Apa isinya maulid Nabi? Golongan Aswaja yang mengamalkan maulid melihat isi kandungannya
Sudut pandang melihat objek hukum sudah pasti mengakibatkan perbedaan kesimpulan status hukum. Kelompok Salafi melihat “bungkus” Maulid Nabi Muhammad yang tidak ada di zaman Nabi Muhammad.
Ulama yang membolehkan selalu melihat aspek “apa yang dilakukan dalam Maulid”, seperti yang disampaikan oleh Al-Hafidz As-Suyuthi:
الْجَوَابُ-عِنْدِي أَنْ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوْلِدِ الَّذِي هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآَنِ وَرِوَايَةُ اْلأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِي مَبْدَأِ أَمْرِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا وَقَعَ فِي مَوْلِدِهِ مِنَ اْلآيَاتِ ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاط يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِي يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارُ الْفَرَحِ وَاْلاِسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ (الحاوي للفتاوي للسيوطي – ج 1 / ص 272)
Menurut saya, bahwa subtansi dari Maulid Nabi Muhammad yang berupa berkumpulnya banyak orang, membaca Al-Quran, membaca kisah-kisah Nabi Muhammad, mulai ia diutus menjadi Rasul dan hal-hal yang terjadi saat kelahirannya yang terdiri dari tanda-tanda kenabian dilanjutkan dengan suguhan hidangan untuk makan bersama kemudian selesai tanpa ada tambahan lagi, maka hal ini tergolong bidah yang baik, yang pelakunya mendapatkan pahala karena ia mengagungkan derajat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, menampakkan rasa senang dan kebahagiaan dengan kelahirannya yang mulia (al-Hawi, Fatawa as-Suyuthi 1/727)
Kalau sekedar berkumpul, menyampaikan hadis dari Nabi Muhammad dan makan-makan sejatinya sudah diamalkan oleh para Sahabat Rasulullah:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَبَاحٍ قَالَ وَفَدْنَا إِلَى مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِى سُفْيَانَ وَفِينَا أَبُو هُرَيْرَةَ فَكَانَ كُلُّ رَجُلٍ مِنَّا يَصْنَعُ طَعَامًا يَوْمًا لأَصْحَابِهِ فَكَانَتْ نَوْبَتِى فَقُلْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ الْيَوْمُ نَوْبَتِى. فَجَاءُوا إِلَى الْمَنْزِلِ وَلَمْ يُدْرِكْ طَعَامُنَا فَقُلْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ لَوْ حَدَّثْتَنَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- حَتَّى يُدْرِكَ طَعَامُنَا فَقَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ الْفَتْحِ
Abdullah bin Rabah berkata: “Kami bertamu ke Muawiyah bin Abi Sufyan. Di antara kami ada Abu Hurairah. Masing-masing kami membuat makanan sehari-hari untuk para sahabat. Maka giliran saya, saya berkata:
“Wahai Abu Hurairah, hari ini giliran saya”. Mereka datang ke tempat kami, tapi makanan belum ada. Maka saya berkata: “Wahai Abu Hurairah, sudilah engkau menceritakan kepada kami dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam hingga ada makanan untuk kami.” Kemudian Abu Hurairah berkisah…” (Riwayat Muslim).
Supaya tidak keberatan dengan istilah Mualid Nabi Muhammad, anggap saja kami sedang kumpul-kumpul menyampaikan hadis tentang akhlak nabi, perjuangan nabi dan kisah kehidupan nabi seperti yang dilakukan oleh para sahabat yang mendengarkan ‘pengajian’ dari Abu Hurairah di atas.
Simpel saja sebenarnya sikap terkait Maulid Nabi Muhammad.