Musibah dan wabah kadang datang tanpa pamitan. Manusia mau tidak mau harus mempersiapkan diri menghadapi hal tersebut. Yang menarik adalah bagaimana tasawuf mengajarkan kaum sufi memandang dan bersikap saat mendapati musibah.
Namun sebelum membahas terlalu jauh, ada baiknya kita bahas dulu arti kata tasawuf itu sendiri. Menurut Syaikh Qosim An-Nasrobadzi, pokok ajaran Tasawuf adalah berpegangan pada Al Quran-Hadis, meninggalkan kesenangan nafsu, mengagungkan kehormatan guru, mengamalkan wirid secara rutin, meninggalkan melakukan kemurahan (rukhshah) dalam pelaksanaan agama, dan meninggalkan mengartikan sesuatu dengan pendapat sendiri yang dipengaruhi nafsu – dalam istilah sufi disebut takwil.
Sementara itu, menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Kifayatul Atkiya’ hal 27, beliau menjelaskan bahwa jalan menuju Allah Swt yang paling dekat adalah berpegang teguh pada undang-undang pengabdian kepada Allah, berpegang pada syariat Islam, dan tegak di atas takwa yang bagus. Ini jalan para sufi yang menyelami dunia tasawuf.
Dari pengertian di atas, dapat kita ambil satu kesimpulan bahwa orang-orang yang ahli tasawuf adalah manusia yang mendapat bagian paling sempurna dalam mencintai Allah Swt dan mengikuti Rasulallah Saw. Tasawuf terikat dengan pokok-pokok Al Quran dan Hadis, sehingga barang siapa yang tidak menjaga Al Quran dan Hadis maka ia tidak dapat diikuti dalam persoalan tasawuf, karena sesungguhnya ilmu tasawuf terikat kuat dengan dua pusaka tersebut. Jalan menuju Allah tertutup semua, kecuali bagi orang yang mengikuti jejak Rasulallah.
Seorang salik (orang yang menempuh jalan sufi) wajib menjaga sunnah dan adab yang datang dari Rasulallah Saw, karena jalan menuju Allah adalah mengikuti Rasulallah dalam perkataan, perbuatan, dan tingkah lakunya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 31: “Katakanlah apabila kamu sekalian mencintai Allah maka ikutilah aku, maka kamu sekalian akan dicintai Allah dan Allah mengampuni dosa-dosamu, Allah adalah Maha Pengampun dan kasih sayang.”
Tawakal Menghadapi Musibah
Salah satu sifat yang harus ada pada pribadi orang tasawuf dalam menghadapi musibah adalah tawakal pada Allah. Apabila seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dan ingin meningkatkan derajatnya di sisi-Nya, maka ia harus berserah diri kepada Allah dengan penuh percaya kepada janji-Nya dan berpegang teguh atas kesempurnaan, kemurahan, dan kasih sayang-Nya.
Ulama sufi (orang yang beraliran tasawuf) memiliki beragam definisi dalam penyampaian arti tawakal.
Menurut Al-Alamah As-Suhaimi, tawakal ialah berpegang teguh kepada Allah Swt dan mengharapkan rezeki dari-Nya, karena memandang (meyakini) rezeki dari hasil usaha adalah kufur.
Sejalan dengan penjelasan ini, Dzun-Nun Al-Mishri (tokoh tasawuf papan atas) mengatakan tawakal ialah meninggalkan (tidak) mengatur dirinya sendiri dan lepas dari merasa mempunyai daya dan kekuatan dengan tidak meyakini ada seseorang yang mempunyai daya dan kekuatan tanpa pertolongan Allah.
Dari penjelasan ini, bisa kita ambil kesimpulan bahwa tawakal terbagi menjadi dua tingkatan, yaitu tawakal al-‘ammah dan tawakal al-khashshah.
- Tawakal al-‘ammah ialah tingkatan seseorang yang masih melakukan usaha (sabab) dan menyerahkan keberhasilannya kepada Allah.
- Adapun tawakal al-khashshah adalah tingkatan ketika seseorang sudah meninggalkan usaha (sabab) karena penuh percaya kepada janji Allah.
Dalam kehidupan sehari-hari, baik saat mendapat cobaan atau tidak, seseorang yang berkeluarga memiliki ketentuan hukum yang berbeda dengan seseorang yang hidup sendirian dalam kaitannya dengan penerapan tawakal. Orang yang hidup sendirian diperbolehkan menerapkan tawakal al-khashshah dan meninggalkan usaha jika ia mampu menanggung lapar tujuh hari dengan tidak mengharapkan pemberian dari seseorang dan tidak merasa sempit hatinya.
Berbeda dengan orang yang berkeluarga. Baginya, haram untuk hanya duduk berpangku tangan dan tidak memperhatikan urusan keluarganya dengan alasan tawakal dalam hak keluarga. Dengan kata lain, seorang yang memiliki kewajiban menafkahi keluarganya sebisa mungkin produktif, karena dirinya dilarang memaksa keluarganya agar sabar menderita kelaparan karena hal itu dapat menyebabkan kehancuran keluarga dan ia akan mendapat siksa sebab menyia-nyiakan keluarga. Hal ini juga berlaku saat keluarganya terancam bahaya atau musibah sedangkan ia memaksa keluarganya untuk tidak melakukan usaha apapun dengan alasan tawakal.
Selaras dengan hal di atas, seorang salik tidak boleh meninggalkan usaha dan hanya meminta-minta kepada orang lain, karena hal itu mengakibatkan harga dirinya hancur dan derajatnya runtuh di sisi Allah. Ulama-ulama sufi sepakat bahwa perbuatan meminta-minta adalah perbuatan yang tercela dengan alasan bahwa meminta-minta dapat meruntuhkan martabat dan derajat seseorang.
Sampai di sini timbul pertanyaan lanjutan, mana yang lebih utama di antara usaha (sabab) dan tawakal?
Usaha dan Tawakal
Berkaitan dengan hal ini, Imam Ghazali memberikan penjelasan lebih lanjut yang terperinci dengan melihat orang yang bersangkutan. Pertama adalah ketentuan bagi seseorang yang menghabiskan waktunya hanya untuk beribadah kepada Allah seperti berpikir, berzikir, dan lain sebagainya, sedangkan usaha akan menggangunya untuk melakukan ibadah. Di sisi lain, nafsunya tidak mengharapkan suatu pemberian dari makhluk dan hatinya juga tidak merasa marah apabila ternyata rezekinya sulit. Dalam kedaan seperti itu, maka meninggalkan usaha (sabab) lebih utama bagi orang yang bersangkutan karena di dalamnya terdapat sifat sabar dan memerangi nafsu.
Ketentutan tersebut berbeda untuk orang yang hatinya goncang dan merasa marah ketika sulit memperoleh rezeki dan mengharap pemberian dari masyarakat. Untuknya, usaha (sabab) lebih utama daripada berdiam diri.
Syaikh Ali Al-Jaizi dalam kitab Tuhfatul Khowash memberikan nasihat terkait upaya untuk memperoleh (menghasilkan) rasa tawakal. Upaya tersebut adalah selalu mengingat-ingat lima hal secara terus menerus.
Lima hal itu adalah:
- Memandang (meyakini) bahwa Allah mengetahui keadaan hamba, seperti lapar dan sejenisnya, walaupun hamba itu di bawah bumi yang ketujuh atau berada di sudut dunia paling jauh.
- Meyakini kesempurnaan kekuasaan Allah.
- Memandang (meyakini) bahwa Allah bersih dari sifat lalai dan lupa.
- Meyakini bahwa Allah bersih dari sifat ingkar janji.
- Memandang (meyakini) bahwa gudang kekayaan Allah tidak pernah berkurang selamanya.
Melalui penjelasan panjang di atas, menjadi tepat apabila kita mengkoreksi diri dan mengukur kemampuan diri masing-masing, untuk kemudian digunakan sebagai pertimbangan dalam memilih kategori tawakal, antara tawakal al-‘ammah dan tawakal al-khashshah. Akan sangat berbahaya apabila seseorang yang masih berada di makam al-‘ammah memaksa diri untuk masuk dalam makam al-khashshah. Begitu juga sebaliknya, orang yang sudah sampai pada derajat tawakal al-khashshah jangan sampai menghinakan diri dengan melakukan hal yang membuat ibadahnya berkurang. Intinya adalah memahami posisi masing-masing.
Koreksi diri seperti itu dapat mencegah diri dari penundaan ibadah dan mencegah dari sikap menganggap ringan persoalan agama. Berkaitan dengan hal ini, Amirul Mukminin Umar bin Khatthab Ra mengingatkan semua manusia untuk melakukan koreksi diri masing-masing sebelum dikoreksi (dihisab). Bahkan, Maimun bin Mihron mengingatkan lebih keras lagi, bahwa seorang hamba tidak dikatakan bertakwa sebelum ia mengoreksi dirinya sebagaimana ia mengoreksi temannya atas asal-usul makanan dan pakaiannya. Wallahu a’lam.
Oleh: Syarif Abdurrahman