Benarkah nabi pakai celana cingkrang? Sebuah pertanyaan dari mahasiswa baru di kampus negeri. Menjawab hal itu, saya memberikan catatan KH Ma’ruf Khozin sebagai jawaban atas pertannyaannya.
Menurut Kiai Ma’ruf Khozin, umumnya pertanyaan ini diajukan oleh mereka punya slogan kembali ke al-Qur’an dan Sunah. Ketika ditanya mana dalil bahwa Nabi Muhammad pakai celana cingkrang sampai sekarang tidak menjawab dalil secara khusus. Dalilnya pakai “tsaub” yang artinya pakaian secara umum.
Sekali lagi mana dalil khususnya? Tetap bungkam 1000 bahasa.
Syaikh Syaukani menulis:
ﻭﺃﻣﺎ اﻟﺴﺮاﻭﻳﻞ ﻓﺎﺧﺘﻠﻒ ﻫﻞ ﻟﺒﺴﻬﺎ اﻟﻨﺒﻲ – ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﺃﻡ ﻻ؟ ﻓﺠﺰﻡ ﺑﻌﺾ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﺑﺄﻧﻪ – ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻟﻢ يلبسه ﻭﻳﺴﺘﺄﻧﺲ ﻟﻪ ﺑﻤﺎ ﺟﺰﻡ ﺑﻪ اﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻲ ﺗﺮﺟﻤﺔ ﻋﺜﻤﺎﻥ – ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ – ﻣﻦ ﻛﺘﺎﺏ ﺗﻬﺬﻳﺐ اﻷﺳﻤﺎء ﻭاﻟﻠﻐﺎﺕ، ﺃﻧﻪ ﻟﻢ ﻳﻠﺒﺲ اﻟﺴﺮاﻭﻳﻞ ﻓﻲ ﺟﺎﻫﻠﻴﺔ ﻭﻻ ﺇﺳﻼﻡ ﺇﻟﻰ ﻳﻮﻡ ﻗﺘﻠﻪ، ﻓﺈﻧﻬﻢ ﻛﺎﻧﻮا ﺃﺣﺮﺹ ﺷﻲء ﻋﻠﻰ اﺗﺒﺎﻋﻪ
Soal celana, para ulama beda pendapat apakah Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam memakainya atau tidak? Sebagian ulama memastikan Nabi Muhammad tidak pernah memakai celana. Hal ini berdasarkan penulisan An-Nawawi ketika menampilkan biografi Usman di kitab Tahdzib bahwa Usman tidak pernah memakai celana, baik di masa jahiliah atau masa Islam. Padahal mereka paling semangat mengikuti Nabi (Nail Authar, 3/124).
Soal mereka menggambarkan bahwa celana cingkrang itu sunah adalah dengan menggabungkan 2 hadis, hadis pakaian dan hadis pakaian di atas mata kaki. Namun, jangan pernah memastikan bahwa celana cingkrang adalah celana Nabi!!! Nanti diminta dalilnya malah ruwet.
Jadi mereka ini pakai dalil umum. Bukan dalil khusus. Sementara mereka selalu menuntut amalan kita dengan dalil khusus. Anehnya mereka melanggar kaidahnya sendiri. Biasa standar ganda.
Andaikan celana cingkrang baik tentu Nabi Muhammad sudah lebih dulu memakainya!
Orang model begini menurut KH Ma’ruf Khozin seringkali mengaku pengikut salaf, hanya saja salaf yang mana?
Pengikut Salaf Yang Mana?
Ulama Salaf, ulama yang hidup di masa sahabat, tabiin dan tabiit tabiin. Tentu banyak jumlahnya. Padahal dari masing-masing mereka mengalami perbedaan dalam tata cara ibadah.
Berikut beberapa klaim suatu kelompok yang mengaku “mengikuti al-Qur’an dan sunah sesuai pemahaman Salaf”, tapi nyatanya tidak sesuai karena mengingkari beberapa hal ini:
1. Tawasul
Imam Ahmad salah satu ulama Salaf ternyata mengamalkan tawasul:
قال أحمد فى منسكه الذى كتبه للمروذى صاحبه إنه يتوسل بالنبى فى دعائه
Ahmad bin Hanbal berkata dalam kitabnya yang ditulis untuk Al-Marwadzi bahwa ia ber-tawasul dengan Nabi Muhammad dalam doanya (Majmu’ Fatawa 1/140)
Lalu hari ini ada kelompok yang mengaku sebagai pengikut Salaf tapi mensyirikkan tawasul?
2. Mengamalkan Hadis Daif
Memang bagi sebagian ulama Salaf ada yang menerima hadis daif dan ada yang menolak. Jika hari ini ada yang mengaku ikut Salaf tapi menolak hadis daif keseluruhan maka tidak benar:
أحمد بن حنبل يقول إذا روينا عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: في الحلال والحرام شددنا في الأسانيد وإذا روينا عن النبي صلى الله عليه وسلم في فضائل الأعمال ومالا يضع حكماً ولا يرفعه تساهلنا في الأسانيد
“Bila kami meriwayatkan dari Nabi Muhammad tentang hukum halal dan haram, maka kami sangat selektif dalam hal sanad. Jika kami meriwayatkan keutamaan amal dan selain hukum, maka kami tidak selektif” (Thabaqat Al-Hanabilah, 1/171)
3. Baca al-Qur’an di Makam
Hari ini kelompok Salafi membid’ahkan baca al-Qur’an saat ziarah kubur. Padahal ulama Salaf mengamalkan:
قَالَ الْمَرُّوذِيُّ : سَمِعْتُ أَحْمَدَ يَقُولُ : إذَا دَخَلْتُمْ الْمَقَابِرَ فَاقْرَءُوا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ ، وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ، وَاجْعَلُوا ثَوَابَ ذَلِكَ إلَى أَهْلِ الْمَقَابِرِ ؛ فَإِنَّهُ يَصِلُ إلَيْهِمْ ، وَكَانَتْ هَكَذَا عَادَةُ الْأَنْصَارِ فِي التَّرَدُّدِ إلَى مَوْتَاهُمْ ؛ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ
“Dianjurkan baca al-Qur’an di kubur. Ahmad berkata ”Jika masuk kubur bacalah fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas, hadiahkan untuk ahli kubur, maka akan sampai. Inilah kebiasaan sahabat Ansar yang bolak-balik kepada orang yang meninggal untuk membaca al-Qur’an.” (Mathalib Uli an-Nuha 5/9)
4. Isbal
Memanjangkan kain dan pakaian sampai ke bawah mata kaki ada yang mengatakan makruh dan haram. Ada yang berpendapat haram jika motif sombong dan tidak haram jika tidak sombong. Tidak bisa digeneralisir bahwa isbal adalah neraka semua.
Ulama Mazhab Hambali mengatakan:
وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ
Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah memakai selendang mahal, harga 400 dinar, dan panjang sampai ke tanah. Ia ditegur: “Bukankah ini dilarang? Abu Hanifah berkata: “Larangan isbal itu bagi orang sombong. Kita tidak sombong” (Ibnu Muflih, al-Adab, 4/226).
Setelah itu mahasiswa tersebut puas atas jawaban dari pertanyaan benarkah nabi pakai celana cingkrang? Semoga KH Ma’ruf Khozin sehat selalu