Dalam sebuah acara pengajian umum, ada dua orang Kiai yang menjadi pembicara utama: Kiai Bungah dan Kiai Bejo. Kiai Bungah dalam ceramahnya membahas tentang perlunya manusia menapaki laku zuhud dengan cara menghindari perkara subhat, salah satunya adalah politik.
Sementara itu, Kiai Bejo yang memang dikenal sebagai salah satu pengurus partai politik di daerah tersebut menyampaikan ceramah dengan sebuah cerita.
“Jadi begini saudara-saudara, dulu ada seorang santri alim yang sudah khatam banyak kitab klasik. Ketika pulang ke kampung halamannya dan menjadi tokoh agama di sana, ya namanya juga orang kampung kalau ada apa-apa pasti minta tolongnya ke Kiai karena anggapan masyarakat kiai bisa menjadi solusi segala masalah. Ada tetangganya malam-malam minta tolong ke santri alim yang sudah tersoroh dengan panggilan Kiai itu untuk menangkap kambing yang lepas dari kandang. Kiai itu gugup tapi mau tidak mau karena terlanjur menjadi tokoh masyarakat akhirnya dia nekat menyanggupi permintaan tetangganya. Kiai itu berjalan menyusuri kampung sambil membawa tali tambang untuk menangkap kambing yang lepas. Di gang sempit, Kiai melihat kambing yang sedang bersembunyi dan dia langsung pasang badan untuk menangkapnya. Pelan-pelan dia mendekati kambing itu, ketika kambing menoleh dan saling berhadapan dengan wajah Kiai yang berkeringat karena gerogi, kambing itu berlari kencang menyeruduk dan Kiai itu terjatuh pasrah sambil tetap memegang tali di tangannya.” Para hadirin termasuk Kiai Bungah tertawa lepas mendengar kisah kocak dari Kiai Bejo.
“Kalian tahu siapa santri nekat itu?
Santri nekat itu adalah aku dan sejak kejadian memalukan itu aku paham bahwa mengayomi masyarakat yang kemauan mereka beragam tidak cukup dengan modal ilmu. Aku juga butuh mental yang kuat salah satunya dengan cara berorganisasi dan berpolitik, itu semua dalam rangka menempa mentalku dan mengendalikan perasaanku agar tidak bangga dengan ilmuku, karena ternyata modal ilmu tok kalah karo wedhus. Hahahaha,” Kiai Bejo melanjutkan ceritanya menertawakan diri sendiri.
Ilustrasi di atas menggambarkan tentang dua orang tokoh yang berbeda pandangan tentang sesuatu, tapi keduanya disatukan dengan momentum humor sehingga ketegangan dan kecurigaan orang awam bisa dihindari.
Hukum Humor
Sesuatu yang jenaka hukumnya boleh dalam agama, bahkan Nabi Muhammad Saw juga sosok yang jenaka dalam beberapa moment. Hal itu bisa kita pahami bahwa para sahabat yang mendampingi dakwah Nabi berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Tidak semuanya berasal dari kalangan alim, cerdas, dan tokoh berpengaruh. Beberapa sahabat Nabi juga banyak dari kalangan awam yang memahami ajaran Nabi Saw melalui perilaku-perilaku sederhana dan jenaka.
Salah satu Hadis riwayat Imam Tirmidzi yang menggambarkan sisi jenaka Nabi Saw yaitu ketika seorang nenek sowan kepada Nabi dan minta didoakan agar kelak masuk surga. Nabi Saw menjawab “Inna aljannata laa yadkhuluha ‘ajuzan, sesungguhnya di surga tidak ada nenek tua.” Maksud dari jawaban Nabi Saw itu adalah bahwa kelak ahli surga akan berparas muda, cantik dan tidak menua.
Dalam riwayat lain, Nabi Saw juga pernah ‘guyon’ dengan salah seorang pemuda badui yang ingin menumpang kendaraan Nabi tetapi dia merasa sungkan. “Nanti aku sewakan kamu anak unta,” kata Nabi. Pemuda itu heran dan membayangkan bagaimana mungkin seekor anak unta bisa dia tumpangi pulang ke rumahnya yang jauh.
Unta itu datang dan ternyata bukan anak unta. “Itu bukan anak unta, wahai Nabi. Ini Bapaknya unta.” Kata pemuda badui itu. Nabi tersenyum dan menjawab, “Bukankah dia anak dari unta juga?” Pemuda badui dan para sahabat yang menyaksikan kejadian itu ikut tertawa.
Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin mengatakan bahwa “al iltidzadz bil mubahat qatbu addin, memperoleh kesenangan dengan sesuatu yang diperbolehkan akan menjadi sumbu agama.” Artinya jangan sampai sumbu itu kita sulut dengan sesuatu yang justru akan menodai dan menciderai agama yang membawa spirit rahmatan lil alamin, rahmat untuk seluruh makhluk.
Kiai Bahauddin Nur Salim (Gus Baha’) dalam beberapa tausiah sering menyampaikan bahwa guyon menjadi barang mewah bagi banyak orang yang menjalankan agama, mereka sudah cukup penat dengan hajat kehidupan sehari-hari, maka salah satu cara merangkul mereka agar tidak putus asa dan tidak lari dari rahmat Allah adalah dengan menampilkan ajaran agama yang segar, enjoy, dan menyenangkan.
Paling tidak ada tiga manfaat dari beragama dengan jenaka:
Pertama, agama menganggap penting tentang “idkhal as-surur, membagi kebahagiaan” kepada orang lain dan kita bisa menerapkannya melalui media kisah-kisah jenaka yang membuat orang lain tersenyum. Nabi Saw bersabda, “tabassumuka fi wajhi akhika shadaqah, membuat tersenyum wajah saudaramu adalah termasuk sedekah.”
Kedua, menghilangkan kejenuhan dan kebosanan yang bisa datang kapan saja karena psikologi manusia cenderung akan cepat jenuh dengan rutinitas sehari-hari, termasuk rutinitas menjalankan kewajiban agama, seperti shalat lima waktu.
Ketiga, merangkul orang-orang yang menganggap dirinya jauh dari rahmat Allah karena beban hidup yang dipikulnya sangat berat, melalui medium “jenaka” bisa menjadi salah satu ikhtiar menghidupkan harapan baik di hati mereka.
Kisah Jenaka Kiai
Terakhir, penulis ingin memungkasi tulisan ini dengan kisah Kiai Wahab Hasbullah rahimahullah, suatu hari beliau disowani seorang Bapak yang berniat qurban sapi untuk putra-putrinya yang berjumlah delapan orang.
“Kiai, saya ingin qurban untuk anak-anak saya, mereka ada delapan orang.”
“Iya, terus?” tanya Kiai Wahab
“Katanya kalau qurban satu sapi hanya boleh untuk tujuh orang, kebetulan uang saya
Belum cukup untuk beli dua sapi.” Jawab Bapak itu memelas
“Oh begitu, monggo saja kalau mau qurban satu sapi, semampunya tidak usah dipaksakan.”
“Terus anak saya yang terakhir bagaimana, Kiai?”
“Nah itu dia, saya juga sedang berpikir bagaimana caranya nanti anak bontot sampeyan ikut naik sapinya, wong tujuh orang saja sudah sesak.” Diam sejenak kemudian Kiai Wahab melanjutkan, “Begini saja, kamu beli satu kambing lagi buat alat memanjat anakanakmu yang mau naik sapi, supaya tidak repot.”
“Oh nggih, Kiai. Itu ide bagus. Maturnuwun.”
Bapak itu pulang ke rumah dengan perasaan lega dan semangat membelikan hewan qurban untuk anak-anaknya. Seenjoy itu Kiai Wahab menjelaskan syariat qurban. Hadaanallah
- Oleh: Haibani Abidzar (Santri Nurul Anam Kranji Pekalongan)