tebuireng.co – Bahaya kapitalisasi panggilan ‘Gus’ ini disampaikan oleh Pengasuh Pondok Pesantren asrama Queen Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang H M Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans).
Ia mengatakan bahwa orang yang bukan keturunan kiai, tapi dipanggil ‘Gus’ adalah ‘Gus’ naturalisasi. Ini bahaya karena termasuk kapitalisasi panggilan ‘Gus’.
“Definisi ‘Gus’ itu simpel. ‘Gus’ adalah sebutan untuk putra seorang kiai. Sebutan ‘Gus’ untuk seseorang yang bukan putra kiai adalah ‘Gus’ jadi jadian, Gus naturalisasi, baik ciptaan media maupun panggilan seenaknya dari para pengikut atau pengagumnya,” jelasnya, Jumat (5/8/2022).
Menurutnya, mereka yang menyandang panggilan Gus tidak harus alim dalam bidang agama. Namun, sangatlah disayangkan jika panggilan Gus dikapitalisasi untuk menipu atau mencari keuntungan materi.
“Saat ini, siapa saja bisa mengaku Gus untuk mendapatkan privilege yang bisa dikapitalisasi,” jelasnya.
Baginya, sangat disayangkan juga ketika praktik pengobatan alternatif dibungkusi dengan atribut agama atau panggilan ‘Gus’ agar laris. Ada juga orang yang mendadak Gus saat menjelang pemilu agar orang lebih percaya.
“Bisnis permainan kepercayaan ini memang lebih menggiurkan karena tidak perlu ada alokasi anggaran uji kompetensi, uji klinis dan penelitian. Penentuan tarifnya pun tidak ada HET (harga eceran tertinggi) layaknya obat pabrikan,” tegasnya.
Dikatakan Gus Hans, praktik pengobatan alternatif atau biasanya disebut perdukunan akan semakin laris ketika ada label panggilan ‘Gus’ di depannya. Status sosialnya akan naik dan banyak yang datang minta obat. Harga biasanya seikhlasnya, tapi tanpa penentuan batas harga tertinggi.
“Penghasilan tinggi ini yang dibutuhkan hanyalah kemampuan komunikasi dan teaterikal dalam meyakinkan pasien. Kemampuan yang tidak kalah penting untuk dimiliki adalah tatag melawan hati nurani,” imbuh Wakil Rektor UNIPDU Jombang ini.
Seharusnya, kata Gus Hans, jika sebutan ‘Gus’ diberikan kepada seseorang karena dia putra kiai, lalu apa yang bisa dibanggakan? Justru yang ada adalah beban moral menjaga nama besar orang tuanya. Inilah bahaya kapitalisasi panggilan “Gus’.
“Ada beban mental ketika kemampuannya terkadang tidak dapat menjawab ekspektasi masyarakat,” ujarnya.
Hal senada disampaikan oleh Pengasuh Pondok Pesantren putri Tebuireng KH Fahmi Amrullah Hadzik mengatakan bahwa gelar ‘Gus’ tidak sembarangan boleh dipakai seseorang.
Menurutnya, menyandang gelar ‘Gus’, lora, ajengan dan lain sebagainya merupakan penanda bahwa dia putra ulama/kiai, tentu tidak sembarangan. Harus diiringi sifat, akhlak dan adab yang baik.
“Sekarang banyak yang latar belakangnya tidak jelas, tapi punya kemampuan sedikit sudah dipanggil ‘Gus’. Repotnya lagi, banyak yang memanipulasi gelar Gus untuk keburukan. Tentu ini berbahaya bagi ‘Gus’ yang baik-baik dan betul-betul putra kiai,” tutup cucu Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari ini.
Menurut kalian apa bahaya kapitalisasi panggilan ‘Gus’?