tebuireng.co – Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengatakan dirinya kemungkinan besar akan bergabung ke FPI jika tidak bertemu Gus Dur.
Hal ini disampaikannya saat wawancara eksklusif “Lebih dekat ke KH Yahya Cholil Staquf jelang Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama” bersama tim dari NU Online yang dirilis ke publik via akun Youtube NU Online, Sabtu (18/12/2021).
“Jika tidak bertemu Gus Dur mungkin saja saya bergabung ke FPI. Karena wawasan dan cara berpikirnya saat itu hampir sama dengan organisasi tersebut,” jelasnya.
Pertemuan Gus Yahya dan Gus Dur semakin membuat ia lebih intens bergelut dengan kegiatan NU. Karena saat itu Gus Dur menjadi ketua NU.
Menjadi lebih dekat lagi dengan Gus Dur ketika cucu Kiai Hasyim Asy’ari ini terpilih jadi presiden dan Gus Yahya jadi jubirnya.
Gus Yahya sering bertugas menemani Gus Dur saat tidak ada tamu negara. Gus Dur bicara menjelaskan banyak hal. Kadang bicara tentang fikih, qowaid fikih, ushul fikih, politik, dan kadang strategi perang.
“Gus Dur sangat fikih semisal dalam membuat kebijakan selalu menyampaikan ke saya bahwa kebijakan ini karena kaidah ini. Saya belajar banyak dengannya,” ujar pria asal Rembang ini.
Baca Juga: ‘Menghidupkan Gus Dur’ Lewat Yahya Staquf
Gus Yahya menjelaskan, pertemuannya dengan Gus Dur secara tidak langsung mengkadernya menjadi kader NU yang moderat dan demokratis. Gus Dur mampu mempengaruhi pola pikirnya hingga saat ini.
Bagi Gus Yahya, Gus Dur dengan artikulasinya dan pemikirannya tidak hanya merubahnya, tapi generasi sezaman dengannya juga berubah.
“Saya kira seluruh kepribadian saya hari ini dibentuk oleh Kiai Ali Maksum dan Gus Dur. Secara wawasan saya merasa dibentuk dan dirubah Gus Dur,” tambahnya.
Ia menambahkan, di Muktamar ke-26 tersebut ia bertemu dengan banyak tokoh-tokoh NU dan hadir di forum debat dari pagi hingga sore. Momentum ini menjadi awal pertama kali Gus Yahya melihat Gus Dur.
Ia juga menginap di lokasi peserta muktamar lainnya bersama sang ayah. Dari sana, ia mulai ikut secara pasif diskusi internal peserta muktamar.
“Di Muktamar ke-26 pertama kali lihat Gus Dur secara langsung. Ayah saya itu ketua cabang Ansor Rembang, lalu ketua NU Rembang,” ujar putra dari KH Cholil Bisri ini.
Muktamar ke-28, Gus Yahya menjadi panitia Muktamar di Krapyak Yogyakarta. Gus Yahya belajar di Pesantren Krapyak selama 15 tahun. Setelah sebelumnya belajar ngaji kepada orang tua di Rembang.
Selain sang ayah dan Kiai Ali Maksum, Gus Yahya juga dikenalkan dengan lingkungan kegiatan NU oleh pamannya yang bernama KH Mustofa Bisri (Gus Mus). Saat kuliah di Universitas Gajah Mada, Gus Yahya sering diajak sama paman dan ayahnya untuk ikut acara NU.
Tahun 1987, Gus Mus mengajak Gus Yahya untuk ikut pertemuan para ulama di Jakarta. Di forum ini, Gus Yahya ketemu langsung dengan Gus Dur dan ngobrol panjang lebar.
“Saya beruntung, karena paman dekat dengan Gus Dur. Setiap ketemu paman, ngobrol tentang Gus Dur. Terutama saat Gus Dur jadi ketua umum. Obrolan saya dengan paman ini diceritakannya ke Gus Dur. Akhirnya Gus Dur juga tahu tentang saya,” katanya.
Pola perkaderan Gus Dur yang secara terus menerus membuat Gus Yahya menanggapi dan menyelesaikan masalah maka Gus Dur dijadikan rujukan serta teladannya. Bahkan Gus Yahya memiliki panggilan khusus kepada Gus Dur yaitu dengan sebutan Pak Dur.
“Awal 1990-an diajak Gus Dur ke Jakarta tapi tidak boleh sama ayah. Sekarang mau satu abad NU, semua orang berpikir harus istimewa maka harus bekerja istimewa,” pinta Gus Dur.
Pandangan Gus Dur juga mempengaruhi pemikiran Gus Yahya tentang keislaman dan kebangsaan. Baginya, umat Islam Indonesia dibandingkan umat Islam di negara lain adalah yang terbaik. Keadaan paling kondusif untuk merancang masa depan.
Kunci mempertahankan ini kita harus hidup berdampingan. Pra syaratnya Untuk berdampingan, keutuhan NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka tunggal Ika, ini harus dipertahankan. Perbedaan boleh asal tidak mengutik empat hal ini.
Banyak hal yang harus dilakukan, tapi terkait dinamika saat ini yang perlu dilakukan menurut Gus Yahya yaitu mengembangkan demokrasi yang lebih rasional dan tinggalkan politik identitas.
“Jika masalah ekonomi mari bicara ekonomi. Jika masalah hukum kita bicara hukum. Tidak usah bawa ini beriman dan tidak beriman. Berbahaya untuk kehidupan berbangsa dan bertanah air,” tandas Gus Yahya.