Bukti Eksistensi Kritik Matan Membungkam Pemikiran Orientalis – Asumsi orientalis yang skeptis terhadap keorisinilan hadis dan tuduhan mereka bahwa hadis disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. tidak lain hanya untuk melegitimasi doktrin suatu madzhab atau kepentingan politik sangat menarik perhatian para pengkaji Islam, terlebih pembela sunnah untuk mendebat secara intelektual.
Dalam Al-Qalam, Jurnal Ilmiah Keagaamaan dan kemasyarakatan yang berjudul “Persoalan Otentisitas Hadis Perspektif Ignaz Goldziher” Syarifuddin dan Moh. Zaiful Rosyid mengemukakan dua diantara beberapa alasan yang mendasari skeptisisme Goldziher terhadap Hadis. Masalah tentang kodifikasi Hadis dan Kritik matan.
Pengkodifikasian Hadis yang baru dilakukan pada abad ke-2 Hijriyah membawa Goldziher kepada pemahaman bahwa Hadis adalah dokumen perkembangan Islam yang tidak bisa dikatakan semuanya bersumber dari Rosulullah saw. Rentang jarak dan waktu antara masa Rosulullah dengan pengkodifikasian Hadis memberi peluang bagi seorang tokoh yang fanatik terhadap suatu madzhab untuk membuat Hadits sebagai legitimasi pendapat mereka.
Kontradiksi pendapat tentang boleh tidaknya pembukuan Hadis juga menjadi alasan kritik Goldziher bahwa keraguan dalam meyakini keaslian Hadis sudah ada sejak masa Rasulullah, sahabat, dan tabi’in.
Baca Juga: Ignaz Goldziher dan Kritiknya Terhadap Hadis
Dalam hal ini, Muhammad Abu Zahw dalam kitabnya al-Hadits wa al-Muhadditsun menjelaskan bahwa pelarangan yang disampaikan oleh Nabi Saw. dikarenakan untuk mencegah terjadinya percampuran antara Al-Qur’an dan Hadis melihat terbatasnya masyarakat Islam yang mengenal tulisan saat turunnya wahyu. Pendapat lain mengatakan larangan tersebut karena dikhawatirkan para sahabat bergantung pada tulisan dan meninggalkan kebiasaan menghafal.
Selain itu, para ulama Hadis tentu menyeleksi dengan ketat Hadis yang diriwayatkannya. Namun, Goldziher lagi-lagi mengklaim bahwa metode yang dilakukan mereka lemah, dikarenakan hanya meneliti secara sanad tanpa mengaplikasikan metode kritik matan.
Hal ini kemudian dibantah oleh temuan Jonathan Brown, seorang sarjana Barat-Muslim yang mengungkap sampel-sampel bukti eksisitensi kritik matan pada masa awal. Amrulloh dalam tulisannya “Eksisitensi Kritik Matan Masa Awal, Membaca Temuan dan Kontribusi Jonathan Brown” menyebutkan sampel tersebut.
Pertama, dalam karya-karya Imam Al-Bukhori. Salah satunya di dalam kitab al-Tarikh al-Kabir Imam al-Bukhori mencatat bahwa Muhammad bin Abdurrahman bin Yuhannas meriwayatkan Hadis dari Yahya bin Abi Sufyan dari Hukaymah binti Umayyah dari Ummu salamah, dari Nabi Saw. : “Barang siapa melaksanakan haji atau umrah ke Masjidil Haram dari Masjidil Aqsha, maka dosa yang telah lalu akan diampuni”. Al-Bukhori menyatakan, “Hadis ini tidak memiliki pendukung (la yutaba’u ‘alaihi) dalam kaitannya dengan ketentuan Nabi tentang Dzul Hulayfah dan al-Juhfah, Nabi memilih memulai Haji dari Dzul Hulayfah (Madinah)”. Yang menarik untuk diperhatikan dalam hal ini adalah meskipun Imam Al-Bukhori menolak Hadis ini, ia tak melakukan apapun untuk mengkritik perawinya.
Kedua, dalam kitab al-Tamyiz karya Imam Muslim. Imam Muslim mengkritik sebuah redaksi Hadis yang mana Ibn Abbas muda bergabung dengan Nabi yang sedang sholat, lalu Nabi memindah posisinya supaya berada di sebelah kiri Nabi. Muslim menyatakan bahwa Sunnah Nabi dalam riwayat-riwayat Ibn Abbas lainnya meredaksikan bahwa seseorang yang mengerjakan shalat dengan imam itu berdiri di sebelah kanannya, bukan sebelah kirinya.
Ketiga, dalam kitab al-Ma’rifah wa al-Tarikh karya al-Fasawi. al-Fasawi mengkritik sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Zayd bin Wahb. Suatu hari Hudaifah bin al-Yaman ditanya oleh Umar bin Khattab, apakah Nabi juga menyebutkan ia sebagai salah satu dari mereka. Hudaifah menjawab, “Tidak, dan saya tidak akan mengkorfirmasikan kepada siapapun setelah anda ini.” al-Fasawi berkomentar, “Ini musathil, dan aku khawatir itu merupakan kebohongan. Umar adalah salah satu prajurit perang Badar yang telah Al-Qur’an nyatakan mencapai keselamatan.”
Keempat, dalam kitab Ahwal al-Rijal karya al-Juzajani. al-Juzajani mengkritik sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh ‘Ashim bin Damroh bahwa Ibn Umar menyatakan bahwa Nabi biasa mengerjakan 16 rakaat shalat sunnah dalam sehari. al-Juzajani menegaskan bahwa jumlah ini tidak pernah diriwayatkan oleh sahabat Nabi, sedangkan yang umum tersebar di kalangan umat Islam berjumlah 12 rakaat sebagimana diriwayatkan oleh Aisyah ra. dan 10 rakaat riwayat Ibn Umar. Jika seseorang menyangkal dan menghadirkan kemungkinan bahwa Nabi mengungkapkan sebuah hikmah yang tidak diungkapkan lagi setelahnya dan hanya dihafal oleh satu orang, al-Juzajani menyatakan mungkin ini benar, akan tetapi menurut ‘Ashim Nabi biasanya akan mengulangi jumlah rakaat ini. Maka, hal ini tidak dapat disamakan.
Kelima, dalam kitab Shahih Ibn Khuzaimah. Badr al-Din al-Zarkasi mengutip kritik Ibn Khuzaimah terhadap Hadis yang menjelaskan bahwa seorang imam sholat yang berdoa untuk dirinya sendiri sedang ia mengimami khalayak umum, maka ia dianggap telah berbuat curang kepada mereka. Ibn Khuzimah mengemukakan bantahan dengan menghadirkan Hadis yang meriwayatkan bahwa Nabi ketika menjadi Imam untuk khalayak berdoa, “ Ya Allah, jauhkanlah aku dari kesalahanku”.
Keenam, dalam karya-karya Ibn Hibban. Salah satunya, Ibn Hibban dalam kitab al-Majruhin min al-Muhadditsin al-Dhu’afa wa al-Matrukin mencatat Aban bin Sufyan al-Maqdisi meriwayatkan 2 Hadis palsu. Diantaranya, sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Nabi melarang sholat di depan seseorang yang sedang tidur atau yang sedang dalam keadaan berhadas. Ibn Hibban menyangkal, “Bagaimana bisa Nabi melarang orang sholat di depan arah orang yang tidur, sedangkan Nabi sendiri biasa mengejakan sholat ketika Aisyah berbaring di antara beliau dan arah kiblat”
Demikian pembahasan tentang bukti eksistensi kritik matan membungkam pemikiran orientalis.
Oleh : Himmayatul Husna, Mahasiswi Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng.