Berutang demi melaksanakan ibadah haji menjadi fenomena yang masih kerap kali ditemukan di masyarakat. Bolehkah praktik haji seperti ini dilakukan?
Pada dasarnya, melaksanakan ibadah haji hanya dibebankan bagi orang muslim yang mampu baik secara fisik maupun finansial. Sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an :
فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًاۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًاۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
“Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia. (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.” (QS Ali Imran: 97)
Kemampuan secara fisik yaitu mampu dari segi kesehatan untuk melaksanakan perjalanan ke tanah suci serta untuk melakukan seluruh rangkaian ibadah haji.
Sedangkan, kemampuan secara finansial adalah mampu mencukupi kebutuhannya dalam perjalanan melaksanakan ibadah haji serta mampu mencukupi kebutuhan keluarga (yang menjadi tanggung jawab seperti anak dan lain-lain) selama melaksanakan ibadah haji.
Apabila tidak mampu dalam keduanya, maka tidak wajib baginya melaksanakan ibadah haji. Namun apabila seseorang mampu dari sisi finansial tetapi terkendala dari sisi kesehatan seperti sakit yang tidak memiliki harapan sembuh atau orang yang sangat tua maka pelaksanaan ibadah haji bisa dibadalkan.
Sedangkan, apabila seorang muslim memiliki kriteria mampu haji akan tetapi tidak melaksanakannya, maka hal tersebut termasuk dosa yang berpotensi menjerumuskannya pada kehidupan yang su’ul khotimah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (مَنْ مَلَكَ زَادًا وَرَاحِلَةً تُبَلِّغُهُ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ وَلَمْ يَحُجَّ ، فَلَا عَلَيْهِ أَنْ يَمُوتَ يَهُودِيًّا، أَوْ نَصْرَانِيًّا، وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ فِي كِتَابِهِ : (وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ البَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa saja yang memiliki bekal dan kendaraan yang dapat mengantarkannya ke Baitullah dan ia tidak juga berhaji, maka ia boleh pilih mati sebagai Yahudi atau Nasrani. Allah berfirman dalam Al-Quran, ‘Kewajiban manusia dari Allah adalah mengunjungi Ka’bah bagi mereka yang mampu menempuh perjalanan,’’(HR A-Tirmidzi dan Al-Baihaqi).
Berangkat haji dengan berutang
Imam Syafi’i membahas mengenai persoalan ini dalam kitab Al-‘Umm dengan mengacu pada riwayat sahabat
أخبرنا الربيع قال : أخبرنا الشافعي قال : أخبرنا سعيد بن سالم عن سفيان الثوري ، عن طارق بن عبد الرحمن ، عن عبد الله بن أبي أوفى صاحب النبي ﷺ : أنه قال: سألته / عن الرجل لم يحج ، أيستقرض للحج ؟ قال : لا
Telah menceritakan kepada kami Rabi’, ia berkata telah menceritakan kepada kami As-Syafi’i, dari Abdullah bin Abi Aufah-salah seorang sahabat Nabi SAW-ia berkata, “Aku bertanya kepada Nabi SAW tentang seseorang yang belum mampu melaksanakan ibadah haji, lalu ia berutang untuk pergi haji. Beliau menjawab, “Tidak.”
قال الشافعي رحمه الله : ومن لم يكن في ماله سعة يحج بها ، من غير أن يستقرض، فهو لا يجد السبيل . ولكن إن كان ذا عرض كثير، فعليه أن يبيع بعض عرضه أو الاستدانة فيه حتى يحج . فإن كان له مسكن، وخادم ، وقوت أهله بقدر ما يرجع من الحج إن سلم ، فعليه الحج. وإن كان له قوت أهله ، أو ما يركب به لم يجمعهما فقوت أهله الزم له من الحج عندى ، والله أعلم
Imam Syafi’i berkata: Barangsiapa tidak mempunyai harta yang cukup untuk berangkat haji, kecuali dengan cara berhutang maka ia termasuk tidak mampu mengarungi perjalanan (tidak wajib menunaikan haji). Akan tetapi apabila ia mempunyai barang-barang yang cukup berharga, maka ia harus menjual sebagian barang tersebut atau berhutang dengan menggunakan barang-barang tersebut sebagai jaminan atau sewa sehingga ia bisa melaksanakan ibadah haji, dengan syarat ia mempunyai tempat tinggal serta makanan yang ia tinggalkan untuk keluarganya selama ia melaksanakan ibadah haji. Apabila seseorang mempunyai biaya untuk berangkat haji, tapi tidak mampu memberi perbekalan (makan) untuk keluarganya yang ditinggal di rumah, maka menurut pendapat saya nafkah untuk keluarga lebih wajib baginya selama ditinggalkan.
Syaikh Ibnu Hajar dalam kitab Hasyiyah Ibni Hajar alal Idhah juga menjelaskan
لو قيل بذلك في المؤجل لكان له وجه لأن لم يجب إلى الآن والحج إذا تضيق وجب فورا فكان ينبغي وجوب تقديمه عليه وقد يجاب بأن الدين محض حق آدمي أو له فيه شائبة قوية فاحتيط له لأن الاعتناء به أهم فقدم على الحج وإن تضيق
“Tetapi seandainya dikatakan pembayaran hutang dapat diangsur lalu ada pendapat mengatakan, ‘Bila hutang tidak wajib dibayar saat ini sementara kewajiban pelaksanaan haji adalah segera, maka seharusnya seseorang mendahulukan haji daripada pembayaran hutang,’ maka dapat ditanggapi bahwa hutang adalah murni hak manusia atau perkara menakutkan yang sangat kuat sehingga harus ihtiyath. Pasalnya, memerhatikan hutang lebih penting sehingga pembayaran hutang harus didahulukan dibanding haji meski (kesempatan) haji semakin mepet baginya,”
Dari keterangan diatas, bisa disimpulkan bahwa berutang untuk membayar biaya ibadah haji bukan termasuk kriteria mampu sebagaimana syarat dalam melaksanakan ibadah haji sehingga hal yang demikian tidak digolongkan sebagai orang yang wajib haji. Sebab, yang dimaksud mampu memenuhi bekal dalam ibadah haji tidak hanya cukup bagi dirinya sendiri akan tetapi juga cukup bagi orang-orang yang ditinggalkan (keluarga yang menjadi tanggung jawab diberi nafkah). Tentunya bukan dengan cara berutang.
Sebagaimana juga yang dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Hajar, bahkan apabila angsuran hutang yang dimiliki bisa ditunda pembayarannya, namun menurutnya membayar hutang lebih diutamakan daripada melunasi setoran biaya haji. Sebab hutang adalah hak adami yang sudah seharusnya setiap kita bersikap hati-hati.
Berbeda jika seseorang berusaha mencukupi bekal haji dengan cara menjual atau menggadaikan barang berharga yang dimiliki. Maka hal tersebut diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk dilakukan demi melaksanakan ibadah haji. Wallahua’alam.