Kremasi adalah salah satu cara menghilangkan jenazah dengan cara dibakar hingga menjadi abu. Kremasi bisa dilakukan di krematorium maupun di satra pada upacara Ngaben di Bali. Namun, bolehkah jenazah muslim dikremasi menurut pandangan Islam?
Pada 26 Juni 2001, Darul Ifta Al-Mishriyyah mengeluarkan fatwa mengenai praktik kremasi untuk jenazah muslim dengan nomor 1896. Menurut seorang mufti Darul Ifta, Dr Nashr Farid Washil, ulama memiliki pendapat yang sama tentang kehormatan dan kemuliaan manusia ketika hidup dan saat meninggal. Sebagaimana yang tertuang dalam surat Al-Isra ayat 70 yang artinya, “Sungguh, kami telah muliakan anak adam.”
Menurut Dr Washil, pemakaman di liang lahat atau kubur dengan menggunakan cara syariat yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW merupakan salah satu bentuk kehormatan untuk manusia yang sudah meninggal.
فلا يجوز بحالٍ إحراقُ جثث موتى المسلمين، ولم يُعرَف الحرقُ للجثث إلا في تقاليد المجوس، وقد أُمِرنا بمخالفتهم فيما يصنعون مما لا يوافق شريعتنا الغراء. ومما سبق يعلم الجواب عن السؤال
Artinya: “Praktik kremasi jenazah umat Islam tidak bolehkan dalam keadaan apapun. Kremasi tidak dikenal kecuali dalam tradisi Majusi. Sedangkan kita diperintahkan untuk menyalahi apa yang mereka lakukan, yaitu praktik yang tidak sesuai dengan syariat kita yang mulia.”
Namun, bagaimana jika almarhum telah mewasiatkan kepada keluarga atau kerabat yang ditinggalkan agar jenazahnya dikremasi sedangkan ia adalah seorang muslim?
Fatwa Al-Azhar melalui Husnaini M Makhluf pada 29 Juli 1953 telah mengeluarkan fatwa bahwa praktik kremasi pada jenazah muslim tidak diperbolehkan menurut syariat. Begitupun, meski almarhum telah mewasiatkan kepada yang hidup agar jenazahnya dikremasi.
ولو أوصى إنسان بذلك فوصيته باطلة لا نفاذ لها
Artinya: “Jika seseorang berwasiat untuk itu (praktik kremasi untuk jenazahnya), maka wasiatnya batal yang tidak perlu dieksekusi.”
Pada prinsipnya, tidak diperbolehkannya jenazah untuk dikremasi merupakan salah satu bentuk besarnya penghormatan agama islam terhadap manusia baik ketika masih hidup maupun ketika sudah meninggal. Hal ini sesuai dengan salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud berikut :
حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ سَعْدٍ يَعْنِي ابْنَ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
Artinya:”Telah menceritakan kepada kami Al Qa’nabi, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Sa’d bin Sa’id? dari ‘Amrah binti Abdurrahman dari Aisyah bahwa Rasulullah ﷺ berkata, “Mematahkan tulang orang yang mati seperti halnya mematahkannya ketika ia masih hidup.” (HR.Abu Dawud).
Penulis: Rindi Andriansah
Editor: Thowiroh
Baca juga: Kriteria Jenazah Tidak Wajib Dimandikan dan Disholati, Apa Saja?