• About
  • Kontak
  • Privacy & Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Media
Tebuireng Initiatives
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Toko >>
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Toko >>
No Result
View All Result
Tebuireng Initiatives
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Toko >>
LSPT
Home Pesantren Kiai

Biografi KH Djamaluddin Ahmad Tambakberas

Syarif Abdurrahman by Syarif Abdurrahman
2022-02-24
in Kiai, Tokoh
0 0
0
Biografi KH Djamaluddin Ahmad Tambakberas

Biografi KH Djamaluddin Ahmad Tambakberas

Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp
LSPT

tebuireng.co – Biografi KH Djamaluddin Ahmad Tambakberas. Beliau bernama Moch Djamaluddin bin Achmad bin Hasan Mustajab bin Hasan Musthofa bin Hasan Mu’ali. Lahir pada tanggal 31 Desember 1943 di kampung Kedungcangkring, Desa Gondanglegi, Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk. Ayahnya bernama Achmad bin Hasan Mustajab dan ibunya bernama Hj. Mahmudah/Djumini (nama sebelum haji) binti Abdurrahman bin Irsyad bin Rifa’i. Kiai Djamaluddin Ahmad adalah anak ketiga dari empat bersaudara, yaitu:

  1. Imam Ghozali (meninggal pada usia 6 tahun)
  2. Jawahir
  3. Moh. Djamaluddin
  4. Zainal Abidin

Masa Kecil

Di waktu kecil sebelum sekolah di SR (SD sekarang), Kiai Djamaluddin Ahmad kecil senang tidur di rumah kakeknya dari ibu yang bernama Abdurrahman dan neneknya yang bernama Ummi Kultsum binti Kiai Tamyiz Banten. Ini disebabkan karena kakek dan neneknya suka bercerita tentang Nabi-Nabi dengan dilagukan tembang-tembang jawa, sampai sekolah di SR masih suka tidur di rumah kakeknya dan bila siang hari suka mengikuti kakeknya.

Sekitar tahun 1952, Kiai Djamaluddin kecil kalau malam hari mengaji di Pondok Selorejo Peduluhan Combre, Desa Gondanglegi, yang diasuh oleh Kiai Abu amar. Suatu saat selama berbulan-bulan mengaji di tempat KH Abdul Djalil Gondanglegi, suatu saat lagi selama berbulan-bulan mengaji di KH Abdul Ghofur yakni adik dari neneknya sendiri.

Semenjak dari usia itu diluar kegiatan belajar, di sore hari suka memancing dan kalo malam hari sehabis mengaji sering diajak teman-temannya yang sudah dewasa melihat wayang kulit, sehingga dari itu ia punya hasrat untuk belajar di pesantren karena diilhami dari nonton wayang kulit yang kebetulan lakonnya adalah Raden Abimanyu yang berguru pada eyangnya Begawan Abiyoso, karena dirasa Raden abimanyu seperti santri dan Begawan Abiyoso seperti kiai yang memakai serban yang selalu membawa tongkat dan selalu diikuti oleh seorang cantrik.

Setelah tamat SR, ia ingin belajar di Pondok Pesantren Tambakberas Jombang atas saran pamannya yang bernama Suhat, karena pamannya ini belajar di sana dan khidmah di rumah KH Abdul Fattah. Di waktu akan berangkat ke pondok, ia berpamitan kepada Kiai Abu Amar, Kemudian Kiai Abu Amar berwasiat, “Djamal, kowe nek mondok niatmu opo?” Beliau menjawab “Dereng saget Mbah.” Kiai Abu Amar menjawab “Kowe nek mondok ojo pisan-pisan niat dadi wong pinter, nanging niato golek ilmu sing manfaat.”

Setelah berpamitan pada Kiai Abu Amar, kemudian sowan kepada KH Abdul Ghofur yang berwasiat “Djamal ngertenono ilmu seng manfaat iku contone koyok banyu, banyu kuwi ora demen manggon ing tanah kang duwur, neng demen manggon ing tanah kang endek lan tanah kang ledok, tegese ilmu seng manfaat kuwi mung seneng manggon ono ing ati kang andap asor lan toto kromo, mulane mbeso’ kapan wes nang pondok bisoho dadi kesete santri.”

Ketika berpamitan kepada ibunya, ibunya merasa keberatan karena merasa tidak mampu memberikan biaya untuk belajar di pondok, akhirnya selama 5 hari, setiap pagi ia menangis di telapak kaki ibunya untuk diberikan restu belajar di pondok pesantren. Akhirnya ibunya memberikan restu juga dengan janji memberikan bekal yang sangat minim.

Pada waktu berangkat, seperti santri-santri yang lain, ia juga membawa beras, kelapa dan sedikit uang, berangkat dari rumah diikuti oleh ayah dan ibunya menuju ke jalan raya untuk menunggu kendaraan, mulai dari rumah sampai ke jalan raya selalu disertai tangisan dari kedua orang tuanya lebih-lebih ibunya. Akhirnya sampailah ia di pondok Tambakberas Jombang, adapun bekal yang sangat minim tadi, setelah cukup untuk membayar becak, persyaratan-persyaratan masuk pondok dan madrasah, uang itu habis tinggal beberapa rupiah saja, untung dari rumah membawa beras dan kelapa sehingga cukup untuk hidup beberapa bulan.

Masa Pendidikan

Kiai Djamaluddin berangkat ke Pondok Pesantren Tambakberas Jombang pada pertengahan 1956, masuk MI di kelas II dan dipertengahan tahun langsung masuk kelas III. Karena pondok mulai membangun Madrasah Mu’allimin, maka murid kelas I Mu’allimin diambil dari murid kelas VI MI, otomatis kelas V menjadi kelas VI, kelas IV menjadi kelas V dan kelas II menjadi kelas III.

Selama di Tambakberas bekalnya selalu kekurangan, pernah selama beberapa bulan terkadang sampai setahun hanya memasak nasi dan untuk lauknya hanya merebus air yang diberi garam, ketumbar, dan merica saja, terkadang dari ibunya disuruh membawa kedelai dan tepung untuk membuat rempeyek di pondok dan jika sudah habis maka keadaan akan kembali seperti semula, terkadang pula selama beberapa bulan hidup dengan cara lain yakni kalau pagi membeli sepotong singkong rebus dan kolak kacang hijau satu mangkok begitu pula di sore hari.

Pada pagi hari yang kedua seperti itu juga dan pada sore hari yang kedua membeli nasi satu piring dan minum air kendi, Namun, ternyata itu semua belum cukup untuk memenuhi kebutuhan perutnya sehingga bila malam tiba setelah pukul 12 malam, ia mencari sisa-sisa intip nasi yang masih tersisa di kendil masak.

Sekitar pertengahan tahun 1959, Kiai Djamaluddin tamat MI kemudian masuk Madrasah Mu’allimin Muallimat Bahrul Ulum. Pada pertengahan 1964, ia tamat Mu’allimin lebih cepat karena dari kelas III langsung masuk kelas V. Di waktu masih duduk di kelas III, Kiai Djamal sudah diperintah KH Fattah untuk mengajar di Madrasah Wajib Belajar (MWB) di lingkungan pondok Tambakberas juga, adapun murid-muridnya pada waktu itu adalah Luthfi Arif, Ansori Shehah, Lahnan, Shohib, dan lain-lain.

Di samping mengajar di MWB, ia juga mengajar di Pondok Putri Al-Fathimiyyah dan pondok putra (pondok induk sekarang) yakni di komplek Pangeran Diponegoro.
Pada waktu kelas V, ia dipercaya oleh kepala sekolah Mu’allimin yang waktu itu dijabat oleh KH Ahmad Al-Fatih sebagai ketua OSIS, dan dipercaya oleh pengurus pondok pesantren sebagai ketua Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadz, dan dipercaya oleh pelajar pesantren se-daerah Kediri Raya yang berdomisili di Pesantren Tebuireng, Sambong, Denanyar, dan Tambakberas sebagai ketua Orda yang bernama IKPK (Ikatan Keluarga Pelajar Kediri).

Begitu tamat dari Mu’allimin, ia diambil menantu oleh KH Fattah Hasyim mendapatkan putrinya yang bernama Churriyyah yang masih kelas I Mu’allimat.
Pada akhir tahun 1964, Kiai Djamaluddin mempunyai keinginan untuk pindah ke Pondok Lasem, tapi belum tahu kepada kiai siapa, karena banyaknya kiai di sana. Kemudian ia melakukan istikhoroh, pada istikhoroh pertama Kiai Djamaluddin melihat sebuah jeding dan musala, lalu mengambil air wudlu dan Salat Dluha di musala tersebut.

Sesampainya di Lasem ternyata ia menemukan bahwa itu adalah Pondok Al-Wahdah yang diasuh oleh KH Baidlowi bin Abdul Aziz, seorang kiai yang ‘arif billah yang pada waktu itu menjadi Ro’is Thoriqoh se-Indonesia. Pada istikhoroh kedua, ia merasa naik kendaraan yang berjalan begitu jauh yang kemudian turun di pasar, lalu berjalan kaki turun ke jurang terus naik ke gunung, turun ke jurang lagi lalu naik ke gunung lagi, ternyata di atas gunung itu ada sebuah Masjid, ia masuk masjid itu terus langsung sampai ke jerambahnya, waktu memandang ke timur tampak sebuah pondok yang banyak kamarnya, begitu pula waktu memandang ke barat dan utara, dan ketika memandang ke selatan tampak pemandangan yang bebas. Ternyata itu adalah sebuah pondok yang diasuh oleh Kiai Asy’ari Poncol Salatiga, sifat-sifat pondok itu persis seperti dalam mimpi. Pondok yang ditempati para santri berada di timur, barat dan utara masjid, sedang di selatan masjid terdapat sebuah sawah yang luas sekali sejauh mata memandang. Di pondok ini belajar mengaji setiap bulan Jumadil Akhir mulai dari tahun 1967, 1968, dan 1969 yang dikajikan adalah kitab-kitab Bukhari Muslim dan Dala’ilul Khoirot disamping juga ijazah-ijazah yang lain.

Di Pondok Salatiga itu pondoknya yang tetap di Lasem itu mulai tahun 1965 sedangkan Pondok Poncol Salatiga hanya pada bulan Jumadil Akhir saja. Setelah ada kepastian akan mondok di Poncol Salatiga, Kiai Djamal berpamitan kepada KH Fattah, tapi oleh Kiai Fattah disuruh menunggu sejenak kurang lebih setahun, karena Kiai Fattah beserta Ibu Nyai mau berangkat haji.

Awal tahun 1965, Kiai Djamal baru berangkat ke Lasem dengan diantar adiknya yang bernama Zainal Abidin. Perjalanan Jombang-Lasem memakan waktu 2 hari 2 malam karena sulitnya kendaraan disebabkan adanya peristiwa G 30 S PKI.

Setelah satu tahun di Lasem, ia dipercaya oleh santri-santri dari Madura dan Jatim yang ada di pondok Al-Ikhlas (Syaikh Masduqi Lasem), Al-Hidayah (Syaikh Ma’shum), serta pondok Al-Wahdah (KH Baidlowi) untuk mendirikan organisasi santri yang disebut Putra Sunan Ampel, yang kegiatannya meliputi:

  1. Bahtsul Masa’il
  2. Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadz
  3. Jam’iyyah Dziba’iyyah
  4. Olahraga yang berupa; Badminton, Volly Ball, Pencak Silat juga atraksi kekebalan tubuh.

Pada tahun 1967 beliau dipercaya oleh santri-santri Al-Wahdah menjadi ketua pondok, disamping itu banyak juga yang meminta ngaji, tidak tanggung-tanggung yang meminta ngaji adalah para kiai, seperti: Kiai Sulaiman yang mondoknya di Al-Ikhlas, minta ngaji Al-‘Arudl, Gus Abdul Halim (putra Kiai Muslim Kempek Cirebon), Gus Masyhadi putra (Kiai Harun Cirebon), Gus Nur, Gus Muhlisun dari Watu Congol Magelang yang minta ngaji ‘Uqudul Jinan, disamping juga dari para santri Al-Wahdah yang meminta ngaji Riyadlus Sholihin dan ‘Idatul farid, begitu pula santri-santri dari pondok-pondok lain.

Selama kurang lebih 3 tahun mondok di Lasem, ia tidak pernah pulang ke rumah, suatu hari setelah ‘Ashar Kiai Djamal mendapat surat dari ibunya yang isinya “Djamal muliho aku wis kangen.” Ia menangis karena waktu itu sudah berencana dan menabung untuk mondok di Mranggen Demak yang diasuh oleh KH Muslih bin Abdurrahman untuk khataman kitab Al-Mahalli.

Pada waktu itu semua pakaian, kitab-kitab dan koper telah disiapkan, karena besoknya akan berangkat ke Demak. Ia hanya bisa menangis karena satu sisi dia ingin mengaji dan disisi lain harus patuh pada ibunya. Akhirnya sowan pada Kiai Baidlowi tanpa mengatakan apapun dan hanya menangis saja, tanpa bertanya Kiai Baidlowi berkata: “Cung, anak iku sing apik manut wong tuo. (Cung, anak yang baik adalah yang taat kepada orang tua.)”

Setelah sowan, ia langsung pulang, sampai di Jombang malam hari pukul 23.00 WIB, terpaksa menginap di kamar pondok dan tidak sowan KH Fattah karena takut akan diakadi sebab sebelum berangkat ke Lasem, beliau sudah positif diambil menantu tapi belum akadan karna permohonan keluarga Nganjuk agar menyelesaikan dulu menuntut ilmu di pondok pesantren.

Ternyata kepulangan Kiai Djamaluddin diketahui oleh Kiai Fattah dan Ibu Nyai Fattah yang ketika itu disertai ibu Nyai Iskandar, kemudian Ibu Nyai Fattah berpesan, oleh karena akhir bulan Sya’ban itu akan diadakan Haflah Akhir Sanah (Imtihan), maka keluarga Gondanglegi beserta ayah ibu Kiai Djamal dan saudara-saudaranya diundang agar datang ke Tambakberas, akhirnya pada pelaksanaan Akhirus Sanah, seluruh keluarga Gondanglegi menghadiri dan pulang keesokan harinya, tapi Kiai Djamal oleh Kiai Fattah tidak boleh pulang dulu seraya berkata kepada keluarga Gondanglegi “Djamal kersane kentun rumiyen.”

Kira-kira keluarga masih ditengah perjalanan, Kiai Djamal dipanggil oleh Kiai Fattah dan berkata “Djamal engko bengi kowe ta’ akadi, Mumpung Mbah Bisri isih sugeng, lan iki duit kanggo mas kawin” sambil mengambil uang Rp 1.000,- tanpa amplop dan dimasukkan ke dalam sakunya. Setelah sampai di kamar beliau menangis karena merasa bingung, satu sisi ayah dan ibu menghendaki akad nikah setelah selesai belajar di pondok dan di sisi lain gurunya menghendaki dipercepat, dua hal yang bertentangan ini kemudian dipikir secara mendalam dan ia ingat akan pelajaran guru akhlak ketika masih di rumah yang pada waktu itu mengaji kitab Al-Mathlab bab akhlaq, yakni apabila terjadi perbedaan pendapat maka yang didahulukan adalah guru.

Oleh: Bumi Damai Al-Arifin – Januari 23, 2017

Baca Juga: Amalan dari KH Djamaluddin Ahmad

Tags: BiografiBiografi KiaiKiai DjamaluddinTambakberas
Previous Post

KH Djamaluddin Ahmad Wafat

Next Post

Syariah; Semakin ke Barat

Syarif Abdurrahman

Syarif Abdurrahman

Santri Pondok Pesantren Tebuireng.

Next Post
Syariah; Semakin ke Barat

Syariah; Semakin ke Barat

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

  • Profil Ringkas Ning Jazil, Istri Gus Kautsar

    Profil Ringkas Ning Jazil, Istri Gus Kautsar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ribath Nouraniyah, Rumah Aswajanya Buya Arrazy Hasyim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Hadis Riwayah dan Dirayah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Perjalanan Rumah Tangga Buya Arrazy

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ratibul Haddad dan Segala Khasiat Membacanya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menyambut Ramadan dengan hati gembira adalah perintah dari agama Islam. Semerbak hawa Ramadan mulai menyeruak tercium, pertanda bulan yang penuh keberkahan ini akan segera tiba. Bak seorang permaisuri yang ditunggu kedatangannya banyak sekali orang yang bersiap diri untuk menyambutnya.

Di Indonesia sendiri, terdapat beberapa tradisi yang cukup unik dalam menyambut bulan Ramadan, seperti tradisi Megengan di Jawa Timur, Nyadran di Jawa Tengah, Pacu Jalur di Riau, Suru Maca di Sulawesi dan sebagainya.

Pada dasarnya, esensi dari berbagai macam tradisi penyambutan bulan Ramadan ini adalah melakukan kegiatan-kegiatan positif dengan penuh sukacita sebab datangnya bulan Ramadan.

Dalam sebuah riwayat disebutkan cara Rasulullah menyambut Ramadan dengan hati gembira dan memperbanyak puasa, tidak pernah nabi berpuasa lebih banyak daripada bulan Sya’ban selain bulan Ramadan:

لم يكن النبي صلى الله عليه وسلم يصوم شهرا أكثر من شعبان – البخاري

Hal ini dilakukan oleh Nabi Muhammad dalam rangka mempersiapkan diri untuk menyambut bulan Ramadan.

Selengkapnya baca di www.tebuireng.co atau klik link di bio.

#tebuirenginitiatives #tebuireng #pesantren #santri #ramadan #ramadhan2023 #menyambutramadhan #tradisi #indonesia #keislaman #islam
  • Tradisi dalam menyambut datangnya bulan Ramadan di berbagai wilayah di Indonesia begitu beragam sesuai dengan corak dan budaya yang terkandung di daerah masing-masing.
Namun, pada umumnya semua tradisi tersebut dilaksanakan atas dasar rasa syukur kepada Allah karena telah diberi kesempatan bertemu kembali dengan bulan yang mulia yakni bulan Ramadan.

Selengkapnya baca di www.tebuireng.co atau klik link di bio.

#tebuirenginitiatives #tebuireng #pesantren #santri #ramadan #syaban #bulansuciramadhan #tradisi #indonesia
  • "Kita tidak akan bisa di titik mana pun tanpa restu dari orang tua kita", kata Gus Ipang Wahid setelah memberikan sebuah kejutan untuk Nyai Farida Salahuddin Wahid saat mengisi acara di Pondok Pesantren Amanatul Ummah.

#tebuirenginitiatives #tebuireng #pesantren #santri #santritebuireng #nahdlatululama #nahdliyin #1abadnu #gussholah #ipangwahid #amanatulummah #reels #instagram #ibu
  • Sulthonul Auliya
  • Cara menghilangkan depresi menurut al-Balkhi ada dua jenis, yaitu eksternal dan internal. Al-Balkhi merupakan ulama-ilmuwan Islam yang menguasai banyak bidang keilmuan.

Nama lengkap al-Balkhi adalah Abu Zaid Ahmad bin Sahal al-Balkhi. Ia lahir di kota Balkh, sekarang dikenal dengan Afghanistan pada tahun 849 Masehi dan wafat pada tahun 934 Masehi.

Salah satu karyanya yang monumental dalam bidang keilmuan psikologi adalah Mashalihul Abdan Wal Anfus. Bukunya, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Ariel Achmad Pramudya dengan judul “Kitab Kesehatan Mental” yang juga menyelipkan karya Ibnu Sina dengan judul terjemahan “Resep Bahagia”.

Dalam bukunya, al-Balkhi menyebutkan empat macam gejala yang bisa mengganggu mental; sedih, takut, panik, dan depresi. Empat macam gejala ini, selain menyiksa jiwa pengidapnya juga memiliki potensi terhadap kerja organ tubuh menjadi tidak maksimal apabila berlebihan.

“Ketika mental seseorang terganggu, kesehatan fisik tak membuatnya bahagia, hari-harinya suram, dan hidupnya tak lagi indah” (al-Balkhi; 07). Bisa jadi, dalam fase-fase tersebut, selera makan menjadi tidak normal, tidurnya tidak nyenyak, dan beragam keanehan-keanehan fisik lainnya.

Selengkapnya baca di www.tebuireng.co atau klik link di bio.

#tebuirenginitiatives #tebuireng #pesantren #santri #keislaman #islam #mentalhealth #kesehatanmental #milenial
  • Cara melancarkan rezeki menurut Gus Kautsar cukup sederhana dan bisa dilakukan oleh siapapun secara istikamah setiap hari. Amalan melancarkan rezeki tersebut berupa membaca surah Al-Waqi’ah tiap setelah Ashar.

“Saya itu dari kecil sudah diberi nasihat oleh ayah, kalau kamu sedikit enak hidupnya di dunia, jangan lupa setelah salat ashar menimal membaca Al-Waqi’ah sebanyak tiga kali,” katanya.

Gus Kautsar mengatakan jika dirinya merasa aneh ketika ada santri yang kesulitan dalam bab ekonomi karena usaha yang dilakukan terus gagal. Sebagai hamba Allah, seorang santri memang dituntut berusaha dhohir.

Namun, seorang santri juga harus mengiringi usaha dhohir tersebut dengan doa dan amalan melancarkan rezeki. Agar apa yang dilakuakn diberikan keberkahan oleh Allah Swt.

Selengkapnya baca di www.tebuireng.co atau klik link di bio.

#tebuirenginitiatives #tebuireng #pesantren #santri #amalan #keislaman #islam #guskautsar #alfalahploso #guskautsarploso #syaban
  • "Sesungguhnya para malaikat membentangkan sayapnya untukmu saat engkau berjalan dan ikan-ikan di laut memintakan ampunan bagimu manakala engkau berusaha menuntut ilmu." -Imam Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah

Baca artikel Tebuireng Initiatives lainnya di www.tebuireng.co atau klik link di bio.

#tebuirenginitiatives #tebuireng #pesantren #santri #santritebuireng #nahdlatululama #nu #nahdliyin #imamghazali #quotes #kitab #kitabkuning
  • Keluarga besar Tebuireng Initiatives mengucapkan selamat hari perempuan internasional.

Baca artikel Tebuireng Initiatives lainnya di www.tebuireng.co atau klik link di bio.

#tebuirenginitiatives #tebuireng #pesantren #santri #santritebuireng #indonesia #perempuan #perempuanindonesia #perempuanhebat #internationalwomensday #hariperempuaninternasional
  • إِنَّا لِلَّٰهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

Segenap keluarga besar Tebuireng Initiatives turut berdukacita atas wafatnya Ikranagara (Seniman dan Pemeran
Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari dalam film ‘Sang Kiai’).

#tebuirenginitiatives #tebuireng #pesantren #nahdlatululama #nahdliyin #santri #duka #tokoh #indonesia #filmindonesia #laskarpelangi
  • About
  • Kontak
  • Privacy & Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Media

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng

No Result
View All Result
  • Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Toko >>

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist