Para tokoh pesantren selama ini lebih sering terdengar dari kaum laki-lakinya. Ketokohan kaum perempuan pesantren masih belum banyak diketahui publik. Sosok Nyai Khoiriyah Hasyim adalah sedikit dari perempuan yang mewakili kaum santri.
Di tengah kepercayaan publik kepada kaum perempuan meningkat drastis sepadan dengan kaum laki-laki. Para Nyai seakan terus menyembunyikan diri dari satir pesantren. Apakah memang kurang kurang menarik untuk di tampilkan ditengah gencarnya informasi atau memang para Nyai kurang suka tampil keluar, menampilkan jatidirinya?
Pesantren Tebuireng merupakan gudangnya tokoh pesantren. Dari mulai pendiri, masyayikhnya, dan santrinya sangat mudah menemukan ketokohannya di publik. Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Wahid Hasyim, Gus Dur, dll merupakan tokoh panutan umat dari kaum lelaki yang ada di pesantren. Setidaknya ada dua tokoh perempuan dari Tebuireng yang layak dihadirkan kepada publik dalam hal ini, yakni, Nyai Khoiriyah Hasyim, pendiri lembaga pendidikan bagi kaum perempuan, Madrasatul Bannat, di Makkah dan Nyai Solichah, politisi dan ativis NU perempuan yang berpengaruh di zamannya.
Nyai Khoiriyah Hasyim lahir di Tebuireng, kisaran tahun 1906. Ia merupakan putri Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sejak kecil dalam dirinya terlihat secara aktif mengikuti pengajian ayahnya dari balik satir. Ia juga memiliki ketekunan dan kemandirian dalam hal belajar, keberanian bertanya bilamana tak paham dengan apa yang dipelajari. Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari merupakan pembimbing dan guru utamanya.
Nyai Khoiriyah terlahir dari keluarga terdidik dan agamis begitu juga dengan lingkungannya. Dasar pengetahuan agamanya berhasil diraihnya dengan sangat baik. Dengan begitu, cara pandang dan perilaku memiliki perbedaan tajam dengan mereka yang kurang bekal ilmu. Pada umur 13 tahun, Nyai Khoiriyah Hasyim sudah terlihat memiliki pemikiran dewasa. Maka dari itulah ayahnya lantas menikahkan dengan salah seorang santrinya yang pandai dan alim, yakni KH Ma’sum Ali, santri asal Maskumbambang, Gresik.
KH Ma’shum merupakan salah satu santri senior Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng. Suami Nyai Khoiriyah ini dikenal pandai dan alim. Ahli di bidang ilmu falak, ilmu sharaf, dan ilmu lainnya. Kitab Amtsilatu Tasrifiyah yang selalu menjadi pegangan dan pedoman para santri di seluruh pesantren di Indonesia merupakan karya suami Nyai Khoiriyah. Sayangnya umur KH Ma’shum tidak panjang.
Setelah ditinggal suaminya wafat, tahun 1938 Nyai Khoiriyah Hasyim di persunting oleh KH Muhaimin. Seorang kiai yang cakap ilmu dan alim. KH Muhaimin berasal dari Lasem Jawa Tengah. Suaminya merupakan kepala Madrasah Darul Ulum di Makkah, Arab Saudi. Setelah menikah maka Nyai Khoiriyah pun meninggkalkan kampung halaman mengikuti suaminya tinggal di Makkah.
Selama di Makkah, Nyai Khoiriyah melibatkan diri dalam dunia pendidikan dan mendirikan lembaga pendidikan bagi kaum perempuan yakni, Madrasatul Bannat. Selama 20 tahun lebih, Nyai Khoiriyah hidup di Makkah, tentu bukan waktu yang singkat. Kepulangannya ke tanah kelahirannya, Indonesia berkat ajakan Presiden pertama RI Soekarno.
Intelektualitas Nyai Khoiriyah Hasyim tidak ada yang meragukan. Baik terhadap penguasaan terhadap kitab kuning, manajemen pendidikan, ketrampilan, dan lainnya. Di lingkungan Nahdliyin pun mendapat tempat yang strategis. Di komisi Bahtsul Masail, tempatnya kiai beradu argumen mengenai banyak permasalahan yang aktual dan faktual. Di dalam pesantrennya juga menguji para imam shalat bagi kaum laki laki.
Dalam kitab Adabul Alim wa Mutaalim, Hadratussyaikh menukil sebuah syair yang sangat indah dan dalam maknanya,
Betapa Indah akal dan terpujilah orang yang berakal
Sungguh jelek kebodohan dan tercelah orang yang bodoh
Tidak ada kebaikan jika dalam suatu perdebatan ada orang berbicara,
Tatkala dia ditanya padahal kebodohan telah membinasakannya.
Ilmu adalah anugrah terbaik yang didapatkannya seorang laki-laki.
Orang tak berilmu bukanlah laki-laki sejati
Tuntulah ilmu dan kejakanlah wahai saudaraku
Sebab ilmu menjadi perhiasan bagi orang yang mengamalkannya.
Dengan demikian, Ibu Nyai Khoiriyah Hasyim bisa dikatakan tokoh perempuan pesantren yang layak untuk diteladani para santriwati. Ia juga menjadi representasi bagi kita semua, bahwa tidak benar bila di pesantren hanya laki-laki saja yang menonjol dan hanya berada dari balik layar saja.
Dunia pendidikan seperti sekarang ini sudah kian maju dan terbuka. Banyak dari kalangan perempuan yang juga memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan. Dalam hal ini mengingatkan kita semua akan dawuh Nabi Muhammad Saw, “Barangsiapa dikehendaki Allah memperoleh kebaikan, niscaya Allah akan menjadikan orang tersebut memahami agama.”
Ahmad Faozan