Buya Arrazy kritik Islam simbolik yang kini banyak digandrungi muslim Indonesia. Keberislaman simbolik ini mengarah pada gaya hidup yang serba Arab, seolah kearaban itu adalah Islam.
Hal ini dikritik oleh Buya Arrazy Hasyim dalam salah satu kajiannya. Menurutnya, berislam secara simbolik boleh-boleh saja, tapi jangan sampai menuduh muslim-muslim yang tidak melakukannya sebagai anti Islam.
Contohnya mengganti panggilan dengan akhi-ukhti. “Contohnya, akhi, bang dik. Boleh nggak? Boleh-boleh aja, tapi jangan lebay,” ujar Buya Arrazy Hasyim saat mengisi kajian Al-Badr bersama Dik Doank di Kandang Jurank Doank.
Menurut Buya Arrazy, ada panggilan yang enak, seperti kang, mas, bang. Namun, terkadang saat memanggil dengan panggilan seperti itu terkadang dituduh anti islamisasi.
“Lucunya, saya disebut anti islamisasi, karena saya memanggil mbak, teteh, dan mas,” cerita dosen Pasca Sarjana IIQ Jakarta ini.
Menurut Buya Arrazy Hasyim, perlu kiranya membedakan antara islamisasi dan arabisasi. Sehingga tak perlu mengganti kata-kata tertentu dengan bahasa Arab yang justru malah membuatnya menjadi aneh.
“Jadi kalau (tulisan) WC jangan diganti WC Akhwat, WC Ikhwan, gak usah, itu namanya arabisasi,” saran Buya Arrazy.
Buya Arrazy menyarankan untuk mengeceknya di beberapa WC yang ada di Arab Saudi. Bisa dipastikan bahwa di sana tidak akan ada WC yang bertuliskan WC Ikhwan-Akhwat.
Baca Juga: Salafi Tantang Debat Buya Arrazy Hasyim
Arrazy kritik Islam simbolik karena fenomena ini sudah mengarah pada sikap saling menyalahkan dan ada klaim kebenaran di sini. Kajian-kajian keislaman Buya Arrazy Hasyim bisa dilihat di akun youtube Ribath Nouraniyah.
“Coba cari kalau nggak percaya, yang ada dauratul miyah lir rijal, dauratul miyah lin nisa’,” terangnya.
Sementara itu, pemikir Islam Indonesia Yudi Latif menawarkan gagasan Pancasila sebagai “agama sipil” karena sebagai intelektual Muslim Yudi tidak menganggap bahwa penerimaan Pancasila oleh elite Islam melalui statement politik, seperti telah kita saksikan selama ini, sebagai jauh dari mencukupi untuk menjamin adanya kerelaan untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya ideologi bangsa yang benar-benar final.
Yudi sangat menyadari betapa krusialnya momen ini, karena Yudi juga melihat betapa bahayanya jika klaim kebenaran agama dipaksakan dalam sebuah masyarakat yang multi-agama.
Betapapun muskilnya pada saat ini menjadikan Pancasila untuk diterima sebagai agama sipil, tapi saya juga sependapat dengan Yudi bahwa tawarannya, betapapun merupakan gagasan yang telah melampaui zamannya, dan saya juga sesungguhnya melihat bahwa ini adalah satu-satunya pilihan yang ada. Betapapun jauhnya jarak yang masih harus ditempuh untuk mencapainya.
Ketekunan Yudi dalam menggeluti Pancasila, antara lain dalam kemampuannya meramu buku-buku yang relevan untuk mendukung argumentasinya, menurut hemat saya adalah jihadnya untuk menemukan format yang tepat dalam menempatkan hubungan antara Islam dalam negara Pancasila.
Sebagai sebuah bangsa kita harus bersyukur memiliki intektual publik seperti Yudi dan kita harus mendukung sepenuhnya jihad yang sedang dilakukan oleh Yudi Latif.