Buah dari khidmah seorang mahasantri akan ditandai dengan dimanapun mereka berada, pasti akan ada perubahan. Celah-celah ruang akan ditutup dan disempurnakan oleh mereka.
Pemerintah sedang gencar memberikan perhatian terhadap pesantren. Setelah beberapa kali membuka peluang beasiswa bagi para santri, mendorong guru diniyah untuk melanjutkan jenjang studi, geser pengesahan kebijakan undang-undang pesantren, pengesahan terhadap lembaga pendidikan Ma’had Aly yang setara perguruan tinggi, Muallimin yang setara dengan MTs-MA, bahkan mendorong perguruan tinggi negeri dan swasta untuk mendirikan pondok mahasiswa yang disahkan dengan nama “Ma’had al-Jami’ah” sebagaimana dalam modul Kementerian Agama 2021.
Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng baru memiliki tiga gedung untuk menampung para mahasiswa yang nyantri dengan heterogenitas latar belakang dan fakultas yang ada. Perhatian pemerintah tersebut tidak lepas dari sejarah keberhasilan pesantren mengawal pendidikan bangsa sehingga layak dijadikan cermin.
Ma’had al-Jami’ah (MJ) atau pondok mahasiswa adalah laboratorium yang memiliki potensi sangat besar. Kerjasama antar mahasiswa dari berbagai fakultas dalam satu pondok dapat melahirkan kreativitas yang luar biasa. Misalkan, mahasantri MJ-Unhasy pada 2022 menunjukkan kerja tim yang sangat menghibur. Ada satu mahasiswa fakultas bahasa Arab atau PAI menerjemahkan kitab, fakultas bahasa Indonesia yang mengedit naskah, fakultas teknik membuatkan desain dan layout untuk siap jadi buku, dan fakultas manajemen dan ekonomi mengonsep distribusi. Karya “Puasa: Kado Spesial untuk Allah” adalah satu karya yang mereka lahirkan.
Dalam perawatan sarana prasarana gedung ma’had seperti pompa air, mesin pemotong rumput, mahasiswa fakultas teknik mesin siap terjun. Bisa dibayangkan bila semakin banyak fakultas dengan semangat pemuda yang mereka miliki, menembus berbagai jurnal bahasa asing, minimal Arab-Inggris, menciptakan bermacam robot dengan konsep pemasaran yang memukau, membuat bahan ajar visual yang menarik buat anak usia dini, dan tentu konsisten berladaskan nilai-nilai pesantren yang mereka miliki.
Heterogenitas mahasiswa itu diikat dengan nilai-nilai keislaman yang ramah, moderat, akhlakul karimah, dan pemikiran para founding fathers bangsa dari kalangan pesantren seperti Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari– yang oleh Asad Syihab disebut sebagai pendiri bangsa, wāḍi’u lubnan–. Kajian bandongan kitab Syamāil Rasūlillah susunan Imam at-Tirmidzi dan Risālah Ahlussunnah karya Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari menjadi upaya nyata penanaman nilai-nilai tersebut, pengikat keharmonisan hidup bersama dalam satu kamar dan satu gedung.
Tentu, keberhasilan setiap usaha tidaklah seratus persen. Dari wacana, wawasan menuju pada tindakan tidak bisa ditempuh dalam waktu singkat. Keterpanggilan dan keterlibatan mahasantri untuk berkreasi lebih mendalam terlihat ketika mereka mendapatkan amanah, tanggung jawab sebagai pengurus. Sebelum menjabat, hanya satu dua yang melibatkan diri secara aktif menyambut setiap gerakan yang dilakukan oleh para mahasantri-pengurus; juga demikian sebaliknya, satu dua pengurus yang mengemban amanah, terkadang malah abai. Upaya dalam menangani problem bersama seakan hanya menjadi tanggung jawab mahasantri-pengurus; dan segelintir mahasantri-penghuni yang merasa terpanggil karena kedekatan persahabatan.
Bila menengok realitas, spesialisasi jurusan yang diambil mahasiswa tidaklah seratus persen menentukan masa depan. Bahwa alumni fakultas pendidikan tidak mesti menjadi guru, tidak mesti alumni hukum menjadi pengacara, dan seterusnya. Keterpanggilan dan keterlibatan mahasiswa dalam banyak gerak-aktivitas lah yang dominan berpengaruh. Maka ungkapan “20% ilmu yang diperoleh dari bangku kuliah dan sisanya dari luar kelas” benarlah adanya. Mengasah keterpanggilan hati dan keterlibatan dari dalam diri mahasantri itu yang membutuhkan waktu tidak sebentar.
Di pesantren, keterpanggilan dan keterlibatan lebih akrab dengan istilah khidmah, serves, atau pengabdian diri kepada lembaga dan orang-orang di sekitar. Semakin mahasantri sering terlibat, maka semakin gesit melakukan gerak refleks kepedulian dan mengisi kekosongan ruang. Misalnya, dalam roan (kerja bakti) mahasantri yang sering terlibat, ia akan mengambil ruang-ruang yang belum dikerjakan oleh orang lain, sedangkan yang biasa abai dan masih pemula akan terlihat diam dan tidak mengerti harus berbuat apa dari banyaknya orang yang sedang bekerja; atau ketika sedang menghelat acara seminar, panitia yang biasa terlibat akan gesit menutup kekurangan-kekurangan ruang yang dapat menghambat keberlangsungan acara, sehingga prosesi seminar dapat berlangsung sesuai harapan. Sedangkan, panitia pemula atau yang tidak terbiasa terlibat, ia akan kebingungan menempatkan diri, diam dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan sehingga kemudian abai.
Semakin mahasantri sering melakukan khidmah terhadap lembaga, semakin terasah dan semakin gesit dalam menutup ruang-ruang kosong sehingga perjalanan suatu program atau kemajuan lembaga dapat terlihat signifikan. Bila khidmah terus dilakukan oleh mahasantri, maka mendekati kelulusan (wisuda), mereka tidak akan kebingungan hendak melakukan apa atau harus ngapain. Refleks dalam diri mereka akan menggerakkan tubuh secara otomatis mengisi kekosongan-kekosongan ruang dimanapun mereka menetap, dimanapun mereka tinggal. Tanda dari mahasantri-mahasantri seperti ini, dimanapun mereka berada, pasti akan ada perubahan. Celah-celah ruang akan ditutup dan disempurnakan oleh mereka.
Baca Juga: Mahasiswa Kosan dan Masyarakat