tebuireng.co – Tiga aspek kebersihan dalam kacamata fikih begitu penting dibahas karena sesungguhnya Islam mengajarkan kepada manusia untuk senantiasa menjaga kebersihan.
Kebersihan yang diajarkan oleh Islam mencakup seluruh aspek kehidupan yang secara garis besar dibagi menjadi tiga aspek. Pertama, aspek kebersihan yang bersifat lahiriyah-jasmaniyah. Kedua, aspek kebersihan yang bersifat rohaniah- batiniyah atau jiwa manusia. Ketiga, aspek kebersihan di sekitar lingkungan kita.
Dua aspek kebersihan yang pertama dan kedua ini tidak bisa dipisahkan. Kebersihan batiniyah menjadi syarat mutlak kebersihan lahiriyah. Kebersihan lahiriyah juga menjadi awal dan prasyarat untuk melaksanakan kebersihan batiniyah.
Sementara kebersihan di sekitar lingkungan manusia itu hidup, tidak menjadi dua syarat utama, akan tetapi menjadi simbol keindahan Islam dari seorang muslim.
Islam dalam mengajarkan kebersihan batiniyah sesuai Al-Qur’an maupun sunah Rasul, dan ajaran para ulama salafussalih memang selalu menekankan adanya kebersihan lahiriyah sebelum kebersihan batiniyah. Dalam surat Al-Mutdatsir ayat 4-5 Allah SWT berfirman:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ (4) وَٱلرُّجْزَ فَٱهْجُرْ (5)
Artinya: Dan pakaianmu bersihkanlah dan perbuatan dosa tinggalkanlah
Dari ayat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa memang sebelum melaksanakan kebersihan batiniyah harus diawali dengan kebersihan lahiriyah. Sama seperti saat seseorang masuk Islam, sebelum mengucapkan syahadat dan disaksikan oleh kaum muslimin, ia diharuskan mandi atau mensucikan dirinya terlebih dahulu yang telah diturunkan sejak zaman Rasulullah dan para sahabatnya.
Tradisi ini mengandung ajaran luar biasa, karena Islam memang mengajarkan kebersihan lahiriyah sebagai syarat mutlak terhadap kebersihan rohaniyah.
Sebelum bertaubat dan masuk ke dalam agama Islam, mandilah dahulu, basuhlah badan agar bersih dan setelah itu jiwanya akan siap menerima hidayah dari Allah SWT.
Ajaran kebersihan ini juga bisa dilihat secara jelas dalam ibadah salat. Sebelum melaksanakan salat, Allah SWT memerintahkan kita untuk bersuci dari hadas. Dalam surah al-Maidah ayat 6 Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا۟ ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰٓ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَآئِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا۟ مَآءً فَتَيَمَّمُوا۟ صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمْسَحُوا۟ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Sebelum menghadap kepada Allah SWT dan menyembahNya, diharuskan mensucikan jasad terlebih dahulu dengan cara bersuci dari hadas besar maupun kecil, juga dari najis. Pakaian pada tubuh seseorang yang akan melakukan ibadah juga harus disucikan. Berbeda dengan lingkungan sekitar, di mana tidak menjadi prasyarat tatkala kita menjaga kebersihan lahir dan batin.
Ada banyak hadis yang menyebutkan tentang kebersihan lingkungan, tapi hadis itu tidak menerangkan adanya prasyarat kebersihan jiwa dan lahiriyah yang dipakai untuk berbakti langsung kepada Allah SWT, yang disebut ibadah mahdloh oleh para ahli fikih.
Perintah Rasulullah SAW terhadap kebersihan lingkungan yang tidak dipakai langsung untuk menyembah kepada Allah SWT ini merupakan suatu mutiara kesempurnaan bagi seorang mukmin dalam kehidupan dan merupakan cerminan keindahan bagi kehidupan seorang mukmin.
Allah SWT tidak membuat agama ini untuk menyulitkan kalian, tapi Allah SWT sengaja membuatnya untuk mensucikan kalian, suci lahir juga batin.
Kemudian, di antara kebersihan lahiriyah adalah bersih dari adzha yang bermakna kotoran, penyakit dan dosa. Dalam Islam, hal-hal yang berkaitan dengan aktifitas seorang mukmin harus terlepas dari adzha.
Dalam surah al-Baqarah ayat 222 disebutkan bahwa umat Islam harus melepaskan diri dari adzha:
وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Lafad حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ (sehingga mereka suci) dalam Al-Qur’an, menurut Jumhur Ulama diartikan sebagai حَتَّىٰ يَتَطَهَّرْنَ (sehingga mereka mensucikan diri). Karena walaupun sudah suci (berhenti dari haid), seorang perempuan tetap dihukumi haram jika belum bersuci.
Secara etimologi perempuan ini dianggap belum suci walaupun de factonya sudah suci, tapi jika belum melakukan penyucian diri atau mandi janabat (mandi besar). Maka setelah melakukan mandi besar, secara yuridis bisa disebut suci.
Ini menandakan bahwa suci itu memang harus dilakukan secara luar-dalam. Kemudian dalam hadis riwayat Muslim Rasulullah SAW bersabda:
الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيْمَانِ
“Kebersihan adalah sebagian dari iman.” (HR Muslim)
Kenapa kebersihan sebagian dari iman? Karena iman itu adalah bagian amaliyah qolbiyah/ruhiyah/batiniyah yang tidak akan sah kalau tidak diawali dengan amaliyah jasmaniyah/lahiriyah.
Orang tidak hanya boleh (misalnya) menyatakan beriman tanpa salat atau menyatakan suci tanpa bersuci. Makanya antara kebersihan batiniyah dan kebersihan lahiriyah selalu dikaitkan.
Sebagai orang yang beriman sudah seharusnya menjaga kebersihan diri maupun lingkungan. Rasulullah SAW juga bersabda pada hadis riwayat Bukhari Muslim berikut ini:
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.” (HR Bukhari nomor 9 dan Muslim nomor 35).
Dalam kebersihan lingkungan, dalam Islam yang pertama kali dibersihkan adalah lingkungan terdekat dengan diri kita sendiri. Sesuai dengan hadis Nabi Muhammad:
عن أبي هريرة رضي الله عنه: الفِطرة خَمْسٌ: الخِتَان، والاسْتِحدَاد، وقَصُّ الشَّارِب، وتَقلِيمُ الأَظفَارِ، ونَتْفُ الإِبِط
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw bersabda: Ada lima macam fitrah, yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku, dan mencabut buku ketiak. (HR. Bukhari dan Muslim).
Kebersihan lingkungan adalah mutiara dan keindahan hidup seorang mukmin, tidak menjadi prasyarat kebersihan jasmani dan rohani, tidak pula menjadi syarat mutlak keabsahan jasmani dan rohani, tetapi menjadi cermin keindahan hidup bagi seorang muslim.
Hal seperti ini dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan terus dilakukan oleh kaum muslim hingga hari ini. Para santri, kiai, ulama disunahkan memotong kuku setiap hari Jumat, membersihkan badan, dsb.
Hal itu merupakan keindahan hidup bagi seorang mukmin. Bahkan, Rasulullah SAW menuturkan dalam hadis riwayat Bukhari Muslim:
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالْوُضُوءِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ
“Kalau sekiranya tidak memberatkan umatku, saya akan perintahkan mereka berwudu pada setiap kali shalat.”
Kemudian di antara ajaran kebersihan lingkungan oleh Rasulullah SAW adalah hadis riwayat Imam Tirmidhi;
إِنَّ اللَّهَ تَعَالى طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ نَظِيفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةَ كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكَرَمَ جَوَادٌ يُحِبُّ الْجُودَ فَنَظِّفُوا أَفْنِيَتَكُمْ (رواه التيرمدى)
“Sesungguhnya Allah swt. Itu baik, Dia menyukai kebaikan. Allah itu bersih, Dia menyukai kebersihan. Allah itu mulia, Dia menyukai kemuliaan. Allah itu dermawan ia menyukai kedermawanan maka bersihkanlah tempat-tempatmu.” (HR At-Tirmizi)
Saya kira itu adalah ajaran kebersihan yang diajarkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya yang menjadi tradisi para ulama salafussalih. Bahkan berkenaan dengan kebersihan hati, Allah SWT melarang seorang mukmin untuk bersuudhon.
Suudhon dilarang oleh al-Qur’an, padahal itu amaliyah qalbiyah yang ada dalam hati. Jadi itu adalah ajaran yang harus selalu dipegang untuk senantiasa menjadi muslim yang bersih, baik secara lahir maupun secara batin, baik menjaga kebersihan lahiriyah-jasmaniyah maupun kebersihan batiniyah dan juga lingkungan.
Demikian.
Oleh: Dr KH M Farid Zaini, L.c., M.Hi (Pengasuh Pondok Pesantren Al Munawaroh Jombang)