Ramadan tiba sebentar lagi. Tentunya umat Islam akan sangat gembira dalam menyambutnya. Bagaimana cara menyambut Ramadan menurut sudut pandang Prof Quraish Shihab dan Gus Baha?
Dalam satu kesempatan tentang pembahasan menyambut Ramadan, Prof Dr M Quraish Shihab menjelaskan bahwa “Marhaban” itu dari kata rahab, yang berarti lapang, tamu yang datang kita sambut dengan lapang dada.
Sedangkan arti rahab yang kedua ialah tempat mengambil bekal. Orang musafir membawa kendaraan, lalu ada tempat lapang atau luas untuk mengambil bekal atau memperbaiki kendaraan. Kita katakan Marhaban ya Ramadan, bukan sekedar hati lapang menerimamu (Ramadan) tetapi juga kita bersedia mengambil bekal menuju akhirat dan memperbaiki apa yang salah dari niat dan tingkah laku kita.
Jadi, sebenarnya menjelang Ramadan itu kita harus melakukan introspeksi. Apa yang selama ini kita lakukan, apa yang salah, kurang, apa yang perlu diperbaiki.
KH A Bahauddin Nursalim (Gus Baha) juga memberi penjelasan bahwa tradisi kami di pesantren kalau satu kiai mengajar satu atau dua kitab setelah shalat fardhu, tetapi kalau di Ramadan itu mengajar secara penuh. Terkadang setelah Isya’ mengajar dua kitab, atau setelah Subuh dua kitab.
Menurut Gus Baha, hal ini untuk melengkapi pengetahuan orang Indonesia, agar dapat berkahnya Ramadan, kita ini belajar kitab atau membacakan ke masyarakat supaya tahu niatnya orang-orang (ulama) terdahulu ketika berpuasa atau cara pandangnya tentang puasa.
Di antara ijazah dari KH Maimun Zubair dan juga ayah Gus Baha yaitu KH Nur Salim al-Hafidz:
ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
Artinya: “Bimbinglah kami ke jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat…” (Q.S. Al-Fatihah 6-7)
Jadi, kita tidak bisa saleh tanpa meniru ulama-ulama terdahulu. Kita tidak bisa baik tanpa meniru ulama terdahulu. Karena di ayat itu Allah SWT tidak berfirman ihdina sirothol mustaqim, shirothoka, jalan-Mu, tetapi jalan mereka yang telah Engkau beri nikmat.
Gus Baha menjelaskan, jadi Allah menghendaki bahwa ini ada master-master-nya atau gurunya. Seperti Prof Quraish punya master Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy. Sedangkan, Gus Baha punya master KH Maimun Zubair. Jadi, setelah membaca Fadailul Ramadan versi ulama-ulama dulu, kita akan tahu cara pandang Ramadan secara benar karena meniru ulama-ulama terdahulu.
Salah satunya paling tidak, kita dengan puasa akan merasa lapar, tahu betapa sakitnya orang-orang miskin yang lapar. Merasa menghormati makanan karena begitu nikmat, ketika kita melihat makanan yang kita sepelekan di selain Ramadan, ketika Ramadan menjadi spesial semua. Bahkan, air putih pun spesial, sekadar pisang goreng pun spesial.
Dan itu hebatnya Rasulullah Saw, ketika memuji Ramadan dengan hal-hal yang lumrah atau wajar.
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ
Artinya: “Ada dua kebahagiaan bagi orang yang bepuasa, pertama ketika dia berbuka puasa dan kebahagiaan kedua yaitu ketika dia bertemu dengan Tuhan-Nya.”
Nabi membayangkan manusia itu setinggi apapun hebatnya, ternyata kebutuhan pokoknya ialah makanan itu. Jadi, ketika berbuka itu senang sekali meskipun tidak punya mobil mewah dan uang banyak. Sekadar bertemu makanan itu senang sekali. Sesuap makanan pun sangat berarti. Di sini ada syukur yang luar biasa. Itu kalau kita tidak membaca literatur-literatur ulama terdahulu mungkin kita tidak akan tahu.
Maka, dari dua keterangan di atas, kita sebagai seorang muslim ketika akan menyambut bulan suci Ramadan harus memperbanyak introspeksi diri dan mempelajari keilmuan ulama terdahulu tentang cara pandang memaknai Ramadan. Semoga bermanfaat.
Penulis: M Sutan Alambudi
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan
Baca Juga: Memperbanyak Niat Baik di Bulan Ramadan