Nabi Muhammad Saw adalah manusia utusan Allah SWT yang menerima wahyu dari langit. Beliau adalah makhluk paling mulia di dunia, paling dicintai oleh Allah, pemimpin para Nabi, serta manusia terakhir yang “menjabat” sebagai Rasul, tak ada manusia yang menyandang jabatan ini setelah beliau kecuali fenomena nabi-nabi palsu.
Segala keagungan yang terdapat pada diri Nabi Saw tidak lantas menghilangkan sisi kemanusiaan beliau. Walaupun beliau adalah basyarun la ka al-basyari” (Muhammad adalah manusia tapi bukan manusia biasa), beliau tetaplah manusia yang juga bisa tertawa, menangis, sedih, senang, bahkan bercanda dengan keluarga dan para sahabatnya.
Bercanda dalam pandangan Islam adalah hal baik jika dilakukan dengan benar dan tidak melewati batas. Banyak Hadits yang menceritakan canda Nabi Saw, namun di sisi lain Nabi Saw juga melarang para sahabat untuk memperbanyak tertawa.
Dari sini para ulama membagi canda menjadi dua: Canda yang dilarang dan Canda yang dianjurkan.
Canda yang dianjurkan
Canda yang dianjurkan adalah canda yang sesuai dengan petunjuk dan praktik dari Rasulullah Saw. Yakni canda yang dilakukan antar keluarga, kerabat, saudara, teman dengan syarat tidak menyakiti atau merendahkan siapapun, dan candaan tersebut dimaksudkan untuk meng’enak’kan pembicaraan.
Selain Al-‘Asqalanidan Al-Mubarakfuri, Al-Mawardi menyatakan, ada dua tujuan bercanda, yaitu:
- mempererat pertemanan dan kasih sayang antar dua orang yang saling berbicara.
- menghilangkan kesusahan yang dialami seseorang.
Nabi Muhammad bercanda sebatas menghibur ummatnya. Bayangkan saja, orang-orang Islam pada masa itu diperintah untuk mengikuti dan mematuhi segala ajaran yang beliau sampaikan, jika Nabi Saw tidak bercanda, tidak tersenyum atau tidak bersikap ramah dan terus menerus serius, cemberut, dan kaku, tentu orang-orang akan merasa jenuh dan keberatan untuk terus mulazamah (mengikuti) bersama Nabi Saw. Jika hal ini terjadi maka fungsi Nabi sebagai orang yang dianut dari segala aspek kehidupannya tidak akan berjalan secara maksimal. Walaupun begitu, canda Nabi tidak berlebihan dan untuk mencapai tujuan-tujuan di atas.
Di antara Hadits yang menceritakan canda Nabi Saw adalah riwayat Imam Abu Dawud dalam kitab “Sunan”nya pada kitab al-Adab bab Ma ja’a fi almizah, bahwa suatu hari ada seorang laki-laki meminta kendaraan kepada Rasulullah Saw untuk membawa barang-barangnya, kemudian sambil bercanda Rasulullah Saw berkata “Aku memberimu anak unta.” Mendengar kata-kata ini laki-laki tersebut protes, karena ia bermaksud meminta unta besar yang kuat untuk membawa barang-barangnya yang banyak, ia berkata “Apa yang bisa kulakukan dengan anak unta wahai Rasul?”, kemudian Rasul menjawab “Bukankah anak unta (yang besar) juga dilahirkan dari induk unta?”. Maksud dari perkataan Rasul “anak unta”, bukan berarti anak unta yang masih kecil, namun seekor unta, baik besar maupun kecil, karena masih tergolong anak unta yang dilahirkan induknya.
Selain itu, Nabi Saw juga pernah bercanda dengan seorang nenek-nenek, yang terekam dalam Hadits riwayat Imam Tirmidzi dalam kitab al-Syama’il al-Muhammadiyah pada bab Ma ja’a fi sifati mizahi Rasulillah, bahwa ada seorang nenek-nenek datang kepada Nabi Saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, tolong doakanlah aku agar Allah memasukkanku ke dalam surga.”
Kemudian dengan bercanda Rasullullah Saw bersabda, “Wahai Ummu Fulan, seorang nenek-nenek tidak akan bisa masuk surga.”
Kemudian nenek tersebut pergi seraya menangis karena mengira ia tidak bisa masuk surga. Kemudian Rasulullah Saw berkata pada para sahabatnya, “Katakan kepada nenek-nenek itu, bahwa maksud dari perkataanku adalah ia tidak akan masuk surga dalam keadaan nenek-nenek.” Artinya nenek-nenek itu akan masuk surga, namun tidak dalam keadaan tua tapi kembali menjadi muda.
Canda yang dilarang
Selanjutnya, candaan juga bisa berpotensi menjadi sesuatu yang dilarang oleh agama. Hal ini terjadi apabila canda yang dilakukukan melampaui batas, dan menjadikan lalai kepada Allah serta urusan-urusan agama. Ulama memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud melampaui batas adalah jika canda yang dilakukan menyebabkan orang lain sakit hati, dan bisa menyebabkan hilangnya wibawa seseorang. Canda seperti ini bisa menjadikan hati keras, sebagaimana Hadits riwayat Imam Tirmidzi pada kitab Abwab al-Zuhd Bab Man ittaqa al-maharim fa huwa a’bad al-nas, Nabi Saw, bersabda: “ …wa la tukthir al-dlahk fa inna kathrat al-dlahk tumit al-qalb.
… Dan janganlah kalian memperbanyak tertawa, karena memperbanyak tertawa bisa menyebabkan matinya hati.”
Imam Nawawi mengatakan bahwa bercanda yang dilarang adalah bercanda yang berlebihan dan terus menerus, karena bercanda yang seperti itu akan menyebabkan kelakar dan hati keras, serta menyebabkan lupa kepada Allah, dan lalai dalam urusan-urusan agama. Lebih lanjut hal ini bisa menyebabkan sakit hati dan wibawa dan martabat seseorang hilang.
Adapun bercanda yang di luar hal ini, yakni sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah Saw. Sebagaimana telah disebutkan di atas, maka boleh dilakukan, bahkan sunnah, karena termasuk dalam perangai yang baik dan dianjurkan oleh syariat. Bercanda adalah bagian dari naluri manusia untuk mencairkan suasana, tanpa adanya candaan, manusia akan cenderung sepaneng, dan suasana menjadi kaku. Namun bercanda juga harus tetap dalam koridor yang ditetapkan oleh syariat, agar candaan tidak melewati batas, tidak menyakiti orang lain, tidak menghilangkan wibawa dan tidak menyebabkan kerasnya hati. Wallahu a’lam bis sowab. (PDF HAL 23)