KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) nampaknya sangat cocok dijadikan rujukan dalam membahas dan mempelajari konsep Islam Wasathiyah. Sebab, sejauh ini, Konsep Islam Wasathiyah masih menjadi term yang menarik apalagi ketika dihubungkan dengan isu-isu krusial, semisal radikalisme yang kemudian berbuntut menjadi terorisme. Promosi Islam Wasathiyah kian gencar disuarakan ke berbagai instansi yang ada. Promosi demikian dilakukan sebagai upaya deradikalisasi terhadap radiasi kelompok-kelompok radikalis yang selalu mewacanakan khilafahisasi di Indonesia. Terlebih, tindakan-tindakan anarkis yang memang sering dilakukan oleh mereka, termasuk terorisme itu sendiri.
Islam Wasathiyah sebagai sebuah konsep yang ditawarkan dianggap tepat dalam menekan isu-isu demikian. Beragam sosialisasi dilakukan, entah melalui seminar moderasi, media, dan kegiatan-kegiatan pendukung lainnya. Sebagai contoh, September 2022 kemarin, saya berkesempatan menjadi salah satu kontributor terpilih sekaligus presentator jurnal pada Muktamar Pemikiran Mahasiswa di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo dengan tajuk moderasi beragama.
Memang, program dan kegiatan demikian bisa dikatakan sangat penting untuk menangkal beragam bentuk radikalisme yang ada. Apalagi menilik pergerakan kelompok radikalis (meskipun legalitasnya sudah dicabut) masih tetap gencar melakukan doktrinasi-doktrinasi radikalisme. Nah, Islam Wasathiyah di sini kemudian hadir sebagai sebuah solusi. Namun, pertanyaan selanjutnya, sudahkan makna Islam Wasathiyah dimaknai secara utuh? Benarkah Islam Wasathiyah sudah benar-benar diterapkan dengan baik?
Tentu jika melihat kepada Islam Wasathiyah sebagai solusi atas radikalisme keagamaan, jawabannya iya. Isu radikalisme saat ini memang sudah mulai reda, apalagi di tahun baru dan natal kemarin. Kabar terorisme tidak bising seperti tahun sebelumnya. Namun, nyatanya, Islam Wasathiyah yang dipromosikan tidak benar-benar menyentuh terhadap aspek lain yang tak kalah penting, semisal keadilan ekonomi, hukum, dan lainnya. Padahal, makna Islam Wasathiyah itu lebih general dari apa yang kita bayangkan.
Politisasi Islam Wasathiyah
Wasathiyyah, salah satu akar bahasanya yang juga masyhur adalah tawassuth. Tawassuth memiliki sinonim kata dalam bahasa Arab, yakni I’tidal. Tawassuth ataupun i’tidal sama-sama menjadi prinsip sekaligus landasan sikap kemasyarakatan warga Nahdliyin (NU; Nahdlatul Ulama). Setidaknya ada 4 sikap kemasyarakatan yang ditampakkan oleh NU, antara lain; Tasamuh, Tawazun, Amar Ma’ruf Nahi Munkar, dan Tawassuth (yang akan dibahas dalam tulisan ini)
Tawassuth sendiri bermakna tengah-tengah, secara lughah (bahasa). Secara terminologisnya, tawassuth berarti mengambil sikap adil di antara dua arah, dua sisi, dan dua hal kontradiktif. Sikap kemasyarakatan ini berintikan pada keharusan untuk berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bermasyarakat.
Sikap ini ada untuk menjauhi segala hal yang tatharruf (ekstrem), entah itu ekstrem kanan atau ekstrem kiri. Tentu maknanya pun general dan umum, ekstrem yang dimaksud tidak hanya dalam realitas beragama (semisal untuk menentang paham radikalisme dan liberalisme), melainkan ada keadilan lain yang juga termasuk dalam konsep tawassuth ini.
Namun, saat ini tawassuth yang disosialisasikan, utamanya oleh pemerintah, seakan direduksi pada pengertian yang lebih sempit dan tidak utuh (tidak mencakup makna tawassuth itu sendiri). Tawassuth yang dipromosikan tidak lebih hanya membahas isu seputar perlawanan terhadap paham ekstrem keagamaan (radikalisme dan liberalisme). Sementara, isu lain seolah disembunyikan, semisal dalam keadilan ekonomi.
Tawassuth saat ini sengaja dibawa-bawa, diinterpretasikan sendiri, dan dibingkai sendiri oleh segelintir kelompok dengan segala kepentingannya. Misal dalam ranah politik elektoral, tawassuth dikumandangkan hanya untuk tujuan-tujuan politis. Dampaknya, terjadi polarisasi-polarisasi di masyarakat. Lebih naif lagi, masyarakat terjebak dalam pengertian sempit itu dan akhirnya terus gagal memaknai penuh arti tawassuth yang asli.
Contoh sederhananya, pemerintah dan beberapa kalangan gencar melakukan sosialisasi Islam Wasathiyah, namun sosialisasi itu hanya terbatas pada seruan untuk menolak segala bentuk radikalisme agama. Sementara, keadilan ekonomi justru didiskriminasi oleh mereka sendiri. Misal, memberikan karpet merah dan ruang untuk kapitalisme.
Beberapa kebijakan dan konstitusi yang ditetapkan, sejak UU Minerba, UU Ciptaker, hingga yang paling anyar UU KUHP adalah segelintir undang-undang yang sama sekali tidak menjunjung Islam Wasathiyah. Undang-undang tersebut—dalam aspek ekonomi—sangat kontras, cenderung kapitalistik dan liberal. Bisa dilihat sendiri bagaimana investor dan kaum pemodal diberi karpet merah. Sedangkan kaum bawah, nasibnya semakin naif.
Konstitusi yang akan dan telah disahkan adalah buktinya. Sejak UU Minerba, UU Ciptaker, hingga yang teranyar UU KUHP merupakan segelintir Undang-undang yang di dalamnya berisi ketidakadilan. Dalam ekonomi misalkan, jelas kontras bagaimana praksis ekonomi liberal dan kapitalisme akan ditumbuh suburkan. Kita bahkan bisa melihat sendiri bagaimana kaum pemodal dan investor diberi karpet merah. Sedangkan kaum bawah nasibnya semakin terpuruk.
Di Sumenep misalkan, perebutan tanah yang terjadi antara investor dan warga masih marak terjadi. Namun, dengan segala kekuatan yang dikantongi (salah satunya melalui dukungan dari pemerintah kabupaten setempat), investor dengan mudah merebut tanah milik warga. Bahkan beberapa tanah milik warga—sebagaimana ditulis dalam buku “Rebutan Lahan di Pesisir Pantai Sumenep” direbut secara paksa untuk keperluan investasi.
Islam Wasathiyah Ala Gus Dur
Gus Dur, mendengar nama ini, di benak kita pasti terlintas sosok nyeleneh, zig-zag, dan tidak mudah ketebak. Gus Dur adalah pribadi yang unik dengan segala mozaik keilmuan dan intelektual yang terpancar dalam dirinya. Selama ini kita mengenal Gus Dur dengan segala macam rupa, kadang ia berperan sebagai politikus, pelawak, komentator, kiai, ulama, dan bahkan komika.
Selama hidupnya, Gus Dur tidak pernah gagal mempromosikan pluralisme, sehingga ia dijuluki sebagai bapak pluralis. Tidak hanya di lingkup Nusantara, pluralisme Gus Dur yang bergenealogi pada pesantren rupanya juga dipromosikan ke berbagai negara. Gus Dur selalu tampil dengan sikap pluralnya. Sikap inilah yang juga merupakan indikasi dari konsep Islam Wasathiyah yang ada dalam diri Gus Dur sendiri.
Islam Wasathiyah yang diusung dan dicitrakan oleh Gus Dur adalah konsep tawassuth yang benar-benar utuh. Gus Dur tidak hanya bersikap i’tidal ketika dihadapi degan keragaman agama. Namun, ia juga gencar membela kaum-kaum minoritas yang secara nasib sedang tidak baik-baik saja. Lihat saja bagaimana pembelaan Gus Dur terhadap penyanyi Inul Daratista saat itu, atau keberpihakannya kepada rakyat Papua dalam kasus Freeport.
Sikap plural dan corak Islam Wasathiyah yang ada di dalam dirinya sangat mengagumkan. Saya yakin, jika saat ini Gus Dur masih bersama kita, tentu pembelaannya terhadap warga Wadas, warga pesisir timur Sumenep akan sama dengan yang dilakukannya ketika menghadapi konflik Freeport di Papua saat itu. Gus Dur dengan apik merealisasikan interpretasi tawassuth dan i’tidal di dalam setiap kebijakannya menjadi presiden sekaligus ketika ia menjadi manusia biasa yang humanis.
Maka, dengan berkaca pada Gus Dur, kita harus reinterpretasi makna Islam Wasathiyah secara lebih menyeluruh. Sehingga term ini tidak berputar-putar hanya dalam pembahasan ihwal ekstremisme agama. Namun, juga meluas pada isu yang lebih kompleks.
*Tulisan ini telah dilombakan dalam sayembara menulis esai yang bertajuk “Meneladani Sang Guru Bangsa” yang diselenggarakan oleh Tebuireng.co pada Januari 2023.
Penulis: Aqil Husein Almanuri
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan
Baca juga: Gus Dur di Mata Gus Kikin