah organisasi. 99 tahun (16 Rajab 1344 H – 16 Rajab 1443 H) adalah usia yang matang. Setahun lagi memasuki usia yang ke 100 tahun atau 1 abad.
Flasback ke belakang, tidak dapat dipungkiri bahwa NU lahir akibat kegelisahan segenap ulama tentang gejolak yang terjadi di Saudi Arabia yang mengancam situs-situs Islam kala itu yang akan dibumihanguskan oleh kepemimpinan Raja Saud yang lebih memiliki condong kepada ajaran Wahabi yang dibawa Muhammad bin Abdul Wahab. Sehingga umat Islam yang berada di Indonesia terutama dari kalangan tradisional menggugat rencana yang akan dilakukan oleh kepemimpinan Raja Saud tersebut.
Pendirian NU digagas oleh para kiai dari Jawa – Madura yang diprakarsai oleh Hadarastusyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Para ulama kemudian mengadakan pertemuan se Jawa – Madura yang dalam pembahasannya adalah upaya agar Islam Tradisional di Indonesia dapat dipertahankan, situs-situs keislaman di dunia serta sistem bermadzhab tidak dihilangkan. Maka dengan hal itu perlunya wadah khusus sebagai bagian untuk memberikan rekomendasi dan gugatan kepada kerajaan Saudi Arabia yang semakin sewenang-wenang.
Jauh sebelum hal itu, KH. Wahab Chasbullah sebenarnya telah melakukan rintisan organisasi semacam Nahdhatul Wathon yang berdiri pada tahun 1914 M. Menurut Martin Van Bruinessen, Nahdlatul Wathan adalah lembaga pendidikan agama yang memiliki corak nasionalis moderat pertama di Indonesia. Hal ini disampaikan dalam bukunya NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. Dalam perjalanannya Nahdhatul Wathan berkembang pesat dan memiliki madrasah sendiri di tahun 1916 M di Surabaya. Dan terdapat cabang – cabang di berbagai daerah khususnya di Jawa Timur.
Baca juga: Yenny Wahid Minta PBNU Hadir di Masyarakat
Kemudian di tahun 1918 M, KH. Wahab Chabullah memiliki gagasan dalam pendirian Nahdhatut Tujjar, atau kebangkitan para pedagang. Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU menyebutkan tujuan didirikannya organisasi ini sebagai acuan kepada para pedagang muslim agar dapat berdikari dan mandiri secara ekonomi.
Selanjutnya, setahun kemudian, tergagaslah majelis diskusi dan madrasah yang bernama Tasywirul Afkar. Madrasah ini menjadi alat perkembangan pola pikir serta memperdalam ilmu agama bagi anak-anak muda di zaman itu serta memiliki tujuan untuk melestarikan khazanah dan ideologi Islam yang berlandaskan Ahlussunah wal Jamaah. Terkait dengan berdirinya Madrasah Tasywirul Afkar ini, tak lepas dari jerih payah dua ulama yang sangat progresif. Yakni KH. Wahab Chasbullah dan KH. Mas Mansur. Namun, uniknya KH. Mas Mansur kemudian dikenal sebagai tokoh organisasi Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan.
Baca juga: Mengenal NU dan Muhammadiyah
Sebagai organisasi yang lahir dan dibesarkan dalam pangkuan para ulama yang ‘alim dan arif, Nahdhatul Ulama memiliki akar sejarah yang kuat, unik serta memiliki corak khas tersendiri. Nahdhatul Ulama selalu hadir dalam persoalan kebangsaan, dengan cara dan nuansa tradisional kultural yang tentunya hal ini menjadi benteng dan menyelamatkan nilai-nilai kebangsaan republik ini.
Peran dan pengabdian NU atas bangsa ini tidak main-main. Peran yang amat besar telah diberikan kepada bangsa ini sejak negara ini baru akan dibentuk bahkan jauh sekali sebelum itu. Salah satunya adalah perannya dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. NU hadir dengan diwakili KH. Abdul Wahid Hasyim dalam BPUPKI. Dalam konteks ini tidak heran, jika NU yang menjadi panitia sembilan yang diwakilkan oleh Ayah Gus Dur tersebut. Bahkan penyempurnaan sila pertama di dalam pancasila yang berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa adalah salah satu gagasan besar NU yang terwakili oleh KH. Abdul Wahid Hasyim.
Baca juga: Tiga Ulama Pendiri Bangsa dalam Perumusan Pancasila
Selain itu, dalam konteks membela negara dan mempertahankan kemerdekaan. Tatkala bangsa ini sedang kembali digempur penjajah dan penghianat bangsa setelah melakukan proklamasi kemerdekaan, NU mengambil posisi terdepan dalam memfatwakan kewajiban dalam membela tanah air dalam bingkai Fatwa Resolusi Jihad Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Di dalam fatwa Resolusi Jihad tersebut menyebutkan bahwa membela tanah air bagi kaum muslimin adalah Fardhu ‘Ain. Fatwa tersebut menggelora di segala penjuru tanah air dan membangkitkan semangat jihad yang membara atas bantuan orasi dari Bung Tomo yang sebelumnya sowan ke Tebuireng. Hadratusyaikh dalam pesannya kepada Bung Tomo untuk membuka dan menutup orasi dengan pekikan takbir. “Allahu Akbar..Allahu Akbar..Allahu Akbar. Merdeka!”
Selain melengkapi wacana pemikiran pemahaman keagamaan, berdirinya NU merupakan jawaban dari umat Islam untuk berkiprah dalam barisan kebangkitan nasional. KH. Ahmad Sidiq, dalam buku NU Agama dan Demokrasi yang ditulis KH. Ahmad Maschan Moesa menyebutkan bahwa kehadiran NU ialah upaya dalam melembagakan wawasan tradisi keagamaan yang telah dianut sebelumnya yakni Ahlussunah wal Jamaah. Sedangkan Mansur Suryanegara, dalam Api Sejarah mengatakan bahwa berdirinya NU adalah faktor dinamika politik dalam dan luar negeri saat itu sekaligus kebangkitan kesadaran politik yang ditampakkan dalam wujud harakah jamiyyah untuk menjawab kepentingan nasional dan dunia Islam pada umumnya.
Perjuangan dalam merebut kemerdekaan dan mempertahankannya adalah usaha bersama melalui pembentukan Hizbullah dan Sabilillah, masuk jajaran BPUPKI dan berkontribusi dalam perubahan butir pancasila hingga Resolusi Jihad dan masih banyak lagi kontribusi besar bagi bangsa ini, adalah sebuah perwujudan dari gerakan politik kebangsaan yang terwadahi secara baik oleh jamiyyah Nahdlatul Ulama. Sehingga menjadikan jamiyyah ini sebagai sarana untuk memberikan kemaslahatan bagi bangsa dan negara.
Dalam rangka Harlah menuju 1 abad NU dengan tema Merawat Jagat, Membangun Peradaban adalah benar-benar sebagai perwujudan komitmen sungguh-sungguh Nahdahtul Ulama kepada Negara. dalam 1 abad, NU telah membuktikan pengabdiaanya bahwa tak ada kepentingan selain Maslahatul ‘Ammah, tak ada kontribusi selain kontribusi bagi semua lapisan bangsa, khususnya bagi Islam dan kemanusiaan serta lingkungan alam yang ada di darat, laut maupun udara.
Oleh karena itu, usia 99 tahun dalam kalender Hijriyah dalam Harlah ini adalah sebuah motivasi besar karena NU sebentar lagi akan berusia 1 abad dan tentunya akan membangun peradaban baru di era tekhnolgi.
Menutup tulisan ini, kami mengutip syair yang digubah oleh KH. Afifudin Muhajir untuk Nahdhatul Ulama:
يا نهضة العلماء أنت وسيلة * يوصل بها لرضاء أرحم راحمين
Wahai Nahdlatul Ulama, engkau adalah wasilah yang mengantarkan pada ridha Allah, Dzat Maha Pengasih
Oleh: Ari Setiawan. Santri Tebuireng dan Mahasiswa Pascasarjana Institut Pesantren KH. Abdul Chalim Pacet Mojokerto