Bid’ah menurut Abuya Sayid Maliki bukan terbatas pada sesuatu yang tidak dilakukan Nabi Muhammad Saw. Jika bid’ah (kbbi: bidah) itu dipahami dengan segala sesuatu yang tidak pernah nabi ajarkan maka akan banyak sekali kejadian yang terjadi di zaman Rasulullah yang bisa dibilang kategori bid’ah sedangkan hal itu dibenarkan oleh nabi dan nabi sendiri tidak tahu muasal sumbernya dari mana.
Seperti yang pernah terjadi dikala nabi sedang memimpin jamaah salat saat berdiri iktidal ada sahabat yang membaca doa “Robbana laka al-khamdu khamdan katsiran thayiban mubarakan fih”
”رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيه”
Kemudian selesai salat nabi bertanya kepada sahabat “siapa yang mengucapkan tadi?’’ ada satu sahabat yang mengatakan “saya wahai rasul” di jawab oleh nabi bahwa nabi melihat ada tiga puluh lebih malaikat yang berebut untuk menuliskan yang pertama saking indahnya kalimat tersebut.
Sedangkan kita tahu bahwa yang diajarkan oleh nabi ketika bangun iktidal membaca“ Robbanaa lakal hamdu mil us samawaati wamil ul ardhi wamil u maa syi’ta min syain ba’du”, tetapi perbuatan sahabat di atas dibenarkan oleh nabi tanpa nabi mengajarkannya.
قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ: رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” مَنِ الْمُتَكَلِّمُ آنِفًا؟ ” قَالَ الرَّجُلُ: أَنَا يَا رَسُولَ اللهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لَقَدْ رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلًا رواه احمد
Hal serupa pernah terjadi pada sahabat Bilal ketika itu ia ditanya oleh nabi “wahai Bilal amal apa yang kau kerjakan dalam Islam yang sangat kau harapkan pahalanya? Sesungguhnya aku mendengar suara sandalmu di surga”. Sahabat Bilal menjawab “ bahwa saya tidak pernah wudu kecuali saya salat dengan wudu itu” , nabi tidak melarang apa yang dilakukan sahabat Bilal serta membenarkannya
Lalu ada peristiwa tentang surat Al-Ikhlas, ada seorang sahabat yang menjadi Imam di Masjid Quba dengan selalu membaca surat Al-Ikhlas dalam setiap salatnya. Kemudian hal ini diadukan kepada Rasulullah karena terus menerus membaca surat Al-Ikhlas.
Imam masjid tersebut lantas dipanggil oleh nabi dan ditanya perihal ia yang selalu membaca Al-Ikhlas di setiap salat, imam tersebut menjawab bahwa alasan kenapa ia selalu membaca surat Al-Ikhlas karena ia senang dengan surat Al-Ikhlas, dikarenakan isi kandungannya yang hanya menerangkan sifat-sifat Allah.
Nabi Muhammad membenarkan hal tersebut dengan mengabarkan kepada sahabat bahwa malaikat Jibril datang memberi pesan jika Allah Swt sangat menyukai sahabat tersebut. Masih banyak sekali amalan yang dilakukan oleh para sahabat yang tidak diajarkan oleh nabi sendiri tetapi nabi membenarkan amal tersebut.
Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki dalam karyanya Mafahim Yajibu an Tushahhah, Sayid Muhammad menyebut perbedaan mendasar antara bidah syar’iyyah (bidah dalam masalah agama) dan bidah lughawiyyah (bidah secara bahasa).
Dengan pembedaan keduanya, diskusi berlarut-larut semestinya dapat dihindarkan. Sayid Muhammad menjelaskan perbedaan kedua jenis bidah tersebut dengan mengangkat kritik sebagian orang atas pembagian bidah hasanah dan bidah sayyiah.
Sebagian orang ini mengingkari pembagian tersebut bahkan menuduh sesat dan fasik orang yang membagi bidah karena kelompok yang dituduh bertentangan secara sharih dengan hadis Rasulullah yang menyebut setiap bidah merupakan kesesatan.
ولا بد حينئذ من تفصيل واجب ضروري للقضية، هو أن يقولوا إن هذه البدعة الدنيوية منها ما هو خير ومنها ما هو شر كما هو الواقع المشاهد الذي لا ينكره إلا أعمى جاهل وهذه الزيادة لا بد منها
Artinya, “Tidak ada jalan lain sampai di sini kecuali membuat rincian wajib yang bersifat dharuri untuk masalah ini, yaitu mereka harus mengatakan, ‘Bidah duniawi ada yang mengandung kebaikan dan sebagian lagi mengandung keburukan sebagaimana realitas yang dapat disaksikan. Tidak ada yang mengingkarinya selain orang buta yang bodoh. Tambahan (keterangan) ini harus dilakukan,’” (Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahhah, [Surabaya, Hay’atus Shafwah Al-Malikiyyah: tanpa tahun], halaman 114).
Sering kita jumpai beberapa kelompok Islam dalam menanggapi sesuatu bentuk ibadah baru, sering sekali gegabah dalam mengategorikan hal tersebut.
Mereka memasukan perbuatan itu dalam kategori ibadah bid’ah tanpa memahami betul apa yang di namakan bid’ah. Sehingga berujung pada saling mengkafirkan antar sesama muslim.
Dari masalah bidah menurut Abuya Sayid Maliki ini dapat ditarik benang merah, pemahaman yang baik tentang bid’ah dan dipadukan pemahaman dalil-dalil yang benar akan mengurangi potensi saling membid’ahkan satu sama lain.
Jika pemahaman tentang bid’ah itu mengarah kepada hal-hal yang tidak pernah diajarkan oleh nabi maka amal-amal yang dilakukan para sahabat seperti contoh di atas salah dan pasti nabi akan melarangnya.
Karena hal tersebut dianggap bentuk kreasi ibadah yang tidak diajarkan, tetapi justru nabi membenarkannya walaupun ia tidak mengajarkan hal tersebut.
Kesimpulannya, segala hal baru yang muncul di dalam agama Islam tidak serta merta bisa dikatakan bid’ah. Karena semua itu masih dalam ranah ijtihadi.
Sehingga masih ada kemungkinan benar dan salahnya, pemahaman yang benar tentang bid’ah akan mengurangi perilaku saling menyalahkan yang berujung pengkafiran sesama muslim, padahal hal tersebut dilarang oleh nabi.
Oleh: Badar Alam K