tebuireng.co – Aswaja dan Materialisme sekilas seakan tidak ada hubungannya. Aswaja singkatan dari Ahlussunah wal Jama’ah dan Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi.
Buku dengan judul “Menuju Aswaja-Materialis” memberikan sebuah wacana baru yang berhasil penulis bangun berdasarkan fakta lapangan.
Sebuah kajian yang menjadikan paham aswaja beserta materialisme sebagai objek utama dengan tujuan supaya dapat mengawinkan dan mencari titik temu antara keduanya.
Menuju Aswaja-Materialis: Aswaja, Sains Marxisme dan Post-Moderatisme Islam adalah judul buku hasil pemikiran mendalam Moh Roychan Fajar, seorang Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Sumenep, Madura.
Materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi bergerak dan berkembang sebagai pembentuk awal dari alam, akal dan kesadaran merupakan proses materi fisik.
Materialisme tidak mengakui entitas-entitas non material seperti roh, hantu, setan, malaikat dan bahkan Tuhan.
Materialisme juga tidak mengakui dzat adikodrati dengan begitu materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di alam kebenaran semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra.
Pada zaman Yunani kuno telah ada paham tentang materialisme yaitu yang berkembang pada filsuf-filsuf Yunani tentang kejadian alam seperti yang diterangkan oleh Thales (625-546 SM) bahwa asal kejadian alam atau materi pembentuknya adalah air.
Menurut Anaximenes asal kejadian alam adalah udara. Filsafat ini terus menerus berkembang dan menurut Heraclitus (540-480 SM) materi yang pembentuk alam raya ini adalah “segala sesuatu mengalir”.
Empedocles (490-430) mengatakan bahwa asal kejadian alam terdiri dari empat unsur yaitu: air, udara, tanah dan api. Demokritus berpendapat bahwa alam ini terdiri dari atom-atom yang bergerak-gerak tanpa akhir dan jumlahnya sangat banyak.
Atom adalah partikel kecil penyusun zat yang mempunyai bagian-bagian yaitu proton, neutron, dan elektron.
Semua yang dikatakan para filsuf Yunani adalah pandangan dunia materialisme. Akan tetapi pendapat mereka tidak berlanjut sampai mendapatkan kebenaran yang sebenarnya.
Materialisme modern mengatakan bahwa alam itu merupakan kesatuan materil yang tidak terbatas. Alam di dalamnya segala materi dan energi selalu ada dan akan tetap ada dan alam (univers) adalah sesuatu yang keras yang dapat diindra atau dapat diketahui oleh manusia.
Materialisme modern mengatakan bahwa materi itu ada sebelum jiwa (mind) dan dunia materil adalah pertama sedangkan pemikiran tentang
dunia ini adalah nomor dua.
Roychan menyadari bahwa bagi sebagian besar warga Nahdlatul Ulama (NU), filsafat materialisme merupakan sesuatu yang asing dalam dinamika pemikiran mereka.
Di antara penyebabnya, menurut analisisnya yaitu ada sejarah pahit antar warga NU dengan golongan materialis, sehingga hal tersebut membuat enggan mereka untuk mendekati apalagi mempelajari paham materialisme.
Sebut saja, ialah perselisihan besar antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan warga NU secara terang-terangan. Mulai silang pendapat, hingga bentrok dan angkat senjata antara keduanya.
Puncak dari semua itu ialah pada tanggal 30 September 1965 di mana kemudian dikenal dengan peristiwa gerakan G30S/PKI.
Dalam buku ini, Roychan Fajar menggunakan pendekatan, manhaj al-fikr dan metodologi dari Sains Marxisme. Sebagai gugatan epistemik, tentu konsepsi teoritis yang terbangun dalam buku ini nampak baru
Sebelumnya, dalam Muqaddimah Al-Qanun Al-Asasi li Jam’iyah Nahdhatil Ulama, KH M Hasyim Asy’ari menyampaikan kritikannya. Menurutnya, paham materialisme merupakan cara berpikir yang harus dijauhi.
Sebab, ia menyandarkan semuanya hanya pada hal-hal yang bersifat materi. Bagi materialisme, tidak ada alam gaib dan segala keabstrakannya. Tuhan pun demikian, mereka juga menafikan keberadaan-Nya karena tidak tampak dan berwujud materi.
Maka tidak perlu dipertanyakan lagi mengapa materialisme menjadi sesuatu yang asing bagi kalangan besar warga NU. Kendati demikian, sebenarnya bukan berarti kaum Nahdliyin juga harus menolak paham yang satu ini secara keseluruhan.
Menurut Muhammad Al-Fayyadl, pada realitasnya materialisme adalah alat satu-satunya yang ampuh untuk melawan kapitalisme dan neo-liberalisme.
Lebih lanjut, Al-Fayyadl dalam pengantar buku ini juga mengatakan bahwa sebenarnya yang ditolak oleh Kiai Hasyim adalah karena materialisme berpotensi merusak akidah umat Islam.
Maka dari itu, sebenarnya tugas kita sebagai orang yang dikaruniai keyakinan dan akal untuk bisa membedakan keduanya. Ia menyarankan, supaya antara ranah Aswaja dan materialisme bisa diperjelas.
Aswaja adalah ranah akidah dan nilai-nilai, sedangkan Marxisme adalah ranah wawasan keilmuan yang dinamis dan aktual (hlm. xxii).
Dan barangkali, pada saat itu Kiai Hasyim melihat kualitas sumber daya manusia di zaman tersebut masih belum siap untuk menerima materialisme sebagai sebatas pada wacana keilmuan dan kajian aktual seperti yang Al-Fayyadl katakan.
Buku “Menuju Aswaja-Materialis” berisi tentang kritikan penulis terhadap wajah Aswaja saat ini yang ia nilai kurang peduli terhadap nasib dan kesejahteraan hidup umat Islam.
Ia melihat, bahwa wacana keagamaan hanya terbatas pada pengukuhan keyakinan serta penggalian hukum (fiqh) konvensional. Hanya sedikit -untuk menghindari mengatakan tidak ada- upaya para elit agama yang fokus untuk memberdayakan masyarakat kecil.
Menurutnya, aswaja perlu diperbaharui. Tentunya dengan narasi lebih segar yang turut menjadikan isu material sebagai bagian dari kajiannya.
Menghapus kelas-kelas sosial yang disebabkan oleh ketimpangan sosial karena menjamurnya kekuatan kapitalisme serta neo-liberalisme menjadi tujuan besarnya dari proyek akademik ini.
Oleh karenanya, lahir sebuah rumusan dan istilah baru dari trilogi “Aswaja” (akidah, fikih dan tasawuf) yang penulis haturkan kepada seluruh pembaca pada bab 3 di buku ini. Di antaranya ialah:
1. Teologi-Materialis
Teologi-Materialis merupakan rumusan baru daripada teologi aswaja yang selama ini dipahami. Tujuannya ialah untuk menghasilkan sebuah ajaran teologi yang emansipatif dan revolusioner.
Dengan tujuan utamanya tadi, “Teologi-Materialis” hadir dengan sifat yang subjektif, partikular dan eksklusif. Titik tekannya, teologi macam ini berusaha merekonstruksi gagasan teologis “Aswaja”, yang awalnya bersifat tradisional-konservatif, fatalis dan teosentris, menjadi lebih kritis, antroposentris dan transformatif.
2. Fiqh-Proletariat
Konsep kedua yang ditawarkan Roychan dalam buku ini adalah “Fiqh-Proletar”. Mengkritik budaya penggalian hukum fikih yang selama ini kurang menaruh perhatian terhadap problem material rakyat.
Hematnya, wacana ini sebenarnya telah dikembangkan oleh KH Sahal Mahfudh dengan narasi dalam buku “Fiqh Sosial” yang kemudian coba Roychan hidupkan kembali wacana tersebut.
3. Tasawuf-Revolusioner
Yang terakhir ini, Roychan mengkritik lebih pada sikap dan cara penerimaan umat Islam terhadap tasawuf, khususnya kaum Nahdliyyin. Selama ini, tasawuf diartikan sebagai sebuah ajaran yang dapat menyebabkan macetnya perkembangan Islam.
Hal ini didasarkan pada kesalahpahaman terhadap makna zuhud. Kebanyakan orang memaknai zuhud sebagai sikap menjauh dan mengabaikan persoalan dunia. Menjadi miskin, misalnya.
Padahal tidak demikian, tasawuf berperan untuk menambah kualitas keimanan seseorang. Dan ketika semakin tinggi kualitas keimanan seseorang, maka semakin tinggi pula kepeduliannya terhadap para sesamanya.
Dalam kehidupan saat ini yang diliputi beragam problem kemanusiaan, maka tasawuf perlu digalakkan untuk meminimalisir problem-problem tersebut.
Buku Roychan ini merupakan sebuah karya ilmiah yang berdasarkan pada fakta lapangan, cocok dibaca untuk para aktivis dan agamawan.
Sebuah konsep yang ditawarkan sangat revolusioner sekaligus religius. Hanya saja, datanya sedikit kurang, seandainya penulis menambah lebih banyak lagi data konflik yang terjadi di lapangan, sekaligus tidak hanya terfokus pada problem yang terjadi di aswaja kaum Nahdliyyin mungkin saja wacana yang dibangun ini akan lebih menyentuh dan membangkitkan daya juang para pembaca dengan luas.
Wallahu A’lam.
Mas Fik/Abdurrahman