tebuireng.co – Kalau ada yang berpandangan ber-NU wajib ber-PKB, sebetulnya itu boleh saja sebagai salah satu pandangan saja. Apakah orang tersebut kader PKB, simpatisan PKB maupun ada kedekatan personal dengan Ketua Umum PKB. Sehingga anggap saja catatan harian saya ini akan menjadi penyeimbang atas pandangan tersebut, bahwa ber-NU tidak wajib ber-PKB. PKB dahulu memang didirikan oleh para Kiai NU, tetapi bukan berarti membuat kita menjadi cupu, bahwa PKB dahulu dan sekarang itu ghirahnya sama. Saya tegaskan: sangat jauh berbeda.
Sekilas saja, sekadar mengingatkan sejarah pahit PKB ke publik, bahwa tidak bisa dipungkiri bahwa PKB itu identik dengan Gus Dur (Alm. KH. Abdurrahman Wahid). Namun percaya atau tidak, sejak PKB dipimpin Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) setelah sebelumnya malah berebut pimpinan dengan Gus Dur, tidak ada keraguan bahwa memang tidak ada kewajiban jika kita ber-NU wajib ber-PKB. Pandangan ini bagi saya sangat fatal dan berlebihan sekali. Dengan kata lain, warga Nahdliyin dan para santri bebas memilih partai politik apa pun, apakah itu PPP, PSI, PKS.
Baca Juga: Cak Imin vs Gus Dur Pasca Muktamar ke-34 NU
Kalau mau tahu bagaimana dan seperti apa PKB dewasa ini, silakan sowan ke rumah keluarga Gus Dur di Ciganjur. Tegas dan jelas ya? Bagaimana bisa orang-orang yang dibesarkan Gus Dur malah mengecilkan dan membunuh Gus Dur. Oleh karena itu, saya dan siapa pun bisa bersahabat dengan Cak Imin, dengan Pak Syaikhu (Presiden PKS), Bro Giring (PSI) dan siapa pun, tetapi itu semua tidak sampai membuat saya gelap mata dan saklek. Saya punya akal sehat, punya hati nurani. Tidak tahu kalau orang lain yang kadung gelap mata dan saklek.
Ber-NU tidak Wajib Ber-PKB!
Jujur saya turut prihatin apabila ada yang menyatakan bahwa ber-NU wajib ber-PKB. Lebih prihatin lagi apabila ada yang menyatakan bahwa NU berhutang pada PKB, termasuk menafsirkan khittah 1926 NU dengan makna PBNU wajib bermain politik praktis dengan PKB dalam perebutan posisi Presiden dan Wakilnya, Gubernur dan Wakilnya, berikut seterusnya. Ini tafsir dan pemahaman yang dangkal sekali – untuk enggan mengatakan bodoh sekali.
Bedakan ya antara PKB semasa Gus Dur dan PKB versi Cak Imin. Kepemimpinan Cak Imin ketika berhasil merebut PKB dari Gus Dur dan sebelumnya berani secara terang-terangan berkonflik dengan Gus Dur, ini penghinaan besar terhadap Gus Dur. Apalagi kalau sampai masih ada yang membawa-bawa nama Gus Dur dan segala atributnya dalam kampanye PKB. Jangankan saya, semua warga Nahdliyin haqqul yaqin akan kembali satu suara dan satu komando apabila PKB dikembalikan pada ruhnya, yakni dengan sowan dan meminta maaf kepada keluarga Gus Dur, setelah itu penuhi segala permintaan keluarga Gus Dur, lalu gelar Muktamar PKB untuk memilih Ketua Umum dan Ketua Dewan Syuro PKB yang baru.
Baca Juga: Ketika Cak Imin Melawan Gus Dur
Dan yang juga patut dicatat baik-baik ya! KH. Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya yang sekarang menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, secara tegas tidak boleh ada monopoli parpol tertentu, PBNU tidak boleh lagi menjadi kontestan Pilpres, dan buktinya Gus Yahya yang sowan kepada keluarga Gus Dur. Mbak Alissa Wahid yang kemudian juga diangkat Gus Yahya menjadi salah satu pimpinan di PBNU. Saya bersyukur bahwa PBNU di bawah kendali Gus Yahya secara terang-terangan tidak PKB oriented, malah hampir semua parpol besar diakomodir. Hahaha.
Jadi kalau ada orang, siapa pun orang itu, apakah kader PKB, simpatisan PKB, maupun yang tiba-tiba mendukung PKB habis-habisan dalam waktu dekat ini, saya jamin, itu hanya kepentingan pragmatis! Bagaimana mungkin orang tiba-tiba membabi buta mendukung PKB, gencar menarasikan PKB, sambil membawa-bawa nama Gus Dur, membawa nama-nama Ayahnya, dan yang lebih konyolnya lagi ia sendiri merupakan mantan kader parpol lain (mantan kader PDI Perjuangan), eh tiba-tiba malah mengkampanyekan PKB versi Cak Imin secara berlebihan. Herman saya, eh heran maksud saya!
Wallaahu a’lam
Oleh: Mamang M Haerudin (Aa)