tebuireng.co – Di Indonesia dikenal negara yang majemuk, beragam kelompok ada di Indonesia. Bangsa Indonesia juga dikenal sebagai masyarakat religius karena jumlah penduduk muslimnya terbesar didunia. Namun, ateisme masih tabu di Indonesia.
Meskipun demikian kita tidak boleh abai terhadap kelompok-kelompok Islam yang kehadirannya justru mempertentangkan Islam dan negara. Sebagaimana kelompok HTI yang sudah dibubarkan.
Sekarang ini, keindonesiaan dan keislaman merupakan satu nafas yang sudah tidak bisa dipisahkan. Ironisnya, kini muncul kelompok penganut ateisme (baru) dan mereka juga sudah punya wadah komunikasi di kanal facebook, yang seluruh kabarnya berisi tentang kritik terhadap agama.
Mereka tak percaya Tuhan dan Dewa-Dewi atau kekuatan Supranatural dan sebutan apa pun yang mengendalikan hidup di dunia ini. Intinya, mereka menolak ‘Teisme’.
Tahun lalu, saya membaca survei soal penyebab penting meningkatnya ateisme di Timur Tengah. Survei yang ditulis Tirto.id itu menyebut sebanyak sebanyak 10,7 juta orang di Mesir—dari jumlah penduduk 87 juta—mengaku ateis.
Di Arab Saudi, mengutip hasil riset WIN-Gallup International, sekitar 19 persen dari masyarakat mengaku tidak terlibat dalam praktik keagamaan dan lima persen lainnya ateis.
Bukan cuma itu, ateisme juga mendapat simpati di jagad maya. Laman Facebook penganut ateisme di Irak bertajuk “Agnostik dan Ateis Irak” memiliki 17 ribu pengikut dan 13 ribu tanda likes.
Arab Spring, pertikaian berkepanjangan, ditambah lemahnya kepemimpinan, menjadi alasan banyak orang berbelok perhatian dan bersimpati kepada ateisme.
Tetapi, apakah menolak agama adalah keputusan yang pas lantaran kecewa terhadap perilaku sebagian penganut yang radikal, konservatif, dan gemar meneror?
Belum tentu! Sebab, masalahnya, kalau problemnya adalah perilaku busuk umat beragama (dalam hal ini Islam, karena saya muslim) yang disorot habis, maka yang perlu dilakukan adalah mereformasi Islam, melakukan pembaruan pemikiran keagamaan, bukan malah meninggalkan agama.
Baca Juga: Gus Sholah, Keindonesiaan dan Keislaman

Cak Nur, Gus Dur, Djohan Effendi, Kang Jalal, Buya Syafii Maarif, dan sederet pembaru pemikiran Islam lainnya telah menafsirkan ajaran dan pemikiran Islam agar kontekstual.
Membentengi agama agar tak diseret ke medan politik; supaya tak dibawa-bawa ke ruang-ruang kekerasan; agar tak dijadikan alat legitimasi untuk memerangi yang lain.
Saya bersimpati kepada para pembaru pemikiran Islam, lantaran upaya dan kerja-kerja intelektual mereka menyadarkan umat, mengedukasi agar umat berani menerobos kejumudan berpikir demi kemaslahatan umat sendiri.
Prinsip pembaruan agama yang kerap jadi pegangan, sebagaimana Cak Nur sering utarakan, “al-muhāfadzatu ‘ala-l qadīmi-s shālih wa-l akhdzu bi-l jadīdi-l ashlah (memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik)”.
Di sinilah persisnya komitmen kita, sebagai manusia, pada apa yang kita pegang dan yakini. Komitmen inilah yang membuat kita dihargai dalam hal apa pun. Jika ada yang kurang, apalagi keliru, pada apa yang kita yakini itu, ya kita perlu memperbaruinya agar lebih baik dari berbagai sisi.
Inilah tantangan pembaruan agama. Dakwah kepada kebaikan harus selaras dengan inklusivisme dalam beragama, berpikir, dan bertindak.
Radikalisme, konservatisme, sektarianisme, dan terorisme yang membuat banyak orang kehilangan kepercayaan kepada agama harus ditantang dengan memberangusnya: bahwa agama adalah harmoni dan kedamaian.
Memang tidak gampang. Tetapi, beriman perlu berpikir, menyitir Gus Ulil Abshar Abdalla. Kita harus berani mengoreksi agama dari dalam agama itu sendiri—demi melakukan perbaikan—bukan berdiri lantas berbicara lantang dari luar pagar agama, dengan maksud tegas: menghancurkannya.
Wallahua’lam bi al-Shawab
Oleh : Fakhrurozi
Editor : Ahmad Fao